Konsep kecakapan seseorang dalam melakukan perb uatan hukum masih diatur beragam atau plurarisme dalam peraturan perundang -undangan di Indonesia …. [629806]
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Konsep kecakapan seseorang dalam melakukan perb uatan hukum
masih diatur beragam atau plurarisme dalam peraturan perundang -undangan
di Indonesia . Hal seperti inilah yang menimbulkan kerancuan dalam
menentukan kapan seseorang itu dinyatakan cakap dalam melakukan
perbuatan hukum terutama dalam pembuatan akta perjanjian jual beli tanah
dihadapan notaris . Dalam melakukan tindakan hukum selalu mensyaratkan
bahwa seseorang harus dinyatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Prinsip kecakapan dalam perjanjian dijadikan sebagai syarat
sahnya perjanjian sehingga setiap perbuatan dalam hal perjanjian y ang
dipengaruhi aliran normatif -dogma tik masih mengikuti syarat -syarat yang
telah ditentukan oleh pembuat Undang -Undang tersebut. syarat keabsahan
perjanjian ini diatur dalam Kitab Undang -undang Hukum P erdata
(KUHPerdata) Pasal 1320, yang menyatakan perjanjian sah apabila
memenuhi unsur subyekti dan obyektif dalam perjanjian dan salah satunya
adalah para pihak cakap melakukan perbuatan hukum. Kecakapan bertindak
menurut hukum .
Dalam Kitab Undang -undang Hukum Perdata (KUHPerdata) untuk
membuat perjanjia n terdapat 4 (empat) syarat yang diatur dalam P asal 1320
KUH Perdata yaitu: Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan
umtuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang
2
diperbolehkan . Kecakapan yang dimaksud dalam pasal 1320 Kitab Undang –
undang Hukum Perdata ( KUHPerdata ) adalah kecakapan hukum untuk
melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
dapat diartikan seseorang yang mampu atau cakap menurut untuk membuat
perjanjian atau melakukan perbuatan hukum lainnya . Kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar Person
(priba di) diukur dari usia kedewasaan (marderjarig) dan, Rechtpersoon
(badanhukum) diukur dari aspek kewenangan ( bevoegheid ).1
Pengertian kecakapan yang sangat konkrit hanya memiliki cakupan
keberlak uan yang sangat sempit sehingga hanya mengacu kepada mereka
yang telah dew asa menurut persangkaan undang -undang saja. Kecakapan
berbuat dalam hukum mengikuti barometer kedewasaan asalkan tidak ada
faktor lain yang menyatakan si dewasa kehilangan kecakapannya. Setiap
subjek hukum yang akan melakukan perjanjian wajib tunduk pada peraturan
perundang -undangan sebagaimana pemahaman pestudi huk um Indonesia.
Kecakapan tidak bisa hanya diukur dengan batas usia yang tertulis dalam
undang -undang karena kecakapan lahir bisa dilahirkan dari kemampuan
seseorang dalam mencari nafkah atau postur tubuh serta psikologi/mental.
Oleh karena itu pengertian k ecakapan harus ditambahkan dengan pengertian
yang ekplisit agar tidak memuat norma yang kabur (vague norm) sehingga
mampu merangkul kecakapan di luar persangkaan undang -undang.
1 Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta,
hal. 184
3
Kecakapan tidak seharusnya diukur dari umur kedewasaan semata.
dalam penentuan kedewasaan seseorang yang dapat kita lihat dalam Pasal 330
Kitab Undang -Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa :2 Pasal
tersebut dapat di artikan bahwa yang cakap melakukan perbuatan hukum harus
terlebih dahulu berusia 21 tahun atau sudah menikah sebelum berusia 21
tahun. Berbeda dengan ketetuan yang dinyatakan dalam Undang -Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang –
Undang Perkawinan menyatakan sebagai berikut : 3
Kecakapan m enurut Undang -Undang Perkawinan , seseorang
dikatakan cakap untuk menikah adalah ketika mencapai umur 18 tahun atau
lebih. Seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun maka
masih dibawah kekuasaan orang tuanya. Dalam peraturan perundang –
undangan yang lain juga diatur menge nai kecakapan seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan hukum. Contoh yang lainnya adalah Undang –
Undang Jabatan Notaris, Undang -Undang Perlindungan Anak, Undang –
Undang Pemilihan Umum, dan masih banyak lagi.
Kitab Undang -Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memberikan
batas an usia dewasa seseorang, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 330.
Perbuatan hukum berkaitan dengan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh
pihak -pihak yang melakukan perjanjian haru s memenuhi persyaratan batas
usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 Kitab Undang -Undang Hukum
2 “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih
dahulu telah kawin.”
3 “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 ( enam belas) tahun.”
4
Perdata tersebut di atas. Banyak perbuatan hukum yang berkaitan dengan
perjanjian, dan seharusnya tunduk kepada asas hukum perjanjian, seperti
antara lain:
1. Mendirikan perseroan terbatas;
2. Melaksanakan jual beli harta tetap (tanah);
3. Menjaminkan bidang tanah kepada bank.
4. Melakukan pembukaan rekening tabungan, atau rekening koran;
5. mendepositokan uang di bank;
6. Melakukan perjanjian kredit di bank;
7. Melakukan gadai barang;
8. Melakukan perikatan pernikahan
Perbuatan hukum terseb ut diatas mempunyai batas an-batasan usia
tersendiri sehingga seseorang yang belum memenuhi batas usia minimum
yang ditentukan oleh peraturan perundang -undangan, maka yang
bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum tersebut dibant u oleh
walinya atau orang tuanya dan untuk membuat perjanjian tersebut diatas ada
yang mensyaratkan melalui penetapan pengadilan . Bagi masyarakat di
Indonesia anak yang akan memasuki usia dewasa merupakan sebuah
pencapaian penemuan jati diri bagi anak yang berajak dewasa seh ingga
seringkali dirayakan karena merupakan momen penting bagi remaja, pada
umumnya kriteria dewasa dinyatakan pada perayaan ulang tahun usia ke 17
(tujuh belas) tahun, karena pada usia tersebut anak yang bersangkutan
dianggap mampu bertanggung jawab terha dap diri sendiri dan perbuatannya.
5
Pada usia 17 tahun seseorang anak telah menjadi remaja dan yang
bersangkutan berhak untuk memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai
indentitas diri, dengan memiliki KTP remaja yang bersangkutan dapat
bertindak sendiri melakukan perbuatan hukum.
Pada Pasal 330 Kitab Undang -Undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa kedewasaan seseorang adalah ketika berumur 21 tahun atau sudah
menikah. Titiksingung Pasal 330 dengan Pasal 1320 Kitab Undang -Undang
Hukum Perdata adalah ketika s eseorang tersebut sudah dinyatakan dewasa
maka seseorang tersebut dapat dinyatakan cakap melakukan perbuatan
hukum sebagai syarat sahnya perjanjian. Akan tetapi, ketentuan yang terdapat
dalam Undang -Undang Jabatan Notaris menyatakan lain. Pada Pasal 39 aya t
(1) Undang -Undang Jabatan Notaris menyatakan bahwa seseorang yang
menghadap Notaris untuk membuat akta adalah yang memenuhi syarat
paling rendah berumur 18 tahun atau sudah menikah. Perbedaan antara kedua
ketentuan tersebut cukup membingungkan dan membu at ambiguitas bagi
Notaris akan ketentuan mana yang harus dipatuhi.
Ketidak seragaman batasan usia dewasa atau batasan usia pada
berbagai peraturan perundang -undangan di Indonesia menimbulkan
kesimpangsiuran mengenai batasan yang seharusnya digunakan. Ber dasarkan
beberapa ketentuan dalam peraturan per undang -undangan tersebut ditas
menamg mengenai batasan usia dewasa atau kecakapan seseorang memang
belum ditemui keseragaman sebagian memberi batasan 21 (dua puluh satu)
tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas ) tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh
6
belas) tahun. Perbedaan tersebut cukup membingungkan bagi seseorang yang
hendak melakukan perbuatan hukum.
Pada perkembangan zamaan sekarang ini masyarakat semakin
sadar akan hukum. Sehingga tidak jarang masyaraka t mulai melakukan
perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Seperti c ontoh
dengan mendaftarkan tanah guna dijadikan pembuktian yang otentik
dikemudian hari apabila terjadi sengketa atau permasalahan hukum . dalam
mengajukan permohonan pendaftaran tana h terdapat syarat -syarat tertentu .
Salah satunya adalah kedewasaan atau cakap dalam melakukan perbuatan
hukum. Inilah menjadi problematika bagi masyarakat di Indonesia, karena
batas umur mana yang harus digunakan sebagai pedoman dalam penentuan
batas umur tersebut. Hal tersebut akan tetap menjadi problematika karena
Undang -Undang yang ada di Indonesia tidak menyebutkan secara ekplisit
mengenai batas an umur dewasa tersebut dan pengaturannya masih beragam.
Sehingga maksud dan tujuan tertentu hampir tiap pera turan perundang –
undangan yang ada akan memberikan batas tersendiri batas umur mulai
dewasa tersebut .4
Setiap subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk
melakukan perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus didukung oleh
kecakapan dan kewenangan hu kum. Kecakapan berbuat adalah kewenangan
untuk melakukan perbuatan -perbuatan hukum sendiri .5 Kecakapan seseorang
4 Shela Widhiastuti, Imam Kuswahyono, Djumikasih. 2014. “Faktor Penyebab Tidak Dikabulkannya
Permohonan Pendaftaran Tanah Bagi Pemohon Yang Belum Berusia 21 Tahun (Studi di Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar)”. jurnal Fakultas Hukum Uni versitas Brawijaya. Hal 5
55 Handri Raharjo. 2009. Hukum Perjanjian di Indonesia . Yogyakarta : Pustaka Yustisia. Hal.52
7
untuk melakukan perbuatan hukum ditentukan dari telah atau belumnya
seseorang tersebut dikatakan dewasa menurut hukum. Kedewasaan seseorang
merupakan tolok ukur dalam menentukan apakah seseorang tersebut dapat
atau belum dapat dikatakan cakap bertindak untuk melakukan suatu
perbuatan hukum
Kedewasaan seseorang menunjuk pada suatu keadaan sudah atau
belum dewasanya seseorang menurut hukum untuk dapat melakukan
perbuatan hukum yang ditentukan dengan batasan umur. Sehingga
kedewasaan di dalam hukum menjadi syarat agar seseorang dapat dan boleh
dinyatakan sebagai cakap dalam melakukan segala perbuatan hukum.
Keadaan dewasa yang memenuhi syarat unda ng-undang ini disebut
“kedewasaan”. Orang dewasa atau dalam kedewasaan cakap atau mampu
melakukan semua perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian,
melakukan perkawinan, dan membuat surat wasiat.6
Ketidakseragaman batasan usia dewasa atau batasan usia a nak pada
berbagai peraturan perundang -undangan (hukum pos itif) di Indonesia
memang menimbulkan ketidak pastian mengenai batasan yang mana yang
seharusnya digunakan. Ketentuan usia dewasa adalah suatu hal pokok yang
wajib dipatuhi dalam setiap melakukan perbuatan hukum. Karena usia
dewasa merupakan syarat formil bagi seseorang untuk melakukan perbuatan
hukum. Dalam Pasal 1320 Kitab Undang -Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) tentang syarat sahnya perjanjian, diatur mengenai kecakapan
6 Abdulkadir Muhammad. 2010. Hukum Perdata Indonesia . Bandung : PT Citra Aditya Bakti. Hal 40
8
seseorang dalam membuat perjanjian. Kecakapan seseorang merupakan
syarat formil ketika akan membuat perjanjian. Apabila syarat formil tida k
dipenuhi, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut dapat dibatalkan .
Bagi seorang Notaris penentuan seseorang cakap melakukan
perbuatan hukum adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini
berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian dala Pasa l 1320 Kitab Undang –
Undang Hukum Perdata. Adapun ketentuan batas usia bagi penghadap
dinyatakan dalam Pasal 39 ayat (1) sebagai berikut:7. Selain yang ditentukan
dalam peraturan perundang -undangan tersebut, batas kedewasaan seseorang
juga ditentukan didala m Kompilasi Hukum Islam dan juga Surat Keputusan
Menteri Dalam Negeri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah Nomor
Dpt.7/539/7 -77, tertanggal 13 Juli 1977. Dalam Pasal 98 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam dijelaskan mengenai batas usia dewasa seseorang, sebagai
berikut :
“Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah
dua puluh satu tahun, mental atau belum pernah melangsungkan
perkawinan”. Artinya; dewasa ketika sudah berumur 21 tahun atau sudah
kawin, tidak cacat atau gila, dan dapat bertanggungjawab atas dirinya.
Sedangkan didalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Dirjen Agraria
Direktorat Pendaftaran Tanah Nomor Dpt.7/539/7 -77, kedewasaan seseorang,
sebagai berikut : mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan dalam:
7 “Pasal 39 (1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: a). paling rendah berumur 18 (delapan
belas) tahun atau telah menikah; dan b). cakap melakukan perbuatan hukum.”
9
a. dewasa poli tik, misalnya adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut
Pemilu;
b. dewasa seksuil, misalnya adalah batas umur 18 tahun untuk dapat
melangsungkan pernikahan menurut Undang -Undang Perkawinan yang
baru;
c. dewasa hukum. Dewasa hukum dimaksudkanadalah batas umur t ertentu
menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum.
Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang –
undangan tersebut di atas memang masih belum ditemui keseragaman
mengenai usia dewasa seseorang, sebagian memberi batasan 21 (dua puluh
satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas) tahun, bahkan ada yang 17
(tujuh belas) tahun. Keberagaman diatas perlu adanya kedaulatan hukum
terhadap unifikasi hukum dalam batas kecakapan agar tidak menimbulkan
ambiguitas.
Menurut hemat penulis diterbitkannya Surat Edaran . Pertama,
diterbitkannya Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Rumusan Hukum
Hasil Rapat Pleno Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas
Bagi Pengadilan adalah untuk mengatasi keberagaman pengaturan
kedewasaan . Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut sudah
menjelaskan mengenai ketentuan batas kedewasaan seseorang. Dinyatakan
dalam Hasil Rapat Kamar Perdata tanggal 14 -16 Maret 2012, bahwa dewasa
adalah cakap bertindak dalam hukum yaitu orang yang telah mencapai umur
18 tahun atau telah kawin. Kedua diterbitkannya Surat Edaran Menteri
10
Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
4/SE/I/2015 Tentang Batasan Usia Dewasa Dalam Rangka Pelayanan
Pertanahan. Dalam ketentuan angka 7, menyatakan bahwa us ia dewasa yang
dapat melakukan perbuatan hukum dalam rangka pelayanan pertanahan
adalah paling kurang 18 tahun atau sudah kawin.
Menjadi seorang Notaris atau pejabat umum harus mempunyai
tanggung jawab yang baik secara individual maupun sosial terutama ketaatan
terhadap norma -norma hukum positif dan kesediaan untuk tunduk pada kode
etik profesi, bahkan merupakan suatu hal yang wajib sehingga akan
memperkuat norma hukum positif yang sudah ada .8 Notaris merupakan
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik serta prosedur
yang harus dijalankan oleh notaris dan proses pembuatan akta adalah
meminta dokumen -dokuman atau surat -menyurat yang diperlukan untuk
dituangkan di dalam akta. Dokume n yang wajib diminta oleh notaris untuk
dilekatkan fotocopinya dalam Minuta Akta ( asli Akta Notaris) adalah tanda
pengenal atau Kartu Tanda Penduduk (KTP). Notaris harus memastikan
penghadap sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum dlam akta yang
akan dibuat. Banyaknya notaris membuat persaingan antar notaris semakin
ketat dan terkadang membuat notaris kurang berhati -hati dalam menjalankan
profesinya. kekurang hati -hatian tersebut yaitu notaris tidak cermat dalam hal
membaca identitas para pihak sehingg a kecakapan da n kewenangan para
pihak dijaga d alam pembuatan akta otentik yang dibuat dihadapannya.
8 Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana, PT. Bayu Indra Grafika,
Yogyakarta, 1995, hlm. 4.
11
1.2 Rumusan Masalah
2. Makna kecakapan para pihak dalam pembuatan akta otentik jual beli tanah
3. Kepastian Hukum terhadap batas usia cakap para pihak dalam pembuatan
akta otentik jual beli tanah
4. Unifikasi Hukum terhadap batas usia cakap para pihak dalam pembuatan
akta jual beli tanah
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
1. Utuk memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi mahasiswa Pasca
Sarjana Magister Kenotariatan sebagai tugas akhir penulisan tesis.
2. Untuk memberi informasi serta menambah pengetahuan bagi para
Praktisi Hukum dan tidak menutup kemungkinan bagi para akademisi
serta masyarakat mengenai Unifikasi Hukum Terhadap Kecakapan Para
Pihak Dalam Pembuatan Akta Otentik Jual Beli Tanah
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk menganalisa makna kecakapan para pihak dalam pembuatan akta
otentik jual beli tanah
2. Untuk menganalisa Kepastian Hukum terhadap batas usia cakap para
pihak dalam pembuatan akta otentik jual beli tanah
3. Unifikasi Hukum terhadap batas usia cakap para pihak dalam
pembuatan akta jual beli tanah
12
1.4 Manfaat
Mendasar pada latar belakang tersebut di atas maka penulis mendapati
adanya Unifikasi Hukum Terhadap Kecakapan Para Pihak Dalam
Pembuatan Akta Otentik Jual Beli , sepe rti yang tertuang dalam pasal 39
ayat (1) menyatakan penghadap paling rendah berumur 18 (delapan belas)
tahun sedangkan dalam pengaturan batasan umur di Indonesia di atur secara
beragam , sehingga diharapkan dengan penulisan penelitian ini didapatkan
manfaat antara lain :
1. Manfaat Teoritis :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap ketentuan
mengenai batasan usia dewasa yang diatur secara beragam d i indonesia .
2. Manfaat Praktik :
Hasil dari penilitian ini diharapkan dapat memberi manfaat terhadap
seorang notaris dalam memahami kecakapan dan kewenangan para
pihak dalam membuat akta otentik jual beli tanah.
1.5 Metode Penelitian
Metode pada hakikatnya at au pada dasarnya adalah cara seorang ilmuwan
untuk mempelajari, menganalisis dan memahami lingkungan yang
dihadapinya. Sedangkan penelitian adalah usaha untuk menghimpun serta
menemukan hubungan -hubungan yang ada antara fakta -fakta yang diamati
secara seks ama. Mengadakan suatu penelitian ilmiah harus mutlak
menggunakan metode. Karena dengan adanya metode maka penelitian yang
dilakukan dapat tersusun dengan baik serta mempercepat peneliti
13
menemukan jawaban dari permasalahan yang diteliti. Demikian pula dalam
penelitian ini menggunakan metode yang terbagi dalam beberapa langakah,
meliputi : penentuan tipe penelitian, pendekatan masalah, sumber bahan
hukum, pengumpulan bahan hukum dan analisa bahan hukum.
1.5.1 Tipe penelitian
Penelitian menggunakan penelitian Yuridi s Normatif, yakni yang
difokuskan untuk mengkaji penerapan prinsip kecakapan dan
kedewasaan seseorang yang diatur secara beragam dalam Undang –
udang Kitab Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang -undang Nomor 1
tahun 1974 tetang Perkawinan, serta Undang -Undang N omor 2 tahun
2014 atas perubahan Unadng -undang nomor 30 tahun 2004 tentan g
Jabatan Notaris dan U ndang -uandang lainnya yang mengatur tentang
kecakapan seseorang.
1.5.2 Pendekatan Masalah
Didalam suatu penelitian terdapat beber apa macam pendekatan, yang
dengan pendekatan tersebut diperoleh informasi dari berbagai aspek
mengenai isu hukum yang diangkat dalam permasalahan untuk
kemudian dicari jawabanya. Dan pendekatan masalah yang digunakan
dalam penulisan ini meliputi :
a. Pendekatan Perundang -undangan (Statute Aprroach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah undang -undang dan
meregulasi peraturan dibawah undang -undamg yang bersangkut paut
dengan permasalahan yang sedang diteliti. “dalam metode pendekatan
14
perundang -undangan peneliti perlu memahami hi rarki, dan asas -asas
dalam peraturan perundang -undangan. Degan demikian pendekatan
perundang -undangan mensyaratkan bahwa peneliti juga perlu
mempelajari landasan filosofis dari setiap peraturan perundang –
undangan yang diacunya. Oleh karena itu dalam pendek atan perundang –
udangan ini peneliti mengunakan Undang -Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris , Undang -undang nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan dan Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan tidak
menutup kemungkinan penulis menggunakan Undang -undang lainya
yang mengatur tentang kedewasaan dan kecakapan seseorang .
b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
“Pendekatan konseptual dilakukan manakalah peneliti tidak beranjak
dari aturan hukum yang ada.”9 Dari apa yang dikemukan oleh prof.
Peter Mahmud Marzuki , S.H.,M.H.,LLM., sebenarnya dalam
pendekatan koseptual perlu merujuk pada prinsip hukum dan prinsip
huku m ini dapat diketemukan dalam pandangan sarjana ataupun
doktrin hukum. doktirn -doktrin tersebut merupakan sandaran bagi
peneliti dalam membangun argumentasi hukum dalam memecahkan isu
yang dihadapai. Disini peneliti menggunakan obyek yang menarik dan
perlu dibahas tentang Unifikasi Hu kum Terhadap Kecakapan Para
Pihak Dalam Pembuatan Akta Otentik Jual Beli T anah karena
9 Peter Mahmud Marzuki, 2016 , Penelitian Hukum, PT.Kharisma Putra Utama, Jakarta, hlm.17 7
15
penggaturan kedewasaan dan kecakapan di Indonesia itu diatur seacara
beragam.
c. Pendekatan Case Aproach
Peneliti disini nantinya menggunakan pendekatan kasus terhadap
putusan penggadilan mengenai penetapan perwalian terhadap anak
berusia 20 tahun ketika melakukan jual beli tanah dan ijin disepensasi
kawin dibawah usia 18 tahu dan 17 tahun dari contoh kasus diatas dapat
kita lihat keberagaman mengenai usia seseorang dianggap cakap.
1.5.3 Sumber Bahan Hukum
Sebagai langkah awal dalam penelitian ini adalah melakukan
pengkajian terhadap bahan hukum :
1. Bahan hukum primer (Primary law material) yaitu peraturan
perundang -undangan yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas
diantaranya : a) Kitab Undang -undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
b) Undang -undang Nomor 2 tahun 2014 tentang perubah an atas
Undang -undang Nomor 30 tah un 2004 tentang Jabatan Notaris,
c) Undang -undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Bahan hukum sekunder (Secondary law material) yaitu berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resm i.
Publikasi meliputi buku -buku teks, kamus -kamus hukum, jurnal hukum.
3. Bahan hukum tersier (tertiray resource) yaitu bahan hukum yang mana
memberi pentunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
skunder, yang diperoleh dari kamus hukum atau penda pat para ahli luar
16
hukum terkait dengan kecakapan para pihak dalam pembuatan akta
otentik jual beli tanah .
1.5.4 Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Prosedur pengumpulan bahan hukum dalam penelitian dan penulisan
tesis ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan -bahan hukum primer,
bahan hukum skunder maupun bahan non hukum, selanjutnya penulis
mengklasifikasikan sesuai dengan masalah yang dibahas. Bahan hukum
yang berhubungan dengan masalah yang dibahas kemudian dipaparkan
serta disistimatisasi dan di anal isis untuk diinterprestasikan berdasarkan
hukum yang berlaku.
1.5.5 Analisis Bahan Hukum
Analisa yang dilakukan dalam penelitian tesis ini adalah melalui
pengolahan bahan -bahan hukum yang telah dikumpulkam terlebih
dahulu, kemudian disusun secara sitematis dan terarah dengan
menggunakan metode preskriptif , dan setiap analisa dikembalikan pada
norma hukum karena alat ujinya ada pada norma .
Analisa dalam penulisan ini adalah Analisa Yuridis terhadap Unifikasi
hukum terhadap kecakapan para pihak dalam pembuatan akt a otenti
dalam prespektif peraturan Perundag -undangan di Indonesia , dari hasil
anailsa tersebut kemudian ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban
atas isu hukum yang diaju kan dalam penulisan tesis ini. Oleh karena itu
yang menjadi harapan dari penelitian ini adalah menghasilakan argumen
baru untuk memberikan preskripsi terhadap isu hukum yang diajukan.
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG
UNIFIKASI HUKUM, KECAKAPAN, AKTA OTENTIK
DAN JUAL BELI TANAH
2. 1 Unifikasi Hukum
2.1.1 Pengertian Unifikasi Hukum
Secara etimologi Unifikasi adalah menyatukan; penyatuan; hal
menjadikan seragam: penyempurnaan pembinaan hukum nasional dilakukan
antara lain dng jalan pembaharuan . Kemudian menurut kamus Bahasa
Indonesia unifikasi diartikan sebagai “hal menyatukan, penyatuan, dan
menjadikan seragam.”10 sedangkan dalam kam us hukum Uni fikasi adalah
penyatuan. Membahas lebih dalam lagi mengenai unifikasi unifikasi, Umar
Said menyebutkan bahwa unifikasi adalah penyatuan hukum yang berlaku
secara nasional;atau penyatuan p emberlakuan hukum secara nasional.11
Unifikasi menurut Sudarsono dalam tulisannya Saifudien Djazuli
adalah penyatuan atau penyeragaman jenis hukum tertentu, sehingga jenis
hukum tertentu itu berlaku untuk seluruh warga negara. Menurutnya,
Unifikasi hukum terkait dengan upaya pembentukan hukum pada bidang
hukum tertentu menjadi seragam, oleh karena itu unifikasi dapat dilakukan
melalui jalan kodifikasi dan pembaharuan hukum.12
10 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, p. 1055
11 Umar Said, 2009, Pengantar Hukum Indonesia Sejarah dan Dasar -Dasar Tata Hukum Serta Politik
Hukum Indonesia , Cetakan Pertama, Setara Press, Malang, hal. 30
12Saifudien Djazuli, Politik Hukum Kodifikasi Di Indonesia , dalam http ://saifudiendjsh.blogspot.co.id/
2009/08/politik -hukum -kodifikasi -di-indonesia.html
18
Definisi lain mengenai Unifikasi hukum di kemukakan oleh
Muhammad Bakri yang mende finikan Unifikasi hukum adalah
memberlakukan satu macam hukum tertentu kepada semua rakyat di negara
tertentu. jika suatu hukum dinyatakan berlaku secara unifikasi maka di negara
itu hanya berlaku satu macam hukum tertentu, dan tidak berlaku bermacam –
macam hukum.13 Konsep mengenai kata unifikasi juga dikemukakan oleh
Rio Erlangga Maharja yang mendefininisikan Unifikasi hukum adalah suatu
langkah penyeragaman hukum atau penyatuan suatu hukum untuk
diberlakukan bagi seluruh bangsa disuatu wilayah negara terte ntu sebagai
hukum nasional di negara tersebut .14
Istilah unifikasi ini seringkali dikaitkan dengan kodifikasi. yang
dijelaskan oleh Mulyana W. Kusumah dalam bukunya, yang kemudian
dikutip oleh Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari dalam bukunya yang
berjudul Dasar -Dasar Politik Hukum, menjelaskan bahwa kodifikasi adalah
pembukuan hukum dalam artian menghimpun aturan -aturan hukum yang
sejenis kedalam satu buku hukum baik secara tuntas maupun secara parsial,
termasuk didalamnya juga pembuatan peraturan tentang b idang -bidang
hukum tertentu.15
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai definisi Unifikasi
penulis menarik kesimpulan atau berpendapat unifikasi hukum adalah
penyeragaman suatu aturan hukum yang bersifat final dan mengikat kepada
13 Muhammad Bakri, Unifikasi Dalam Pluralisme Hukum Tanah Di Indon esia, (Rekonruksi Konsep Unifikasi
Dalam UUPA), (Malang: Kerta Prathika,2008), hlm 2.
14Rio Erlangga Maharja, KOODIFIKASI DAN UNIFIKASI, dalam http://acceleneun.blogs pot.co.id/
2013/03/koodifikasi -dan-unifikasi.html
15 Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, 2006, Dasar -dasar politik hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
hlm.131
19
seluruh warga masyarakat tan pa membedakan Ras, Suku dan golongan serta
status sosial dan kedudukan orang tersebut serta aturan hukum tersebut
berlaku di seluruh masyarakat di Indonesia, sehingga Negara tersebut juga
harus mengakui unifikasi hukum dalam negara tersebut . Sedangkan unifikasi
diyakini mematerilisasi ide -ide yang bermaksud memperlakukan seluruh
penduduk negeri, yang dalam kehidupan masyarakat moderen harus diukur
menurut perbedaan golongan yang disebabkan oleh keturunan atau afiliasi
etnik dengan sikap dan tindakan -tindakan perlakuan yang sama, tidak
diskriminatif, dan memandang setiap orang sama di hadapan “dewi
keadilan”16
Oleh karena itu unifikasi hukum terhadap batas usia cakap
seseorang perlu adanya unifikasi hukum agar tidak terjadi diskriminatif atau
abiguitas ba gi seseorang yang ingin melakukan perbuatan hukum dalam
kehidupan sehari -hari masyarakat tidak lepas dengan hukum perjanjian yang
mensyaratkan adanya usia cakap namaum usia cakap di Indonesia masih
terjadi prularisme atau pengaturan yang beragam dan harus ada kewenangan
atau kedaulatan menciptakan unifikasi hukum.
Dalam Penyeragaman hukum (unifikasi huku m) hendaknya kita
memperhatikan masyarakat yang majemuk/ beragam agar tidak menimbulkan
rasa ketidak adilan. Karena Keanekaragaman masyarakat Indonesia sud ah
tercermin pada semboyan negara yang terkenal yaitu, “Bhinneka Tunggal
Ika” yang artinya bermacam -macam tapi satu jua.
16 Ibid.Imam Syaukani & A.Ahsin Thohari. hlm 132
20
2.1.2 Tujuan Unifikasi Hukum
Maksud dan tujuan dilakukannya unifikasi hukum adalah :
1) Untuk lebih menjamin kepas tian hukum dalam arti kepastian
berlakunya suatu hukum bagi se luruh masyarakat di negara yang
bersangkutan, mengingat hukum itu telah diseragamkan berlakunya
bagi semua orang di negara tersebut, tanpa adanya l agi pembedaan
menurut suku, golongan, agama ata u faktor lainnya.
2) Untuk lebih memudahkan masyarakat dalam mengetahui dan
menaatinya.
3) Sedapat mungkin mencegah kesimpangsiuran pengetahuan dan
pengertian masyarakat tentang hukum yang berlaku bagi diri tiap -tiap
warga untuk ditaatinya
4) Sedapat mungkin mencegah berbagai penyelewengan hukum baik
yang tidak disengaja maupun yang disengaja yang umumnya
beralasan pada kesalahpahaman tentang hukum yang berlaku,
mengingat memang begitu banyaknya hukum yang berbeda -beda cara
pengaturannya bila hukum itu belum d iunifikasi.
5) Sedapat mungkin mencegah keadaan berlarut -larut dari tidak
mengertinya atau belum mengertinya banyak warga masyarakat
mengenai hukum mana yang berlaku bagi dirinya, bila seandainya
hukum itu belum diunifikasikan.17
17 http://www.ensikloblogia.com/2016/08/pengertian -kodifikasi -hukum -dan-unifikasi -hukum.html
21
Dari uraian tujuan Unifikasi hukum diatas penulis mencoba
menguarikan satu demi satu tujuan dari menciptakan unifikasi hukum di
indonesia agar unifikasi yang diterapkan tidak menimbulkan suatu rasa
ketidak adilam atas keberagaman budaya, suku, ras dan golongan .
Yang pertama kepastian hukum karena didalam menciptakan
suatu hukum atau norma itu harus mengadung kepastian hukum , seperti
apa yang dikemukakan Gustav Radbruch , kepastian hukum adalah
“Scherkeit des Rechts selbst ” (kepastian hukum tentang hukum itu
sendiri). Adapun 4 (empat) hal yang berhubungan dengan makna
kepastian hukum, diantaranya:
1. Bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang –
undangan (gesetzliches Recht).
2. Bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu
rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim,
seperti ”kemauan baik”, “kesopanan”.
3. Bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan da lam pemaknaan, di samping juga mudah
dijalankan.
4. Hukum positif itu tidak boleh sering diubah -ubah .18
Kemudian dari apa yang dikemukan Gustav Radbruch mengenai
kepastian hukum itu kita jadikan tujuan utama menciptakan unifikasi
hukum. Agar unifikasi hukum kedepannya tidak menimbulkan rasa
18 Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teor i Peradilan (Judicialprudence) Termasuk
Undang -Undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.hlm.
292-293
22
kettidak adilan dalam masyarakat Indonesia, karena kita semua tau
bahwa masyarakat Indonesia punya semboyan Bhineka Tunggal Ika
yang tercamtum dalam lamba ng Negara Indonesia.
Tujuan Unifikasi Hukum yang kedua adalah mem udahkan
masyarakat dalam mengetahui kepastian akan keberlakuan hukum ketika
terjadi prularisme norma atau atauran yang menimbulkan ambiguitas
dalam masyarakat. Dengan menciptakan Unifikasi Hukum diharapakan
dapat memperjelas suatu norma atau aturan yang awalnya Prularisme
menjadi jelas karena adanya keseragaman atauran agar tidak terjadi
ambiguitas.
Tujuan Unifikasi Hukum yang ketiga adalah mencegah
kesimpangsiuran pengetahuan dan pengertian masyarakat tentang
hukum , sehingga dengan menciptakan Unifikasi hukum diharapkan
dapat memperjelas suatau atauran atau norma sehingga tidak ada
kesimpangsiuran atas keberlakuan suatu norma atau atauran . Yang mana
kesimpan gsiuran pengetahuan hukum akan menimbulkan permasalahan
hukum dan merugikan masyarakat itu sendiri .
Tujuan unifikasi Hukum yang keempat mencegah berbagai
penyelewengan hukum sehingga diharapkan dengan menciptakan
Unifikasi hukum tidak ada penyelewengan hukum karena sudah ada
peyeragaman terhadap norma atau atauran sehingga dimungkinkan idak
akan terjadi penyelewengan hukum. Karena Perilaku yang tidak sesuai
norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang
23
telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan
ketentraman kehidupan manusia.19 Dalam menciptkan Unifikasi hukum
juga harus memenuhi: (1) nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan
dan kebenaran; (2) nilai sosiologis yang sesuai dengan nilai budaya di
Indonesia ; dan (3) nilai yuridis harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang -undangan yang berlaku. Unifikas i hukum yang diharapkan
adalah penyeragaman hukum yang berlaku bagi semua warga negara
tanpa memandang Ras, Suku, Golongan dan Agama.
Tujuan Unifikasi hukum yang kelima adalah mencegah keadaan
berlarut -larut dari tidak mengertinya masyarakat mengenai hu kum mana
yang berlaku bagi dirinya , dan diharapkan dengan menciptakan
Unifikasi hukum menjadikan masyarakat mengerti dan paham hukum
mana yang beralaku bagi dirinya. Karena dengan menciptakan Unifikasi
Hukum menjadikan suatu norma atau atauran itu seragam. Sehingga
tidak ada ambiguitas yang menyebabkan masyarakat tidak mengerti
hukum mana yang harus dipakai atau yang berlaku bagi dirinya.
Kemudian apa yang menjadi tujuan diciptkannya Unifikasi hukum
tersebut diatas harus benar -benar dijadikan dasar dibentuknya Unifikasi
hukum dan dimasukan kedalam norma atau atauran yang akan akan
diunifikasi, Agar tidak menimbulkan kesenjangan dimasyarakat suatu
hukum harus mengandung keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
19 Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika,Hal. 1
24
2.1.3 Fungsi Unifikasi Hukum
1) Penyatuan Hukum
Fungsi utama dari Unifikasi hukum adalah untuk penyatuan
hukum di Indonesia agar menjadi satu keberlakuanya bagi rakyat di
seluruh wilayah Indonesia dan menjadi bagian dari sistem hukum
nasional di Indonesia. Sebagai contoh Unifikasi adalah Germania
melakukan penyatuan atau (unifikasi) terhadap hukum perdata dan
hukum dagang. Penyatuan tersebut merupakan salah satu ciri sistem
hukum, sehingga Indonesia perlu juga melakukan univikasi terhadap
batas usia cakap , diharapkan pengaturan batasan usia cakap di
Indonesia mempunyai satu kesamaan melalaui Unifikasi hukum .
Berpijak pada uraian diatas dapat ditarik kesimpulan menurut
hemat penulis fungsi Unifikasi hukum adalah meyatukan hukum dan
dari penyatuan itu diharapkan tidak lagi ada Prularisme dalam hukum
karena Prularisme dapat menimbulkan berbagai masalah bagi
masyarakat majemuk yang memiliki keberagam budaya, agama,
Suku, Ras dan golongan sehingga diperlukan adanya peyatuhan
hukum.
Penyatuhan hukum juga diharapkan tidak jauh dari semboyan
bangsa Indonesia yaitu Bhinike Tunggal Ika yang sudah melekat
dijiwa masyarakat Indonesia. Sehingga Unifikasi Hukum dapat
diterima dan berlaku bagi semua kalangan tanpa membedahkan suku,
ras, agama dan golongan.
25
2) Harmonisasi Hukum
Konsep -konsep hukum tentang konvergensi (convergence),
harmonisasi (har -monization), dan unifikasi (unification) telah
menjadi konsep -konsep yang terusber kembang khususnya dalam studi
perbandingan hukum. Konsep -konsep hukumdimaksud secara umum
dapat dipahami sebagaimana dimuat dalam tabel berikut ini:20
Konsep Hukum Pemahaman Umum
Konvergensi dipergunakan sebagai upaya untuk penyatuan system –
sistem hukum, konsepsi, prinsip -prinsip, atau norma
norma
Harmonisasi
dipergunakan sebagai upaya untuk menyiapkan hukum
nasional atau hukum negara bagian yang memiliki
keterkaitan pengaturan didasarkan kepada hukum,
regulasi dan tindakan administratif
Unifikasi dipergunakan sebagai u paya harmonisasi secara ekstrim
baik terhadap perbe daan maupun fleksibilitas dalam
pengaturan dan tidak memberikan ruang terhadap
ketentuan lain
Memperhatikan tabel diatas harmonisasi merupakam suatu
konsep dari unifikasi dan diharapkan Harmonisai dalam hukum ini
dapat mengatasi Prularisme hukum di Indonesia sehingga tidak
memberikan ruang terhadap ketentuan lain yang menyebakan
ambiguitas dan dapat mempengaruhi ketertiban hukum.
20 Nuno Garoupa dan Anthony Ogus, “A Strategic Interpertation of Legal Transplants”, J ournal of Legal
Studies, The University of Chicago, Juni, 2006. “convergence is used to refer to the coming together of legal
systems, concepts, principles, or norms; harmonization is seen as an approxima tion of national or state laws
by virtue of provisions laid down by law, regulation, or administrative action; and unification is an extreme
version of harmonization in which differentiability or flexibility is ruled out and no derogation in the
preempted areas is allowed.”
26
2.2 Kecakapan
2.2.1 Pengertian Kecakapan
Secara konseptual, cakap ( bekwaam ) berkaitan dengan keadaan
seseorang yang dapat dilihat dari unsur fisiologis dan psikologis sehingga
makna kecakapan berkaitan dengan umur seseorang , sehinnga kecakapan
melekat pada mereka tidak lagi ” minderjarig ”, yaitu dianggap memasuki
fase kedewasaan akhir disebut adulthood . Hal ini terkait dengan kapasitas
mental serta akal sehat jasmi seseorang untuk berfikir dan juga untuk
mengetahui akibat -akibat perbuatannya yang dilakukan nya. Cakap
(bekwaam ) adalah kriteria umum yang dihubungkan dengan keadaan
kedewasaan seseorang .
Dalam kitab Undang -Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal
2 menjelaskan , bahwa manusia bembawa hak dan kewajiban sejak dalam
kandungan dan dalahirkan hingga meninggal, tetapi tidak semua orang
bisa berbuat hukum karena yang bisa berbuat hukum adalah mereka yang
berwnang dan cakap (bekwaam) atau yag dianggap bisa melaksanakan
sendiri hak dan kewajibannya. Sehingga secara ekplisit Kitab Undang –
Undang Hukum Per data (KUH Perdata ) tidak mendefinisikan kecakapan.
Mengenai kecakapan tersebut diatas, beberapa sarjana
memberikan pengertian kecakapan. Ter Haar menyatakan bahwa
27
“kecakapan atau Volwassen adalah suatu kondisi sudah kawin dan hidup
terpisah dari orang tuanya. ”21 Definisi cakap menurut R. Subekti adalah :
“Cakap adalah mengerti akan sesuatu yang dilakukan serta
mengetahui dampak dari perbuatan yang dilakukannya. Dengan kata lain
sudah dapat mengendalikan apa yang diperbuatnya serta mampu
mempertanggun g jawabkannya. Pada asasnya, setiap orang yang sudah
dewasa atau akil balik dan sehat pikirannya adalah cakap menurut
hukum.”
Kemudian R. Setiawan secara acontario memberikan pengertian
tidak cakap. R. Setiawan berpendapat bahwa : “seseorang adalah tidak
cakap apabila ia pada umumnya berdasarkan ketentuan undang -undang
tidak mampu membuat sendiri persetujuan -persetujuan yang akibat -akibat
hukum yang sempurna.”22 J. S atrio menyatakan bahwa “kecakapan
melakukan tindakan hukum dalam hukum perdata, dikaitkan dengan unsur
kedewasaan dan hal itu secara tidak langsung ada kaitannya dengan unsur
umur.”23 Secara singkat, kecakapan bertindak bergantung dari kedewasaan
yang dibat asi umur. Namun demikian, ada faktor lain, seperti status
menikah, yang bisa mempengaruhi kecakapan seseorang.24
Dengan kata lain, ketidakcakapan di sini adalah ketidakcakapan
yuridis atau ketidakcakapan yang dipersangkakan ( jurisische
onbekwaamheid atau veronderstelde onbekwaamheid ), bukan
ketidakcakapan yang senyatanya (sesuai dengan kenyataan yang ada).25
21 Ter Haar dalam Ade Manan Suherman dan J. Satrio,2010, Penjelasan Hukum Tentang BatasanUmur
(Kecakapan Dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur), Nasional Legal Reform Program,
Jakarta,hlm.39.
22 R. Setiawan, 1999, Pokok -Pokok Huku m Perikatan, Putra Abardin, Bandung, Hlm.61.
23 Ade Manan Suherman dan J. Satrio, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan Dan
Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur), Nasional Legal Reform Program, Jakarta, Hlm.39.
24 Ibid . Ade Manan Suhe rman dan J. Satrio.
25 Ibid. Ade Manan Suherman dan J. Satrio. Hlm.40
28
2.2.2 Syarat -Syarat keca kapan Menurut Hukum
Kecapakan untuk melakukan perbutan hukum pada umumnya
diukur dari standar berikut ini ;
a. Person (pribadi) diukur dari usia kedewasaan (meerderjarig) dan,
b.Rechtpersoon (badan hukum) diukur dari aspek kewenangan
(bevoegheid)26.
Mengkaji ketentuan ayang ada dalam Pasal 1329 KUH Perdata,
yang menyatakan bahwa semua orang pada asasnya cakap untuk
melakukan perbuatan hukum,kecuali ia dinyatkan tak cakap. Kemudian
Dalam Pasal 1330 BW diatur mengenai tak cakap adalah sebagai
berikut:27
Sedangkan Kitab Undang -undang Hukum Perdata ( KUH Perdata )
dalam Pasal 330 menyatakan belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, dan tidak lebih dahulu
telah kawin. Sehingga dapat meminmbulkan argumentum a -contrario ,
dewasa menurut (KUH Perdata ) adalah berumur genap 21 (dua puluh satu)
tahun atau t elah kawin. Artinya yang dewasa menurut (KUHPerdata)
adalah seseorang yang sudah mencapai genap berumur 21 (duapuluh satu)
tahun atau telah kawin sehingga cakap membuat perjanjian yang diatur
dalam (KHUPerdata) sebagai contoh membuat perjanjian jual beli tanah .
26 Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group),Hlm 184.
27 1. Orang -orang yang belum dewasa;
2. Merek a yang ditaruh dibawah pengampuan;
3.Orang -orang perempuan, dalam hal -hal yang ditetapkan oleh undang -undang, dan pada umumnya semua
orang kepada siapa undang -undang telah melarang membuat perjanjian -perjanjian tertentu.
29
2.2.3 Batasan Usia Cakap Menurut Peraturan Perundang -Undangan
1. Menurut Kitab Undang -Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Kecakapan para piha k dalam membuat suatu perjanjian atau
perikatan merupakan syarat yang dapat mempengaruhi sah nya suatu
perjanjian atau perikatan . Mengenai kecakapan diatur dalam Pasal 330
Kitab Undang -undang Hukum Perdata (KUH Perdata ) mensyaratkan
batas usia cakap atau dewasa adalah yang berusia 21 (dua puluh satu)
tahun atau cakap menurut hukum yaitu telah dianggap dewasa dan sehat
akal pikiran dan cakap untuk membuat perjanjian atau melakukan
perbuatan hukum lainya.
2. Menurut Undang -Undang Jabatan Notaris Noomor 2 Tahun 2014
Menurut Undang -Undang Jabatan Notaris usia cakap untuk
melakukan perbuatan hukum dan diperbolehkan untuk menandatangani
akta otentik dijelaskan dalam Undang -Undang Jabatan Notaris , terutama
sayarat subyektif bagi mereka para penghadap serta seorang saksi, yang
tertuang dalam Pasal 39 dinyatakan sebagai berikut :28 Batas usaia cakap
dalam Undang -Undang Jabatan Notaris adalah 18 tahun atau telah
menikah, tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut 18 tahun itu untuk golongan
pribumi saja atau juga untuk golongan timur asin g yang hendak
melakukan pejanjian atau membuat akta otentik dihadapan notaris.
28 (1) Penghadap harus memenu hi syarat sebagai berikut :
a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan
b. cakap melakukan perbuatan hukum
(2) Penghadap harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi
pengenal yang berumur paling sedi kit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap
melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.
(3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam akta ini
30
3. Menurut Undang -Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Berdasarkan Undang -Undang Perkawinan batas usia cakap untuk
melakukan perkawinan, telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2),
yang menyatakan sebagai berikut:29 dalam Pasal tersebut diatas
mengatur ketentuan batas usia seseorang diperbolehkan melangsungkan
perkawinan. Pasal 7 ayat (1) Undang -Undang Perkawinan secara tegas
syarat batas usia perkawinan untuk pihak pria adalah 19 tahun dan pihak
wanita 16 tahun. Undang -Undang Perkawinan sendiri mengatur berbeda –
beda mengenai batas usia cakap atau dewasa sehingga seseorang dapat
melakukan perbuatan hukum . Serta dalam Pasal 6 ayat (2) Undang –
Undang Perkawinan menentukan men genai kecakapan seseorang untuk
melan gsungkan perkawinan . Bunyi ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang –
Undang Perkawinan secara tegas menyatakan bahwa perkawinan
seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus
mendapatkan Izin dari kedua oran g tuannya menurut hemat penulis
ketentuan tersebut menimbulkan ketidak pastian hukum terhadap
masyarakat.
Dengan timbulnya ketidak pastian hukum akan menyebabkan
banyak konflik atau problem yang dihadapi masyarakat ketika akan
melakukan suatu perbuatan hu kum atau perjanjian jual beli.
29 (1) Perkawinan diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) dalam pasal ini, dapat minta dispensasi kepada pengadilan
atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang t ua pihak pria atau pihak wanita.
31
2.3 Akta Otentik
2.3.1 Pengertian Akta
Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “ acte”
atau ”akta” dan dalam bahasa Inggris disebut “ act”atau“deed” . Akta menurut
Sudikno Mertokusumo merupakan surat yang diberi tanda tangan yang
memuat peristiwa -peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang
dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.30 Menurut subekti,
akta berbeda dengan surat, yaitu suatu tulisan yang memang dengan sengaja
dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.31
Berdasarkan pendapat tersebut di atas maka pengertian mengenai
akta dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Perbuatan ( handling ) atau perbuatan hukum ( rechtshandeling )
2. Suatu tulisan yang di buat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti perbuatan
hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diaju kan kepada pembuktian
sesuatu.32
Menurut Staatsblad Tahun 1941 Nomor 84 dalam Pasal 165
dijelaskan pengertian tentang akta yaitu sebagai berikut:
Akta adalah surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai yang
berwenang untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah
pihak dan ahli warisnya maupun berkaitan dengan pihak lainnya sebagai
hubungan hukum, tentang segala hal yang disebut didalam surat itu sebagai
pemberitahuan hubungan langsung dengan perihal pada akta itu.33
30 Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta (selanjutnya ditulis
Sudikno Mertokusumo II), hlm.149
31 Subekti, 2005, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, hlm.25
32 Victor M .Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1993,Gross Akta dalam pembuktian dan Eksekusi,
Rinika Cipta, Jakarta,hal 26
33 Staatsblad Tahun 1941 Nomor 84
32
2.3.2 Jenis akta
Akta adalah suatu alat bukti otentik yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani para pihak, serta menerangkan tentang kejadian -kejadian atau
Hak dan Kewajiban para pihak yang merupakan dasar d ari suatu perjanjian.
Dalam Kitab Undang -Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1867 yang
menyatakan:34
Berpijak pada ketentuan Pasal 1867 (KUHPerdata) tersebut diatas,
terdapat dua macam akta yaitu akta o tentik dan akta di bawah tangan, yang
akan dijelaskan lebih lanjut dibawah ini :
1. Akta Otentik
Menurut R. Soergondo, akta otentik adalah akta yang dibuat dan
diresmikan dalam bentuk hukum, oleh atau dihadapan pejabat umum, yang
berwenang untuk berbuat sedem ikian itu, ditempat dimana akta itu
dibuat.35 Sedangkan pengertian akta otentik secara umum adalah akta
yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang, dan Akta
Otentik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sempurna. Serta didalam
akta otentik menerangkan hak dan kewajiban para pihak dan para pihak
bertanggung jawab terhadap kebenaran isi akta otentik. Pejabat
berwenang yang dimaksud adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh
Undang -Undang dan oleh karenannya keweananaga pejabat tersebut
diten tukan oleh Undang -undang yaitu seperti Notaris, Panitera, Jurusita,
Pegawai Pencatat Sipil, Hakim dan lain sebagainya.
34“Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan -tulisan otentik maupun dengan tulisan -tulisan di
bawa h tangan”.
35 R.Soegondo, 1991, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,hal 89
33
Berdasarkan pengertian akta tersebut diatas maka akta yang dibuat
oleh notaris ada 2 (dua) macam yaitu:
1. Akta yang dibuat oleh ( door ) notaris atau yang dinamakan akta relaas
atau akta pejabat ( ambtelijke akte ) merupakan akta yang dibuat oleh
pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan
apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya, jadi inisiatif tidak berasal
dari orang/pihak yang namanya diterangkan didalam akta tersebut. Ciri
khas dalam akta ini adalah tidak adanya komparisi dan Notaris
bertanggung jawab penuh atas pembuatan akta.
2. Akta yang dibuat dihadapan ( ten overstaan ) notaris atau yang
dinamakan akta partij (partij -acteri ) adalah akta yang dibuat dihadapan
para pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan akta itu dibuat atas
permintaan dari pihak -pihak yang berkepentingan. Ciri khas pada akta
ini adalah adanya komparisi yang menjelaskan kewenangan para pihak
yang menghadap Notaris untuk membuat akta.36
Dalam Pembuatan akta, baik akta relaas maupun akta partij yang
menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta otentik, yaitu harus
ada keinginan atau kehendak ( wilsvorming ) dan permintaan dari para
pihak,, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka pejabat
umum tidak a kan membuat akta yang dimaksud.37
Irwan Soerodjo mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia
agar terpenuhinya syarat for mal suatu akta otentik, yaitu: 1) dalam bentuk
36 Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta,
Mandar Maju, Bandung, hal 109
37 G.H.S Lumban Tobing. 1983. Peraturan Ja batan Notaris. Erlangga. Jakarta.Hlm .51-52
34
yang ditentukan oleh undang -undang. 2) Dibuat oleh dan di hadapan
Pejabat Umum. 3) Ak ta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum
yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.38
Demikian pula menurut C.A. Kraan akta otentik mempu nyai ciri –
ciri sebagai berikut: a) Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata -mata
untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana
disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang
berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya
ditand atangani oleh pejabat yang bersangkutan saja. b) Suatu tulisan
sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang
berwenang. c) Ketentuan perundang -undangan yang harus dipenuhi;
ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang -kurangnya
memuat ketentuan -ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta
suatu tulisan, nama dan kedudukan atau jabatan pejabat yang
membuatnya). d) Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan
mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri ( onafhankelijk –
independence ) serta tidak memihak( onpartijdigheid –impartiality ) dalam
menjalankan jabatannya. e) Pernyataan dari fakta atau tindakan yang
disebutkan oleh pejabat adalah hubungan hukum didalam bidang hukum
privat 39.
38 Irwan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, hal 148
39 Herlien Soerojo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arloka, Surabaya, hal 148 45
35
2. Akta Dibawah Tangan
Menurut Pasal 1874 Kitab Undang -Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) menjelaskan akta dibawah tangan adalah:40 serta dalam
Pasal 1902 dijelaskan ketentuan persyaratan alat bukti tertulis, yaitu:
a).Harus ada akta, b). Akta itu harus dibuat oleh orang terhadap siapa
dilakukan tu ntutan atau dari orang ya ng diwakilinya, c). Akta itu harus
memungkinkan kebenaran peristiwa yang bersangkutan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, akta dibawah tangan adalah akta
yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanp a bantuan dari
seorang pej abat. Jadi semata -mata dibuat antara pihak yang
berkepentingan .41 Akta di bawah tangan juga dapat dijadikan sebagai alat
pembuktian yang sempurna bagi para pihak yang ada dalam akta tersebut
dan ikut menandatangani sebagai tanda persetujuan pembuatan akta
tersebut. serta tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut harus
diakui para pihak yang ada dalam akta tersebut . Sehinnga akta dibawah
tangan dapat dikatakan sebagai alat bukti tertulis ( begin van schriftelijk
bewijs ). Pembuktian diatur dalam Pasal 1 866 KUH Perdata. Berdasarkan
Pasal 1866 KUH Perdata tersebut, alat bukti yang sah atau yang diakui
oleh hukum terdiri dari: Bukti tulisan, Bukti dengan saksi -saksi,
Persangkaan -persangkaan, Pengakuan, Sumpah.42
40 “yang dianggap sebagai tulisan dibawah tangan adalah akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat,
daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan -tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat
umum”
41 Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Aca ra Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal 125
42 M.Ali Boediarto, 2005, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata
Setengah Abad, Swa Justitia, Jakarta, Hal 157
36
2.3.3 Pembuktian akta
Kekuatan pembuktian akta otentik dalam hal ini terdapat 3 (tiga)
aspek yang harus diperhatikan ketika akta dibuat, aspek -aspek ini
berkaitan dengan nilai pembuktian, yaitu :43
1. Lahiriah ( uitwendige bewijskracht )
Nilai pembuktian lahiriah akta otentik yaitu akta itu sendiri
mampu membuktikan keabsahannya . Dapat dikatakan sebagai akata
otentik secara lahiriyah karena didalam pembuatan akta tersebut sudah
sesuai dengan syarat dan ketentuan akta otentik dalam Undang -Undang ,
maka dapat dikatakan akta tersebut sebagai akta otentik, sa mpai terbukti
sebaliknya, artinya sampai adanya bukti bahwa akta tersbut bukan akta
otentik secara lahiriah. beban pembuktian ketidak otentikan akta secara
lahiriyah terdapat pada pihak yang menolak atau menyangkal
keotentikan akta Notaris tersebut . Param eter dalam menentukan akta
Notaris sebagai akta otentik, yaitu terdapat tanda tangan dari Notaris
yang bersangkutan, baik yang terapat dalam minuta maupun salinan
serta adanya awal akta (mulai dari judul) sampai dengan akhir akta.
Pembuktian akta notaris secara lahiriah, akta tersebut harus dinilai atau
dilihat adanya , secara lahiriah akta otentik tidak perlu dipertentangkan
dengan alat bukti yang lain karena secara lahiriyah akta otentik bisa
membuktikan keabsahannya.
43 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terha dap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 72.
37
2. Formil ( formele bewijskracht )
Pembuktian Secara formal adalah pembuktian akan kebenaran
kepastian hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghada p, dan para
pihak yang membuat akta , serta memastikan akta tersebut di paraf dan
tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan Notaris, seketika itu serta
dapat membuktika n apa yang dilihat, disaksikan, didengar (pada akta
pejabat/berita acara), kemudian mencatatkan pernyataan atau keterangan
para pihak/penghadap kedalam relaas akta atau akata para pihak.
Aspek formal yang tidak diakui ol eh para pihak, maka para
pihaklah yang harus membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan,
tahun, dan pukul menghadap dari akta tersebut, dan juga membuktikan
ketidakbenaran mereka sebagai menghadap, serta membuktikan
ketidakbenaran dari apa yang dilih at, disaksikan, dan didengar oleh
Notaris. Selain itu harus dapat pula membuktikan ketidakbenaran dari
pernyataan atau keterangan yang disampaikan di hadapan Notaris, dan
ketidakbenaran tanda tangan para pihak atau prosedur pembuatan akta
yang tidak dila kukan pada saat pembuatan akta. Dengan kata lain, pihak
yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian
terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak
mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus
diterima oleh siapapun.44
44 Ibid. Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia. Hlm 73
38
3. Materiil ( materiele bewijskracht )
Kepastian mengenai suatu materi akta merupakan hal yang
mendasar dalam pembuatan akta , karena apa yang tercantum dalam akta
merupakan suatu pembuktian sahnya para pihak dalam membuat akta,
Keterangan atau pernyataan para pihak yang diberikan/disampaikan di
hadapan Notaris harus dinilai benar. Pernyataan dan keterangan yang
dituangkan dalam akta harus dinilai benar ia berkata, atau setiap orang
yang menghadap Notaris harus dinilai benar be rkata. apabila
pernyataan/keterangan para penghadap menjadi tidak benar, yang harus
tanggung jawab adalah para pihak sendiri. Notaris harus dilepaskan dari
hal demikian karena Notaris bukan pihak dalam akta melainkkan pejabat
yang menuagkan keinginan para pihak dalam suatu akta .
Dengan demikian isi akta yang dibuat oleh Notaris harus ada
kepastian hukum , karena suatu akta yang nantinya akan menjadi suatu alat
bukti yang sah untuk para pihak , ketikan membuktikan aspek materil dari
akta, mmaka para pihak harus bisa membuktikan kalau Notaris tidak
menerangkan atau menyatakan keadaaan yang sebenarnya dalam
pembuatan akta tersebut , atau para pihak yang dianggap benar berkata
akan menjadi tidak benar berkata, kemudian harus dilakukan pembuktian
terbalik untuk menyangkal aspek materil yang ada dalam akta . Namun
aspek -aspek tersebut harus di pahami secara keseluruhan sebagai bentuk
penilaian pembuktian atas keotentikan akta tersebut.
39
2.4 Jual Beli Hak Atas Tanah
2.4.1 Pengertian Jual Beli Hak Atas Tanah
Pengertian jual beli tanah menurut UUPA didasarkan pada konsep
dan pengertian jual beli menurut hukum adat. Dalam hukum adat tentang
jual beli tanah dikenal tiga macam yaitu :45
A. Adol Plas (jual lepas) Pada adol lepas (jual lepas), pemilik tanah
menyerahka n tanahnya untuk selama -lamanya kepada pihak lain
(pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya
ditentukan atas dasar kesepakatan antara pemilik tanah dengan pihak
lain (pembeli).
B. Adol Gadai (Jual Gadai) Pemilik tanah pertanian (pembeli gadai)
menyerahkan tanahnya untuk digarap kepada pihak lain (pemegang
gadai) dengan menerima sejumlah uang dari pihak lain (pemegang
gadai) sebagai uang gadai dan tanah dapat kembali kepada pemiliknya
apabila pemilik tanah menebus uang gadai.
C. Adol Tahunan (jual t ahunan) Pada adol tahunan (jual tahunan),
pemilik tanah pertanian meyerahkan tanahnya untuk digarap dalam
beberapa kali masa panen kepada pihak lain (pembeli) dengan
pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar
kesepakatan antara pemilik t anah dengan pembeli. Setelah beberapa
kali masa panen sesuai kesepakatan kedua belah pihak, tanah pertanian
diserahkan kembali oleh pembeli kepada pemilik tanah
45J.Andy Hartanto,2009, Problematika hukum jual beli tanah belum bersertifikat, Laksbang
Mediatama,Yogyakarta, h lm49
40
pengertian jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa
penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama -lamanya) oleh
penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli membayar
harganya kepada penjual. Jual beli yang mengakibatkan beralihnya hak
milik atas tanah dari penjual kepada pembeli itu masuk dalam hukum
agraria atau hukum tanah.46
Jual beli tanah menurut Kitab Undang -Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu perjanjian
atau perikatan seperti ditentukan dalam Buku III tentang perikatan.
Mengenai jual beli tanah yang diatur dalam Pasal 145 7, Pasal 1458, dan
Pasal 1459 dapat disimpulkan jual bel i adalah suatu perjanjian
Perjanjian jual beli dikatakan ada umumnya merupakan perjanjian
konsensual karena ada juga perjanjian jual beli yang termasuk perjanjian
formal, yaitu yang mengharuskan dibua t dalam bentuk tertulis yang berupa
akta otentik, yakni jual beli barang -barang tidak bergerak .47 Perjanjian jual
beli adalah persetujuan di mana penjual mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan kepada pembeli suatu barang sebagai milik ( en eigendom te
leveren ) dan menjaminnya ( vrijwaren ) pembeli mengikat diri untuk
membayar harga yang diperjanjikan. Ada tiga hal yang tercantum dalam
definisi ini yaitu mengikatka dirinya untuk menyerahkan barang kepada
pembeli dan menjaminnya, serta membayar harga.48
46 Boedi Harsono, 2002 Menuju Penyempurnaan Hukum tanah Nasional, Universitas Trisakti,jakarta, hlm 135
47 Ahmadi Miru,2007, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak ,PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta,hlm 127
48Salim .2004. Hukum Kontrak. Sinar Grafika.Jakarta.hlm 48
41
2.4.2 Syarat -syarat Jual Beli Tanah
Syarat -syarat jual beli hak atas tanah adalah :49
1) Syarat materiil
Syarat materiil jual beli hak atas tanah adalah tertuju pada subyek dan
obyek hak yang akan diperjualbelikan. Pemegang hak atas tanah harus
mempunyai hak dan berwenang untuk menjual hak atas tanah. Di
samping itu pembeli juga harus memenuhi syarat sebagai pemenang
(subyek) hak dari hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli. Uraian
tentang syarat materiil dalam jual beli hak atas tanah adalah sebagai
berikut :
a. Syarat penjual
Untuk dapat melakukan transaksi jual beli hak atas tanah maka
penjual harus mempunyai hak dan wewenang untuk menjual hak atas
tanah dengan ketentuan sebagai beriku t:
– Penjual adalah orang yang namanya tercantum dalam sertifikat
atau alat bukti lain selain sertifikat;
– Penjual harus sudah dewasa menurut ketentuan peraturan
perundan g-undangan yang berlaku;
– Apabila penjual masih belum dewasa atau masih berada di bawah
umur ( minderjarig ) maka untuk melakukan jual beli harus diwakili
oleh walinya;
49 J.Andy Hartanto, op cit hlm 55 17
42
– Apabila penjual berada di dalam pengampunan ( curatele ), maka
untuk melakukan transaksi j ual beli harus diwakili oleh pengampu
atau kuratornya;
– Apabila penjual diwakili oleh orang lain sebagai penerima kuasa,
maka penerima kuasa menunjukkan surat kuasa notariil atau surat
kuasa otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang;
– Apabila hak ata s tanah yang akan dijual merupakan harta bersama
dalam perkawinan maka penjual harus mendapatkan persetujuan
terlebih dahulu dari suami/istri yang dituangkan dalam akta jual
beli
b. Syarat Pembeli
Selaku calon pemegang hak baru, maka pembeli hak atas tanah harus
memenuhi syarat sebagai subyek hak atas tanah dengan ketentuan
sebagai berikut :
– Apabila obyek jual beli tersebut merupakan tanah hak milik, maka
subyek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan warga
negara Indonesia, bank pemerintah, badan keag amaan, dan badan
sosial;
– Apabila obyek jual beli tesebut merupakan Hak Guna Usaha, maka
subyek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan warga
negara Indonesia, dan badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
43
– Apab ila obyek jual beli tanah tersebut merupakan tanah Hak Guna
Bangunan, maka subyek yang dapat membeli tanah adalah
perseorangan warga negara Indonesia, dan badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia;
– Apabila obyek jual beli tanah tersebut adalah merupakan hak
pakai, maka pihak yang dapat membeli tanah adalah subyek hak
pakai yang bersifat privat, yaitu perseorangan warga negara yang
berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia berkeduduk an di Indonesia, dan badan hukum
asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
2) Syarat Formil
Syarat formil dalam jual beli hak atas tanah adalah meliputi formalitas
transaksi jual beli tersebut. Formalitas tersebut meliputi akta yang menjadi
bukti perjanjian jual beli serta pejabat yang berwenang membuat akta
tersebut. Dalam rangka pendaftaran pemindahan hak, maka syarat formil
jual beli hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan
di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Ak ta yang dibuat oleh
PPAT tersebut merupakan atau dikualifikasikan sebagai akta otentik.
Syarat formil dalam jual beli hak atas tanah adalah akta otentik jual beli
yang dibuat dihapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang
digunakan untuk keperluan permoh onan pendaftaran pemindahan haknya
kepada kantor Badan Pertanahan setempat.
44
2.5 Kajian Teori
2.5.1 Teori Kepastian Hukum
Unifikasi hukum mempunyai tujuan untuk men ciptakan
kepastian hukum karena didalam menciptakan suatu hukum atau norma
itu harus mengadung kepastian hukum, seperti apa yang dikemukakan
Gustav Radbruch , kepastian hukum adalah “ Scherkeit des Rechts
selbst ” (kepastian hukum tentang hukum itu sendiri). Adapun 4 (empat)
hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, diantaranya:
5. Bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang –
undangan (gesetzliches Recht).
6. Bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu
rumusan tentang penilaian y ang nanti akan dilakukan oleh hakim,
seperti ”kemauan baik”, “kesopanan”.
7. Bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah
dijalankan. 50
2.5.2 Teori Keberlakuan hukum
Menurut Bruggink ada 3 (t iga) pembagian dalam keber lakukan
hukum yai tu: 51
1. Keber lakuan Faktual atau Empiri s Kaidah Hukum.
2. Keber lakuan Formal atau Formal Kaidah Hukum.
3. Keber lakuan Evaluati f Kaidah Hukum.
50 Op.cit . Achmad Ali. Hlm 292 -293
51 JJ.H.Bruggink (alih Bahasa: B.Arief Sidaharta).2011. Refleksi Tentang Hukum. (Pengertian -Pengertian
Dasar Dalam Teori Hukum).PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Hlm.148
45
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
Penulis memberikan konsep tentang batasan usia cakap menurut Undang –
Undang Jabatan Notaris nomor 02 tahun 2014 tertuang dalam pasal 39 ayat (1)
yang menyatakan bahwa penghadap dan saksi dalam akta otentik paling rendah
berumur 18 tahun dan belum menikah , dan batasan usia cakap di Indonesia diatur
sangat beragam atau plurarisme karena setiap undnag -undang mempunyai kritirea
tersendiri. Sedangkan kecapan menurut kamus hukum karangan Cahaya Budi
Kartiawan cakap adalah orang yang sudah dewasa, sehat akal pikir an dan tidak
dilarang oleh peraturan peundang -undangan.52
Penulis mengkaji khusus mengenai isu hukum terhadap unifikasi hukum
batas usia cakap yang masih prularisme/diatur secara beragam di Indonesia, salah
satunya adalah kepastian hukum terhadap batas usia cakap serta dapatkah
dilakukan unifikasi hukum terhadap kecakapan para pihak dalam pembuatan akta
otentik jual beli tanah. Serta dapatkah unifikasi hukum itu dilaksanakan di
Peraturan Perundang -undangan di Indonesia yang masyaraktnya beraneka raagam
suku ,budaya Ras, agama dan golongan.
Adapun landasan melakukan Unifikasi Hukum adalah sebagai berikut :
1. Untuk menemukan kepastian hukum terhadap batas usia cakap yang dalam
pengaturannya terjadi Prularisme hukum
52 Cahaya Bud i Kartiawan.2013. Kamus Hukum.CV.Titian Ilmu. Hlm13
46
2. Untuk memudahkan masyarakat dalam mengetahui hukum mana yang berlaku
dan diaatinya bagi masyarakat Indonesia.
3. Untuk mencegah kesimpangsiuran pengetahuan dan pengertian masyarakat
tentang hukum yang berlaku bagi diri tiap -tiap warga untuk ditaatinya .
4. Untuk mencegah adannya penyelewengan hukum baik ya ng tidak disengaja
maupun yang disengaja yang dilakukan oleh masyarakat dengan alasan ketidak
pahaman dan tidak mengertinya hukum mana yang berlaku bagi dirinya.
5. Untuk mencegah ketidak mengertinya masyarakat atas hukum yang berlaku
bagi dirinya, yang dise babkan karena adanya plurarisme hukum yang
memimbulkan terganggunya ketentraman dan ketertiban masyarakat,
seandainya hukum itu belum diunifikasikan.
Untuk menganalisa permasalahan pertama penulis menggunakan pi sau
analisis konsep kecakapan menurut kamus hukum, peraturan perundang –
undangan, hukum adat dan doktrin para ahli hukum. Untuk permasalahan kedua
penulis mengunakan pisau analisis asas kepastian hukum dan asas lex specialis
derogate legi generali , dan untuk permasalahan ketiga penulis menggunakan
pisau analisis teori keberlakuan huku m, dari konsep unifikasi, kecakapan dan jual
beli ang kemudian ditarik kesimpulan dan saran atas apa yang sudah dianalisis.
47
Skema Kerangka Konseptual
UNIFIKASI HUKUM TERHADAP KECAKAPAN PARA PIHAK
DALAM PEMBUATAN AKTA OTENTIK
JUAL BELI TANAH
Rumusan Masalah
Makna kecakapan para
pihak dalam pembuatan akta
otentik jual beli tanah Unifikasi Hukum terhadap
batas usia cakap para pihak
dalam pembuatan akta jual
beli tanah Kepastian Hukum terhadap
batas usia cakap para pihak
dalam pembuatan akta
otentik jual beli tanah
Batu Uji / Pisau Analisis
Konsep kecaka pan menurut
– Kamus Hukum
– Menurut Undang -undang
– Menurut Hukum adat
– Menurut para ahli hukum
1. Asas kepastian Hukum
2. Asas lex specialis derogate legi
generali menyatakan bahwa
(hukum yang bersifat khusus
mengesampingkan hukum yang
bersifat umum ) Batu Uji / Pisau Analisis Batu Uji / Pisau Analisis
1. Teori keberlakuan hukum
2. asas kewenangan
Kesimpulan – saran Latar Belakang
– Bugerlijk Wet Boek Pasal 330 “ yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai
umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak kawin sebelumnya.”
– Undang -Undang Nomor 2 tahun 2014 atas Perubahan Undang -Undang Nomor 30 tahun
2014 Tentang Jabatan Notaris dalam Pasal 39 ayat (1) penghadap harus memenuhi syarat
sebagai berikut : a). Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau b). Cakap
melakukan perbuatan hukum
– Undang -undang nomor 1 tahun 1 974 tentang Perkawinan Pasal 7 Ayat (1) “belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih
dahulu telah kawin.”
–
48
BAB IV
SISTEMATIKA PENULISAN
Tesis ini disusun secara sistematis terdiri dari 5 berikut dengan sub -sub
bab yang ada. Selengkapanya diuraikan dibawah ini :
Bab 1, adalah bab pendahuluan, berisikan pemaparan latar belakang
lahirnya isu hukum sebagai pokok permasalahan. Secara umum melalui bagian
pendahuluan ini disajikan dasar pertimbangan tentang letak pentingnya menjawab
isu hukum sebagai strategis dalam konteks unifikasi hukum terhadap kecakapan
para pihak dalam membuat akta otentik jual beli . yang secara no rmatif terdapat
ketidak seragaman atau prularisme hukum terhadap pengaturan batas usia cakap.
Terdapat tiga isu huk um yang menyangkut tentang “ unifikasi hukum terhadap
kecakapan para pihak dalam pembuatan akta otentik jual beli ” yang diatur dalam
Kitab Undang -Undang Hukum Perdata, Undang -Undang Nomor 2 tahun 2014
tentang jabatan Notaris dan Undnag -Undang Nomor 1 tahun 1974 tetang
perkawinan , Makna kecakapan para pihak dan Kepastian Hukum terhadap batas
usia cakap serta dapatkah dilakukan unifikasi terhadap batas usia cakap para
pihak dalam pembuatan akta otentik jual beli tanah. Dalam bab ini pula
ditegaskan tentang metodelogi penelitian yang digunakan, baik tipe dan
pendekatan yang dilakukan termasuk tujuan dan manfaat yang diharapakan.
Bab 2, Tinjauan Umum , didalam bagian ini disajikan berbagai
pemahaman atau tentang berbagai konsep dasar yang relevan dengan fakta -fakta
hukum terkait. Konsep dasar tersebut dipaparkan guna memudahkan pemah aman
49
menyangkut : dapatkah dilakukan unifikssi hukm terhadap batas usia cakap para
pihak dalam pembuatan akta otentik jual beli tanah.
Bab 3, Kerangka konseptual, dalam bab ini dituangkan secara konseptual
berbagai teori, pemikiran ilmiah,yang memberikan pengertian berikut kerangka
konseptual berkaitan dengan isu hukum yang akan dijawab dalam pembahasan
sabagaimana tuntutan untuk memecahkan masa lah. Dengan kata lain konseptual
abstraksi dalam hal ini dibuat dalam kerangka paradigmatis. Oleh karenanya
dalam hal tersbut, dalam bab ini ditegaskan mengenai batas usia cakap para pihak
diperhatikan semua calon notaris hendak membuat akta pengikatan ju al beli tanah
dan mengembalikan semua pada norma karena alat ujinya ada dalam norma. Serta
kajian yuridis normatif guna menjawab isu hukum yang ada dengan menggunakan
batu uji te ori untuk menjawab isu hukumnya.
Bab 4 , Hasil Penelitian dan Pembahasan. Dalam bab ini dikemukakan
lebih luas tentang pemahaman dan analisis terhadap Unifikasi hukum terhadap
kecakapan para pihak dalam pembuatan akta otentik jual beli tanah. yang dalam
tataran seharusnya dapat menjawab isu hukum, tentang adanya Prularisme
terhadap p engaturan batas usia cakap para pihak. Yang mana dalam ketentuan
mengenai batas usia cakap ini sangat ambigu dan terjadi Prularisme hukum ,
karena pada dasarnya cakap adalah orang yang sudah dewasa dan memiliki akal
yang sehat tetapi undang -udang menentukan sangat beragam mengenai batas usia
dewasa . Tujuan pembahasan dalam penlitian ini yang Pertama untuk menganalisa
makna kecakapan dalam pembua tan akta otentik jual beli tanah. Yang Kedua
untuk mnganalisa kepastian hukum terhadap batas usia cakap para pihak dalam
50
pembuatan akta otentik jual beli tanah . Ketiga untuk menganalisa dapatkah
dilakukan Unifikasi Hukum terhadap batas usia cakap para pihak dalam
pembuatan akta otentik
Bab 5, Kesimpulan dan saran, dalam bab ini dikemukakan kesimpulan dari
pembahasan berikut saran sebagai rekomendasi termasuk temuan penelitian yang
potensial yang dapat dikontribusikan dalam rangka reformasi hukum di indonesia.
51
BAB V
RANCANGAN SUSUNAN BAB
DAFTAR ISI
Halaman sampul ………………………….. ………………………….. ………………………….. ..
Halaman sampul dalam ………………………….. ………………………….. …………………….
Halaman Motto ………………………….. ………………………….. ………………………….. …..
Halaman Persembahan ………………………….. ………………………….. ……………………..
Halaman Prasayarat Gelar ………………………….. ………………………….. ………………….
Halaman persetujuan ………………………….. ………………………….. ………………………..
Halaman Pengesahan ………………………….. ………………………….. ……………………….
Halaman Penetapan Panitia Penguji ………………………….. ………………………….. ……
Halaman Ucapan Terimakasih ………………………….. ………………………….. ……………
Halaman Ringkasan ………………………….. ………………………….. …………………………
Halaman Summary ………………………….. ………………………….. ………………………….
Halaman Daftar Isi ………………………….. ………………………….. …………………………..
Daftar Isi ………………………….. ………………………….. ………………………….. …………..
BAB I PENDAHULUAN ………………………….. ………………………….. …………
1.1 Latar Belakang Masalah ………………………….. ………………………….. …….
1.2 Rumusan Masalah ………………………….. ………………………….. ………….
1.3 Tujuan penelitian ………………………….. ………………………….. ………………
1.4 Manfaat Penelitian ………………………….. ………………………….. …………….
1.5 Metode Penelitian ………………………….. ………………………….. ……………..
1.5.1 Tipe Penelitian ………………………….. ………………………….. ……
1.5.2 Pendekatan Masalah ………………………….. ………………………..
1.5.3 Sumber Bahan Hukum ………………………….. ……………………..
1.5.4 Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum ………………………….. ..
1.5.5 Analisis Bahan Hukum ………………………….. …………………….
52
BAB II KAJIAN UMUM ………………………….. ………………………….. ……………
2.1 Unifikasi ………………………….. ………………………….. …………………………
2.1.1 Pengertian Unifikasi Hukum ………………………….. ………………..
2.1.2 Tujuan Unifikasi Hukum ………………………….. ……………………..
2.1.3 Fungsi Unifikasi Hukum ………………………….. ……………………..
2.2 Kecakapan ………………………….. ………………………….. ………………………
2.2.1 Pengertian Kecakapan ………………………….. …………………………
2.2.2 Syarat -Syarat kecakapan Menurut Hukum ………………………….. .
2.2.3 Batasan Usia Cakap Menurut Peraturan Perundang -Undangan
2.3 Akta Otentik ………………………….. ………………………….. …………………..
2.3.1 Pengertian akta ………………………….. ………………………….. ……..
2.3.2 Jenis akta ………………………….. ………………………….. ……………..
2.3.3 Pembuktian akta ………………………….. ………………………….. …….
2.4 Jual Beli Hak Atas Tanah ………………………….. ………………………….. ….
2.4.1 Pengertian Jual Beli Hak Atas Tanah ………………………….. ……..
2.4.2 Syarat -syarat Jual Beli Tanah ………………………….. ……………….
2.5 Kajian Teori ………………………….. ………………………….. ……………………
2.5.1 Teori Kepastian Hukum ………………………….. ………………….
2.5.2 Teori Keberlakuan hukum ………………………….. ……………..
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL ………………………….. …………………….
BAB IV PEMBAHASAN ………………………….. ………………………….. ……………..
4.1 Makana Kecakapan Dalam Pembuatan Akta Otentik ……………………..
4.1.1 Konsep Kecakapan Menurut Peraturan Perundang -undangan …..
4.1.2 Konsep Kecakapan Menurut Hukum adat ………………………….. ..
4.1.3 Konsep Kecakapan Menurut Para Ahli Hukum ……………………..
4.1.4 Konsep Kecakapan Menurut Kamus Hukum …………………………
4.1.5 Kesimpulan Makna Kecakapan ………………………….. ………………
4.2 Kepastian Hukum Batas Usia Cakap Para Pihak ………………………….. ..
4.2.1 Prinsip Kepastian Hukum dalam Pengaturan Batas Usia Cakap .
53
4.2.2 Prinsip Kedewasaan dalam Kepastian Batas Usia Cakap ………..
4.2.3 Prisip lex Specialis Derogate Legi G enerali s Untuk
Memberikan Kepastian Hukum Batas Usia Cakap …………………
4.2.4 Beberapa Contoh Penetapan dan Putusan Pengadilan mengenai
Ketidak Pastian Batas Usia Cakap ………………………….. ………….
4.3 Unifikasi Hukum Terhadap Batas Usia Cakap Para Pihak ……………….
4.3.1 Prinsip Keberlakuan Hukum dalam Melakukan Unifikasi
Hukum Batas Usia cakap ………………………….. ……………………..
4.3.2 Prinsip Kewenangan dalam dalam Melakukan Unifikasi Hukum
Batas Usia Cakap ………………………….. ………………………….. …….
4.3.3 Harmonisasi Hukum dalam Melakukan Unifikasi Hukum Batas
Usia Cakap ………………………….. ………………………….. …………….
4.3.4 Subtansi Unifikasi Hukum Batas Usia Cakap ………………………..
BAB V PENUTUP ………………………….. ………………………….. ………………………..
5.1 Kesimpulan ………………………….. ………………………….. …………………….
5.2 Saran ………………………….. ………………………….. ………………………….. …
54
Daftar Pustaka
A. BUKU TEKS
Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian Asas
Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta .
Abdulkadir Muhammad. 2010. Hukum Perdata Indonesia .: PT Citra
Aditya Bakti. Bandung .
Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori
Peradilan (Judicial prudence) Terma suk Undang -Undang (Legisprudence)
Volume I Pemahaman Awal, Kencana Prenada M edia Group, Jakarta .
Ahmadi Miru,2007, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak ,PT. Raja
Grafindo Persada,Jakarta .
Ade Manan Suherman dan J.Satrio, 2010, Penjelasan Hukum
Tentang Batasan Umur (Kecakapan Dan Kewenangan Be rtindak Berdasar
Batasan Umur), Nasional Legal Reform Program, Jakarta .
Boedi Harsono, 2002 , Menuju Penyempurnaan Hukum tanah
Nasional, Universitas Trisakti,Jakarta .
G.H.S Lumban Tobing. 1983. Peraturan Jaba tan Notaris. Erlangga.
Jakart a.
Habib Adjie, 2009 , Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik
Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika A ditama,
Bandung,
Handri Raharjo. 2009. Hukum Perjanjian di Indonesia . Pustaka
Yustisia. Yogyakarta .
Herlien Soerojo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di
Indones ia, Arloka, Surabaya .
Irwan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di
Indonesia, Arkola, Surabaya .
Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, 2006, Dasar -dasar politik
hukum, RajaGrafindo Persa da, Jaka rta.
J.Andy Hartanto,2009, Problematika hukum jual beli tanah belum
bersertifikat, Laksbang Mediatama,Yogyakarta .
55
JJ.H.Bruggink (alih Bahasa: B.Arief Sidaharta). 2011. Refleksi
Tentang Hukum. (Pengertian -Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum).PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan
Hukum Pidana, PT. Bayu Indra Gr afika, Yogyakarta .
Muhammad Bakri, Unifikasi Dalam Pluralisme Hukum Tanah Di
Indonesia, (Rekonruksi Konsep Unifikasi Dalam UUPA), (Malang: Kerta
Prathika,2008)
M.Ali Boediarto, 2005, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan
Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad , Swa Justitia,
Jakarta .
Peter Mahmud Marzuki, 2016 , Penelitian Hukum, PT.Kharisma
Putra Utama, Jakarta .
R.Soegondo, 1991, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta .
R. Setiawan, 1999, Pokok -Pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin,
Bandung .
Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdat a Indonesia,
Liberty, (selanjutnya ditulis Sudikno Mertokusumo II) .Yogy akarta.
Subekti, 2005, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta,
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban
Notaris Dalam Pembuatan Akt a, Mandar Maju, Bandung .
Salim .2004. Hukum Kontrak. Sinar Grafika.Jakarta
Ter Haar dalam Ade Manan Suherman dan J. Satrio,2010, Penjelasan
Hukum Tentang BatasanUmur (Kecakapan Dan Kewenangan Bertindak
Berdasar Batasan Umur), Nasional Legal Reform Program, Jakarta .
Umar Said, 2009, Pengantar Hukum Indonesia Sejarah dan Dasar –
Dasar Tata Hukum Serta Politik Hukum Indonesia , Cetakan Pertama, Seta ra
Press, Malang .
Victor M.Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1993,Gross Akta
dalam pembuktian dan Eksekus i, Rinika Cipta, Jakarta .
56
B. JURNAL HUKUM
Nuno Garoupa dan Anthony Ogus, “A Strategic Interpertation of
Legal Transplants”, J ournal of Legal Studies, The University of Chicago, Juni,
2006. “convergence is used to refer to the coming together of legal systems,
concepts, principles, or norms; harmonization is seen as an approximation of
national or state la ws by virtue of provisions laid down by law, regulation, or
administrative action; and unification is an extreme version of harmonization
in which differentiability or flexibility is ruled out and no derogation in the
preempted areas is allowed ”.
Shela Wid hiastuti, Imam Kuswahyono, Djumikasih. 2014. “Faktor
Penyebab Tidak Dikabulkannya Permohonan Pendaftaran Tanah Bagi
Pemohon Yang Belum Berusia 21 Tahun (Studi di Kantor Pertanahan
Kabupaten Blitar)”. jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
C. INTERNET
http://www.ensikloblogia.com/2016/08/pengertian -kodifikasi –
hukum -dan-unifikasi -hukum.html
Saifudien Djazuli, Politik Hukum Kodifikasi Di Indonesia , dalam
http ://saifudiendjsh.blogspot.co.id/ 2009/08/politik -hukum -kodifikasi -di-indonesia.html
Rio Erlangga Maharja, KOODIFIKASI DAN UNIFIKASI, dalam
http://acceleneun.blogspot.co.id/ 2013/03/koodifikasi -dan-unifikasi.html
D. KAMUS
– Cahaya Budi Kartiawan.2013. Kamus Hukum.CV.Titian Ilmu .
– Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1995, p. 1055
E. PERATURAN PERUNDANG -UNDANGAN
– Kitab Undang -Undang Hukum Perdata (KKUHPerdata)
– Undang -Udang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
– Undang -Undang Nomor 2 tahun 2014 Atas Perubahan Undang -Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
Copyright Notice
© Licențiada.org respectă drepturile de proprietate intelectuală și așteaptă ca toți utilizatorii să facă același lucru. Dacă consideri că un conținut de pe site încalcă drepturile tale de autor, te rugăm să trimiți o notificare DMCA.
Acest articol: Konsep kecakapan seseorang dalam melakukan perb uatan hukum masih diatur beragam atau plurarisme dalam peraturan perundang -undangan di Indonesia …. [629806] (ID: 629806)
Dacă considerați că acest conținut vă încalcă drepturile de autor, vă rugăm să depuneți o cerere pe pagina noastră Copyright Takedown.
