KOMPARASI BUDAYA RELIGIUS DI SEKOLAH DAS AR DAN [613198]
1
A. Judul
KOMPARASI BUDAYA RELIGIUS DI SEKOLAH DAS AR DAN
MDRASAH IBTIDAIYAH (Stud i Multi Kasus di Kota Blitar)
B. Konteks Penelitian
Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mempersiapkan peserta
didik agar mampu hidup dengan baik dalam masyarakatnya, mampu
mengembangkan dan meningkatkan kualitas hidupnya sendiri serta memberikan
konstribusi yang bermakna dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas
hidup masyara kat dan bangsanya. Pendidikan merupakan tindakan antisipatoris ,
karena apa yang dilaksanakan pada pendidikan sekarang akan diterapkan dalam
kehidupan pada masa yang akan datang. Maka pendidikan saat ini harus mampu
menjawab persoalan -persoalan dan dapat me mecahkan masalah yang dihadapi saat
ini juga. Berdasar atas tanggung jawab tersebut, maka para pendidik terutama
pengembang dan pelaksana kurikulum harus berfikir ke depan dan menerapkannya
dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya.1
Namun pada kenyataanya , peran pendidikan hanya menekankan pada
tingkat pengetahuan siswa tanpa memperhatikan akhlak atau tingkah laku siswa
kaitannya dengan iman dan takwa. Akibatnya banyak kenakalan yang dilakukan
oleh remaja. Tawuran, minum -minuman keras, narkoba, dan pergaul an bebas yang
dilakukan remaja saat ini seakan menjadi masalah yang tak berujung di negara yang
mayoritas muslim ini.
Aspek integrasi keilmuan dalam pendidikan belum terlihat, sehingga sistem
pendidikan nasional terkesan menganut sistem bebas nilai. Pendi dikan nasional
cenderung berwajah sekularistik, seolah -olah tidak ada kaitan antara konsep
1 Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah (Malang: UIN -Maliki Press, 2010)
hlm. 1
2
keilmuan tertentu dengan nilai -nilai religius yang sejatinya dimunculkan dalam
setiap disiplin ilmu.2
Pendidikan agama pada akhirnya dapat membentuk kepribadian sese orang,
setelah melalui tahap mengetahui, berbuat, dan mengamalkannya.3 Dengan
demikian, pendidikan agama begitu penting dalam dunia pendidikan. Sebagai
seorang pendidik harus mampu mengembangkan kebiasaan yang berbau
keagamaan melalui materi yang diberikan pada peserta didik di kelas maupun
implementasi secara luas di sekolah.
Pada prinsipnya, rumusan tujuan dalam pendidikan nasional menjadikan
pencapaian dalam bidang iman dan takwa sebagai prioritas. Hal ini disebabkan
karena bangsa Indonesia dibangun berd asarkan sendi -sendi agama. Meskipun para
pemimpin Indonesia modern tidak menyatakan Indonesia sebagai “Negara
Agamis”, namun mereka juga tidak mau mengikuti pola ideologi Negara -negara
Barat yang bersifat liberal dan sekular. Mereka menyadari sepenuhnya ba hwa
pendidikan yang telah terbukti mampu mengembangkan sumber daya manusia
serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan nilai -nilai kemanusiaan
sehingga kehidupan manusia semakin beradab merupakan karunia Allah SWT.4
Pentingnya religiusitas atau kecerdas an spiritual bagi peserta didik dalam
melaksanakan kehidupan sehari -hari dalam masyarakat perlu ditekankan dan
diperhatikan oleh para pendidik. Hal ini dikarenakan pembentukan akhlak sejak
dini akan sangat berpengaruh pada kehidupan peserta didik nantinya . Seperti yang
diungkapkan Ahmad Syauqi Bek, seorang penyair Mesir dalam syairnya:
اَِّنمَا األَخَْلَ قُ مَا بَقِيَتْ وَاِنْ ُهُُوْ ذَهَبَتَ اَخَْلَ ق ُهُمْ ذَهَبُوا
2 Muhibuddin Hanafiah, “Arah Baru Pendidikan Islam” dalam Asmaun Sahlan, Mewujudkan
Budaya Religius di Sekolah , hlm. 5
3 Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:Rineka Cipta,
2009), hlm. 35
4 H.A. Malik Fadjar, ”Visi Pendidikan Islam” dalam Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya
Religius di Sekolah , hlm. 3
3
“Keberadaan suatu bangsa ditentukan oleh akhlak. Jika akhlak mereka
telah lenyap, akan leny ap pulalah bangsa itu ”.5
Masyarakat yang plural membutuhkan ikatan keadaban ( the bound of
civility ), yaitu pergaulan antara satu sama lain yang diikat dengan suatu “ civility ”
(keadaban). Ikatan ini pada dasarnya dapat dibangun dari nilai -nilai universal
ajaran agama. Oleh karena itu, guru diharapkan mampu membelajarkan pendidikan
agama yang difungsikan sebagai panduan moral dalam masyarakat yang serba
plural tersebut, serta mampu mengangkat dimensi -dimensi konseptual dan
substansial dari ajaran agama sepert i kejujuran, keadilan, kebersamaan, kesadaran
akan hak dan kewajiban, ketulusan dalam beramal, musyawarah dan sebagainya,
untuk diaktualisasikan dan direalisasikan dalam hidup dan kehidupan masyarakat.6
Kemajuan iptek dan derasnya arus globalisasi saat in i menjadi tantangan
tersendiri bagi pendidik dan pesrta didik. Karena jika tidak dibarengi dengan
kekuatan spiritual yang tinggi, maka tidak menutup kemungkinan akan terjebak di
dalamnya.
Semua hasil temuan iptek di satu sisi harus diakui telah secara nyat a
mempengaruhi bahkan memperbaiki taraf dan mutu hidup manusia. Namun di sisi
lain, p roduk temuan dan kemajuan iptek telah mempengaruhi bangunan
kebudayaan dan gaya hidup manusia.7
Maka sebagai umat Islam saat ini sekurang -kurangnya harus mampu
memilih dan menangkal teknologi serta ilmu yang berdampak negatif dan positif.
Oleh karena itu, sistem belajar mengajar inovatif dan kreatif perlu di galakkan di
lembaga -lembaga pendidikan untuk memberikan informasi tentang kemajuan iptek
saat ini.8
5 TIM dosen PAI, Pendidikan Agama Islam di Universitas Brawijaya (Malang: Pusat
Pembinaan Agama (PPA) Uni versitas Brawijaya, 2007), hlm. 9
6 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (Bandung: Rosda Karya, 2012), hlm. 77
7 Ibid., hlm. 85
8 Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 53
4
Dengan menggunak an kecerdasan spiritual, peserta didik diharapkan
mampu melihat pengalaman yang terjadi dari sisi lain yang tidak kasat mata karena
ia melihat tidak hanya dengan mata kepala tetapi dengan mata hati. Seseorang yang
memiliki kecerdasan spiritual tinggi cende rung menjadi seorang pemimpin yang
penuh pengabdian, bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang
lebih tinggi serta mampu memberi inspirasi kepada orang lain.9
Pendidikan agama harus diberikan sejak dini, mulai dari usia kanak -kanak,
remaja, b ahkan sampai dewasa. Dalam Islam dikenal dengan pendidikan lifelong
education (pendidikan sepanjang hayat). Artinya selama hidup tidak akan lepas dari
pendidikan, karena setiap langkah hidup manusia hakikatnya adalah belajar, baik
langsung maupun tidak lan gsung. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
pendidikan agama mutlak diberikan, karena pada jenjang itulah terjadi
pembentukan kepribadian, pembiasaan untuk menguasai konsep -konsep Islam dan
mengamalkannya dalam kehidupan.10
Saat ini telah banyak bermunculan sekolah -sekolah yang mengedepankan
agama sebagai landasan, terutama agama Islam. Hal ini dilatarbelakangi
keprihatinan terhadap tantangan zaman yang tidak hanya dituntut mengedepankan
pola pikir dalam pengetahuan, namun juga diperlukannya kecer dasan spiritual
sebagai pengendalinya.
Perubahan paradigma pendidikan sekarang ini membuka peluang bagi
masyarakat untuk dapat menilai sekolah dan guru dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya secara baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku.11
Sasaran psikologis yang perlu dididik dan dikembangkan secara
seimbang, serasi, dan selaras adalah kemampuan kognitif yang berpusat di otak
(head ) yang berupa kecerdasan akal, kemampuan kognitif dan emosi atau afektif
9 Abdul Wahab dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spiritual (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 149
10 Heri Gunawan, Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Islam , (Bandung: Alfabeta, 2012)
hlm. 207
11 Abdul Wahab, op.cit ., hlm. 137
5
yang berpusat di dada ( heart ), serta kema mpuan yang terletak di tangan untuk
bekerja (hand ).12
Dengan demikian, ketika sekolah telah menerapkan kegiatan -kegiatan yang
berbau pada religiusitas, tentu diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi
siswa, baik dalam hal akademik maupun non akademik.
Penyelenggaraan pendidikan Islami membutuhkan landasan yang kokoh
berdasarkan asas Islam itu sendiri. Landasan yang dimaksud berupa landasan
filosofis (ideologi), konstitusional (syari’at Islam), maupun operasional pendidikan
(kebijakan para ulama).13
Setiap sekolah atau madrasah memiliki karakteristik masing -masing dalam
hal menyelenggarakan kurikulum, sepertihalnya menyelenaggarakan budaya
religious itu sendiri mereka mempunyai karakteristik masing -masing dalam
menjalakan atau mengembangkan budaya rel igious. Apalagi di daerah kita banyak
sekali macam sekolah dasar mulai dari madarasah negeri, m adrasah swasta,
sekolah dasar negeri dan sekolah dasar yang bernuansa Islam.
Berpi jak pada pemikiran -pemikiran di atas, maka peneliti akan menelaah
mengenai budaya religius di sekokolah -sekolah tersebut . Maka dibuatlah judul
penelitian “Komparasi Budaya Religius di Sekolah Dasar dan Madrasah
Ibtidaiyah (studi multikasus di Kota Blitar) ”.
C. Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan fokus
dari penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan budaya religious di sekolah dasar dan madrasah
ibtidaiyah?
12 Muzayyin Arifin, op.cit ., hlm. 49
13 Suroso A bdulsalam, Arah & Asas Pendidikan Islam (Surabaya: Sukses Publishing, 2011),
hlm. 63
6
2. Bagaimana perbedaan budaya religious di sekolah dasar dan madrasah
ibtidaiyah?
D. Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui:
1. Penerapan budaya religious di sekolah dasar dan madrasah ibtidai yah
2. Perbedaan budaya religious di sekolah dasar dan madrasah ibtidai yah
E. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk pengembangan ilmu
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan khususnya pengetahuan tentang budaya religius sekolah,
serta bisa dijadikan acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya.
2. Dilihat dari segi teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan.
Adapun kegunaannya adalah:
a. Memberikan masukan kepada guru di sekolah tempat penelitian ini
yang dapat digunakan sebagai upaya peningkatan proses
pembelajaran.
b. Memberikan sumbangan penelitian dalam bidang pendidikan yang
berkaitan dengan masalah budaya religius sekolah.
7
F. Orisinalitas Penelitian
1. Tesis berjudul “ Strategi Kepala Sekolah dalam Membangun Budaya Religius di
Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Ngawi ” yang ditulis oleh Saeful
Bakri pada tahun 2010 PPS UIN MALIKI Malang prodi Manajemen
Pendidikan Islam . Penelitian ini difokuskan pada strategi kepala sekolah
dalam membangun budaya religius di SMAN 2 Ngawi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa (1) wujud budaya religius di SMAN 2 Ngawi meliputi:
(a) belajar baca tulis al -Qur`an, (b) pembiasaan senyum dan sa lam, (c)
pelaksanaan sholat Jumat, (d) pemakaian jilbab (berbusana muslim/muslimah)
pada bulan ramadhan, (e) mentoring keIslaman, (f) peringatan hari-hari besar
Islam. (2) strategi kepala sekolah dalam membangun budaya religius meliputi:
(a) perencanaan p rogram (niat), (b) memberi teladan kepada warga sekolah,
(c) kemitraan dan andil dalam mendukung kegiatan keagamaan, (d)
melakukan evaluasi. (3) Dukungan warga sekolah telah dilakukan dengan baik
dengan cara menunjukkan komitmennya masing -masing. Secara berurutan
dukungan warga sekola h terhadap membangun budaya rel igius adalah sebagai
berikut: komitmen sekolah, komitmen guru, komitmen siswa dan komitmen
karyawan.
2. Tesis berjudul “ Pengaruh Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga dan
Budaya Religius Sekolah terhadap Kecerdasan Emosional Siswa SMU Negeri
2 Batu ” yang ditulis oleh Zulfikar M pada tahun 2011 PPS UIN MALIKI
Malang prodi Manajemen Pendidikan Islam . Hasil penelitian menunjukkan
8
bahwa masing -masing variabel independen dan variabel dependen m emiliki
korelasi positif dan pengaruh signifikan yaitu pendidikan agama Islam dalam
keluarga (0,456) dan budaya religius sekolah (0,369). Secara bersama -sama
terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan agama Islam dalam
keluarga dengan budaya relig ius sekolah dengan kecerdasan emosional dengan
nilai R sebesar 0,494, R2 sebesar 0,244. Ini berarti bahwa persentase
sumbangan pengaruh variabel independen (pendidikan agama Islam dalam
keluarga dan budaya religius sekolah) terhadap variabel dependen (kece rdasan
emosional siswa) sebesar 24,4 %.
3. Tesis berjudul “ Manajemen Kinerja Berbasis Budaya Religius Dalam
Meningkatkan Profesionalisme Guru (Studi Kasus di MTsN Aryojeding
Tulungagung) ” yang ditulis oleh Lia Husna Khotmawati pada tahun 2010 PPS
UIN MALIK I Malang prodi Manajemen Pendidikan Islam . Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: (1) Perencanaan yang dilakukan oleh kepala MTsN
Aryojeding dalam meningkatkan profesionalisme guru berbasis budaya religius
meliputi: (a) Perencanaan berdasarkan RENSTRA, visi, misi, tujuan madrasah,
dan kebutuhan (need assesment), (b) Melibatkan seluruh unsur civitas
akademika madrasah, (c) Melakukan rekrutmen guru GTT baru, (2)
Pembinaannya meliputi: (a) Mengikutkan dalam diklat, seminar, maupun
workshop, (b) Studi lanjut, (c) Revitalisasi MGMP, (d) Membentuk forum
silaturrahim antar guru, (e) Penambahan fasilitas penunjang, (3) Evaluasi
meliputi: (a) melakukan supervisi, baik secara personal maupun kelompok, (b)
9
Teknik yang digunakan adalah secara langsung (directive) dan tidak langsung
(non direcvtive), (c) Aspek penilaian dalam supervisi adalah presensi guru,
kinerja guru di madrasah, perkembangan siswa, (d) menggunakan format
Daftar Penilaian Pekerjaan (DP3).
Tabel 1.1
Orisinalitas Penelitian
No. Nama Peneliti,
Judul dan tahun
Penelitian Persamaan Perbedaan
Orisinalitas
Penelitian
1. Saeful Bakri,
“Strategi Kepala
Sekolah dalam
Membangun Budaya
Religius di Sekolah
Menengah Atas
Negeri (SMAN) 2
Ngawi”
(Tesis, 2010) Menggunakan
pendekatan
kualitatif Penelitian ini
difokuskan pada
strategi kepala
sekolah dalam
membangun bud
aya religius di
sekolah serta
sasaran dalam
penelitian yang
berbeda, yaitu
SMA Sasaran
penelitian
adalah seko lah
dasar dengan
berbagai macam
latar belakang
lembaga.
2. Zulfikar M,
“Pengaruh
Pendidikan Agama
Islam dalam Membahas
tentang
budaya Menggunakan
pendekatan Sasaran
penelitian
adalah seko lah
dasar dengan
10
Keluarga dan
Budaya Religius
Sekolah terhadap
Kecerdasan
Emosional Siswa
SMU Negeri 2
Batu”
(Tesis, 2011) religius
sekolah kuantitatif dengan
tiga variabel berbagai macam
latar belakang
lembaga.
3. Lia Husna
Khotmawati,
“Manajemen
Kinerja Berbasis
Budaya Religius
Dalam
Meningkatkan
Profesionalisme
Guru (Studi Kasus
di MTsN Aryojeding
Tulungagung)”
(Tesis, 2010) Menggunakan
pendekatan
kualitatif Sasaran utama
difokuskan pada
guru kaitannya
dengan
profesionalisme Penelitian
terdahulu tidak
membahas
budaya religius
kaitannya
dengan siswa
G. Definisi Istilah
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang arah penelitian skripsi ini,
ada baiknya peneliti terlebih dahulu menjelaskan kata kunci yang terdapat dalam
pembahasa n ini:
1. Komparasi
Dalam penelitian ini, komparasi lebih difokuskan pada kegiatan keagamaan
yang ada di beberapa madrasah dan sekolah dasar dalam wujud budaya
11
religious. Yang dilaksakan di beberapa sekolah dasar dengan tujuan
mengetahui perbandingan kelebihan dan kekurangan penerapan budaya
religious.
2. Budaya Religius
Budaya religius adalah aktivitas keagamaan yang secara tidak langsung
melekat dalam kegiatan siswa di sekolah dan diharapkan diterapkan juga di
lingkungan rumah atau sekitar tempat tinggal siswa. Budaya religius dalam hal
ini adalah kegiatan yang dilakukan di di setiap lembaga sekolah yang telah di
biasakan atau di budidayakan di beberapa lembaga tersebut.
H. Tinjauan tentang Budaya
1. Pengertian Budaya
Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta ,
karsa , dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sanskerta
budhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dalam
bahasa Inggris, kata budaya berasal dari kata culture , dalam bahasa Belanda
diistilahkan dengan kata cultuur, dalam bahasa Latin, berasal dari kata colera .
Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah
(bertani).14
Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture , yaitu sebagai
segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Berikut
pengertian budaya atau kebudayaan dari beberapa ahli:
a. E. B. Taylor , budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebi asaan yang didapat oleh
manusia sebagai anggota masyarakat.
14 Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Kencana. 2011), hlm. 27
12
b. R. Linton , kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku
yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, dimana unsur
pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyar akat lainnya.
c. Koentjaraningrat , mengartikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan
system gagasan, milik dari manusia dengan belajar.
d. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi , mengatakan bahwa
kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
e. Herkovits , kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang
diciptakan oleh manusia.15
Dengan demikian, kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan
aspek kehidupan manusia baik material maupun non material. Sebagian besar
ahli yang mengartikan kebudaya an seperti ini kemungkinan besar sangat
dipengaruhi oleh pandangan evolusionisme, yaitu suatu teori yang mengatakan
bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari tahapan yang sederhana menuju
tahapan yang lebih kompleks.16
Budaya akan muncul dalam masyarakat de ngan perbaikan -perbaikan di
semua sisi kebudayaan itu untuk menjadi lebih baik sesuai perkembangan
zaman dan tingkat pemikiran manusia yang semakin modern. Sebagai
contohnya, alat transportasi yang mulanya menggunakan kuda atau unta,
seiring berkembangnya zaman, manusia memiliki tingkat pengetahuan yang
lebih tinggi dan dibuatlah alat transportasi yang lebih canggih seperti mobil,
motor, pesawat, dan lain sebagainya.
Didalam dunia pendidikan pun demikian. Melalui budaya sekolah,
semakin banyak kegiatan yang digalakkan untuk meningkatkan kualitas lulusan
sekolah. Budaya sekolah akan mempengaruhi suasana kelas, baik kebebasan
yang dinikmati peserta didik dalam mengembangkan pikiran dan prestasinya
15 Ibid..
16 Ibid. , hlm. 28
13
ataupun sebaliknya bisa menjadi pengekangan dan keterbatasan te hadap
pengembangan peserta didik dan sekolah itu sendiri.17
2. Substansi Budaya
Substansi utama kebudayaan merupakan wujud abstrak dari segala
macam ide dan gagasan manusia yang bermunculan didalam masyarakat yang
memberi jiwa pada masyarakat itu sendiri baik berupa sistem pengetahuan,
nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi, dan etos kebudayaan.18
a. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial
merupakan suatu akumulasi dari perjalanan hidupnya dalam hal berusaha
memaham i:
1) Alam sekitar
2) Alam flora di daerah tempat tinggal
3) Alam fauna di daerah te mpat tinggal
4) Zat-zat bahan mentah, dan benda -benda dalam lingkungannya
5) Tubuh manusia
6) Sifat -sifat dan tingkah laku sesama manusia
7) Ruang dan waktu
Untuk memperoleh pengetahuan tersebut diatas, manusia
melakukan tiga cara, yaitu:
a) Melalui pengalaman dalam kehidupan sosial. Pengetahuan melalui
pengalaman langsung ini akan membentuk kerangka pikir individu
untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan aturan yang dijadikan
pedomannya.
17 Agus Yuliono, Pengembangan Budaya Sekolah Berprestasi: S tudi Tentang Penanaman Nilai
Dan Etos Berprestasi di Sma Karangturi , Jurnal Komunitas 3 (2) (2011) : 169 -179,
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas .
18 Elly M. Setiadi, dkk, op.cit ., hlm. 30
14
b) Berdasarkan pengalaman yang diperoleh melalui pendidikan formal
maupun dari pendidikan non -formal seperti kursus, penataran, dan
ceramah.
c) Melalui petunjuk -petunjuk yang bersifat simbolis yang sering disebut
sebagai komunikasi simboliks.19
b. Nilai
Nilai adal ah sesuatu yang baik yang selalu diinginkan, dicita –
citakan dan dianggap penting oleh seluruh manusia sebagi anggota
masyarakat. Karena itu, sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna
dan berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nila i moral atau
etis), religius (nilai agama).
C. Kluchohn mengemukakan bahwa yang menentukan orientasi
nilai budaya manusia di dunia adalah lima dasar yang bersifat universal,
yaitu:
1) Hakikat hidup manusia
2) Hakikat karya manusia
3) Hakikat waktu manusia
4) Hakikat a lam manusia
5) Hakikat hubungan antar manusia20
c. Pandangan Hidup
Pandangan hidup merupakan pedoman bagi suatu bangsa atau
masyarakat dalam menjawab atau mengatasi berbagai masalah yang
dihadapinya. Di dalamnya terkandung konsep nilai kehidupan yang dicita –
citakan oleh suatu masyarakat. Oleh karena itu, pandangan hidup
19 Ibid. , hlm. 31
20 Ibid..
15
merupakan nilai -nilai yang dianut oleh suatu masyarakat dengan dipilih
secara selektif oleh individu, kelompok, atau bangsa.21
Melalui pandangan hidup yang telah disepakati dan dianut oleh
sekelompok masyarakat, tentu akan sangat berpengaruh terhadap pola pikir
dan kehidupan masyarakat tersebut. Dengan demikian, pandangan hidup
dalam masyarakat harus bersifat membangun dan mengarahkan masyarakat
untuk menjadi lebih baik dalam semua aspek kehidupannya.
d. Kepercayaan
Kepercayaan mengandung arti yang lebih lua s daripada agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pada dasarnya, man usia memiliki naluri untuk mengha mbakan diri
kepada yang Mahatinggi, yaitu dimensi lain di luar diri dan lingkungannya,
yang dianggap mampu mengendalikan hidup manusia. Dorong an ini
sebagai akibat atau refleksi ketidakmampuan manusia dalam menghadapi
tantangan -tantangan hidup, dan hanya yang Mahatinggi saja yang mampu
memberikan kekuatan dalam mencari jalan keluar dari permasalahan hidup
dan kehidupan.22
e. Persepsi
Persepsi atau s udut pandang ialah suatu titik tolak pemikiran yang
tersusun dari seperangkat kata -kata yang digunakan untuk memahami
kejadian atau gejala dalam kehidupan.
Persepsi terdiri atas: 1) persepsi sensorik , yaitu persepsi yang terjadi
tanpa menggunakan salah sat u indra manusia; 2) persepsi telepati , yaitu
kemampuan pengetahuan kegiatan mental individu lain; 3) persepsi
21 Ibid. , hlm. 31 -32
22 Ibid. .
16
clairvoyance , yaitu kemampuan melihat peristiwa atau kejadian di tempat
lain, jauh dari tempat orang yang bersangkutan.
f. Etos Kebudayaan
Etos atau jiwa kebudayaan (dalam antropologi) berasal dari bahasa
Inggris berarti watak khas. Etos sering tampak pada gaya perilaku warga
misalnya, kegemaran -kegemaran warga masyarakatnya serta berbagai
benda budaya hasil karya mereka, dilihat dari luar oleh orang asing.
Contohnya, kebudayaan Batak dilihat dari orang Jawa sebagai orang yang
agresif, kasar, kurang sopan, tegas, konsekuen, dan berbicara apa adanya.
Sebaliknya kebudayaan Jawa dilihat oleh orang Batak, bahwa watak orang
Jawa memancarkan keselarasan, kes uraman, ketenangan yang berlebihan,
lamban, tingkah laku yang sukar ditebak, gagasan yang berbelit -belit,
foedal, serta diskriminasi terhadap tingkatan sosial.23
3. Sifat -sifat Budaya
Kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak
sama, seperti di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, tetapi
setiap kebudayaan memiliki ciri atau sifat yang sama. Sifat tersebut bukan
diartikan secara spesifik, melainkan bersifat universal. Dimana sifat -sifat
budaya itu akan memiliki ciri -ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia
tanpa membedakan faktor ras, lingkungan alam, atau pendidikan.
Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut antara lain:
a. Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.
b. Budaya telah ada terlebih dahulu daripada l ahirnya suatu generasi tertentu
dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
c. Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.
23 Ibid. , hlm. 33
17
d. Budaya mencakup aturan -aturan yang berisikan kewajiban -kewajiban,
tindakan -tindakan ya ng diterima dan ditolak, tindakan yang dilarang, dan
tindakan yang diizinkan.24
4. Sistem Budaya
Sistem budaya merupakan komponen dari kebudayaan yang bersifat
abstrak dan terdiri dari pikiran -pikiran, gagasan, konsep, serta keyakinan.
Dengan demikian, sistem kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang
dalam bahasa Indonesia lebih lazim disebut sebagai adat istiadat. Dalam adat
istiadat terdapat juga sistem norma dan disitulah salah satu fungsi sistem
budaya yaitu menata serta menetapkan tindakan -tindakan dan tingkah laku
manusia.
Dalam sistem budaya ini terbentuk unsur -unsur yang paling berkaitan
satu dengan lainnya. Sehingga tercipta tata kelakuan manusia yang terwujud
dalam unsur kebudayaan sebagai satu kesatuan.
Unsur pokok kebudayaan menurut Bronisl aw Malinowski adalah
sebagai berikut:
a) Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.
b) Organisasi ekonomi
c) Alat-alat dan lembaga pendidikan
d) Organisasi kekuatan
Sistem kebudayaan suatu daer ah akan menghasilkan jenis -jenis
kebudayaan yang berbeda. Jenis kebudayaan ini dapat dikelompokkan menjadi:
1) Kebudayaan material
Kebudayaan material antara lain hasil cipta, karsa, yang berwujud benda,
barang alat pengolahan alam seperti gedung, pabrik, jalan, rumah, dan
sebagainya.
24 Ibid. , hlm. 33 -34
18
2) Kebudayaan non -material
Merupakan hasil cipta, karsa, yang berwujud kebiasaan, adat istiadat, ilmu
pengetahuan dan sebagainya. Non -material antara lain:
Volkways (norma kelaziman)
Mores (norma kesusilaan)
Norma hukum
Mode (fashion)
Kebudayaan dapat dilihat dari dimensi wujudnya adalah :
a. Sistem budaya
Kompleks dari ide -ide, gagasan, nilai -nilai, peraturan, dan sebagainya.
b. Sistem sosial
Merupakan kompleks dari aktivitas serta berpola dari manusia dalam
organisasi dan masyara kat.
c. Sistem kebendaan
Wujud kebudayaan fisik atau alat -alat yang diciptakan manusia untuk
kemudahan hidupnya.25
Dari penjelasan -penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa budaya
tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Setiap aktivitas dan tingkah
lakunya akan menghasilkan budaya yang nantinya mendarah daging dalam
masyarakat. Selain itu, budaya dapat dijadikan sebagai alat untuk
menghidupkan masyarakat dan memajukannya. Oleh karenanya, budaya dalam
masyarakat harus bersifat baik dan memberikan kontribu si positif di dalam
masyarakat tersebut.
25 Ibid., hlm. 34 -35
19
I. Tinjauan tentang Religius
1. Pengertian Religius
Religius menurut Islam adalah menjalankan ajaran agama secara
menyeluruh.26 Allah berfirman dalam surat al -Baqarah ayat 208:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواادْخُلُوا فِي السِِّلْمِ كَافَّةً وََلَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِين
Artinya: Hai orang -orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah -langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu .27
Agama adalah suatu sistem nilai yang diakui dan diyakini kebenarannya
dan merupakan jalan ke arah keselamatan hidup. Sebagai suatu sistem nilai,
agama meliputi tiga persoalan pokok, yaitu:
a. Tata keyakinan, yaitu bagian dari agama yang paling mendasar berupa
keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan supranatural, Dzat Yang Maha
Mutlak di luar kehidupan manusia.
b. Tata peribadatan, yaitu tingkah laku dan perbuatan -perbuatan manusia
dalam berhubungan dengan dzat yang diyakini se bagai konsekuensi dari
keyakinan akan keberadaan Dzat Yang Maha Mutlak.
c. Tata aturan, kaidah -kaidah atau norma -norma yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia, atau manusia dengan alam lainnya sesuai dengan
keyakinan dan peribadatan tersebut.28
Agama bagi manusia merupakan kebutuhan alamiah (fitrah) manusia.
Agama sebagai fitrah manusia melahirkan keyakinan bahwa agama adalah satu –
satunya cara pemenuhan semua kebutuhan manusia. Semula orang mengira
bahwa dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, keb utuhan terhadap agama
akan semakin mengecil, bahkan hilang sama sekali. Tetapi pada kenyataan
sekarang ini menampakkan dengan jelas bahwa semakin maju ilmu
26 Asmaun sahlan, op.cit ., hlm. 75
27 Al-Qur’an dan terjemahnya (Semarang: Menara Kudus, 2006), hlm. 32
28 Tim dosen PAI Universitas Brawijaya, op.cit ., hlm. 4 -5
20
pengetahuan dan teknologi yang dicapai manusia, kebutuhan agama semakin
mendesak berkenaan dengan ke bahagiaan sebagai sesuatu yang abstrak yang
ingin dicapai manusia.29
Namun dalam pendapat lain, religiusitas (kata sifat: religius) tidak
identik dengan agama. Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian
kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi, yuridis , peraturan -peraturan dan
hukum -hukumnya, serta keseluruhan organisasiorganisasi sosial keagamaan
dan sebagainya yang melingkupi segi -segi kemasyarakatan. Keberagamaan
atau religiusitas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati nurani” pribadi.
Dan kar ena itu, religiusitas lebih dalam dari agama yang tampak formal.30
2. Ciri Sikap Religius
Menurut Gay Hendricks dan Kate Luderman dalam Ari Ginanjar,
terdapat beberapa sikap religius yang tampak dalam diri seseorang dalam
menjalankan tugasnya, diantaranya:
1) Kejujuran
Rahasia untuk meraih sukses menurut mereka adalah dengan selalu
berkata jujur. Mereka menyadari, justru dengan ketidakjujuran kepada
pelanggan, orang tua, pemerintah, dan masyarakat, pada akhirnya akan
mengakibatkan diri mereka sendiri terjebak dala m kesulitan yang berlarut –
larut. Total dalam kejujuran menjadi solusi meskipun kenyataan begitu
pahit.
2) Keadilan
Salah satu skill seseorang yang religius adalah mampu bersikap adil
kepada semua pihak, bahkan saat ia tersdesak sekalipun.
3) Bermanfaat bagi Or ang Lain
29 Ibid. , hlm. 8
30 Muhaimin, op.cit ., hlm. 287 -288
21
Hal ini merupakan salah satu bentuk sikap religius yang tampak dari
diri seseorang. Sebagaimana sabda Nabi saw: “sebaik -baik manusia adalah
manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain”.
4) Rendah Hati
Sikap rendah hari, merupakan sikap tidak so mbong mau
mendengarkan pendapat orang lain dan tidak memaksakan gagasan atau
kehendaknya. Dia tidak merasa bahwa dirinyalah yang selalu benar
mengingat kebenaran juga selalu ada pada diri orang lain.
5) Bekerja Efisien
Mereka mampu memusatkan semua perhatian mereka pada
pekerjaan saat itu, dan begitu juga saat mengerjakan pekerjaan selanjutnya.
Mereka menyelesaikan pekerjaannya dengan santai, namun mampu
memusatkan perhatian mereka saat belajar dan bekerja.
6) Visi ke Depan
Mereka mampu mengajak orang ke dalam an gan-angannya.
Kemudian menjabarkan begitu terinci, cara -cara untuk menuju kesana.
Tetapi pada saat yang sama ia dengan mantap realitas masa kini.
7) Disiplin Tinggi
Mereka sangatlah disiplin. Kedisiplinan mereka tumbuh dari
semangat penuh gairah dan kesadaran, bukan berangkat dari keharusan dan
keterpaksaan. Mereka beranggapan bahwa tindakan yang berpegang teguh
pada komitmen untuk kesuksesan diri sendiri dan orang lain adalah hal yang
dapat menumbuhkan energi tingkat tinggi.
8) Keseimbangan
22
Seseorang yang memiliki sifat religius sangat menjaga
keseimbangan hidupnya, khususnya empat aspek inti dalam kehidupannya,
yaitu: keintiman, pekerjaan, komunitas, dan spiritualitas.31
Dalam kontek pembelajaran, beberapa nilai religius tersebut bukan
tanggung jawab guru agama semata. Kejujuran tidak hanya disampaikan lewat
mata pelajaran agama saja., tetapi juga lewat mata pelajaran lainnya. Misalnya
seorang guru matematika mengajarkan kejujuran lewat rumus -rumus pasti yang
menggambarkan suatu kondisi yang tidak kura ng dan tidak lebih atau apa
adanya . Begitu juga seorang guru ekonomi bisa menanamkan nilai -nilai
keadilan lewat pelajaran ekonomi. Seseorang akan menerima untung dari suatu
usaha yang dikembangkan sesuai dengan besar kecilnya modal yang
ditanamkan. Dalam h al ini, aspek keadilanlah yang diutamakan.32
Keberagamaan atau religiusitas seseorang diwujudkan dalam berbagai
sisi kehidupannya. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang
melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas
lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya berkaitan dengan
aktivitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktivitas yang
tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.33
Bila nilai -nilai religius tersebut telah tertanam pada diri siswa dan
dipupuk dengan baik, maka dengan sendirinya akan tumbuh menjadi jiwa
agama. Dalam hal ini jiwa agama merupakan suatu kekuatan batin, daya dan
kesanggupan dalam jasad manusia yang menurut para ahli Ilmu Jiwa Agama,
kekuatan ters ebut bersarang pada akal, kemauan dan perasaan. Selanjutnya,
jiwa tersebut dituntun dan dibimbing oeh peraturan atau undang -undang Ilahi
yang disampaikan melalui para Nabi dan Rasul -Nya untuk mengatur hidup dan
31Ary Ginanjar Agustian, “Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power” dalam Asmaun Sahlan,
Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah (Malang: UIN -Maliki Press, 2010), hlm. 68
32 Ibid..
33 Djamaludin ancok, “Psikologi Islam, Solusi Islam atas Problem -problem Psikologi” dalam
Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah (Malang: UIN -Maliki Press, 2010), hlm. 69
23
kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraa n baik di kehidupan dunia ini
maupun di akhirat kelak.34
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa religius adalah sikap
keberagamaan yang didalamnya mencakup beberapa aspek yang
menghubungkan antara manusia dengan Tuhannya. Nilai -nilai religius dapat
diterapkan di setiap kegiatan dalam kehidupan yang meliputi ibadah,
muamalah, akidah, dan sebagainya. Sebagai manusia tentu tidak dapat
dipisahkan dari penciptanya, oleh karena itu diperlukan sikap religius dalam
kehidupan manusia agar setiap langkah hidup yang dijalani senantiasa berada
di jalan yang benar.
Sikap religius perlu diajarkan kepada siswa di sekolah. Pengetahuan
umum saja tentu tidak memberikan kontribusi yang cukup untuk bekal siswa
dalam menjalankan tugasnya di masyarakat kelak. Harus ada kes eimbangan
antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama. Seperti yang
dikatakan Albert Einstein seorang ilmuan terbesar abad ke -20 yang
menyatakan, “ Religion without science is lame and science without relegion is
blind ”, agama tanpa ilmu adalah pincang dan ilmu tanpa agama adalah buta.
Sehingga pengetahuan agama mutlak diperlukan, bahkan harus diterapkan
dalam kehidupan sehari -hari.
J. Tinjauan tentang Budaya Religius
1. Pengertian Budaya Religius
Tradisi dan perwujudan ajaran agama memiliki keterkai tan yang erat,
karena itu tradisi tidak dapat dipisahkan begitu saja dari masyarakat/lembaga
dimana ia dipertahankan, sedangkan masyarakat juga mempunyai hubungan
timbal balik, bahkan saling mempengaruhi dengan agama. Untuk itu, menurut
34 Muhaimin dan Abdul Mujib, “Pemikiran Pendidi kan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka
Dasar Operasionalnya” dalam Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah (Malang:
UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 70
24
Mukti Ali, agama me mpengaruhi jalannya masyarakat dan pertumbuhan
masyarakat mempengaruhi pemikiran terhadap agama. Dalam kaitan ini,
Sudjatmoko juga menyatakan bahwa keberagamaan manusia pada saat yang
bersamaan selalu disertai dengan identitas budayanya masing -masing yang
berbeda -beda.35
Dalam tataran nilai, budaya religius berupa: semangat berkorban,
semangat persaudaraan, semangat saling menolong dan tradisi mulia lainnya.
Sedangkan dalam tataran perilaku, budaya religius berupa: tradisi sholat
berjamaah, gemar bersodaqoh, rajin belajar, dan perilaku mulia lainnya.36
Dengan demikian, budaya religius sekolah pada hakikatnya adalah
terwujudnya nilai -nilai ajaran agama sebagai tradisi dalam berperilaku dan
budaya organisasi yang diikuti oleh seluruh warga sekolah. Dengan menjadikan
agama sebagai tradisi dalam sekolah maka secara sadar maupun tidak ketika
warga sekolah mengikuti tradisi yang telah tertanam tersebut sebenarnya warga
sekolah sudah melakukan ajaran agama.37
Oleh karena itu, untuk membudayakan nilai -nilai keber agamaan
(religius ) dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain melalui: kebijakan
pimpinan sekolah, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan
ekstrakurikuler di luar kelas serta tradisi dan perilaku warga sekolah secara
kontinyu dan ko nsisten, sehingga tercipta religious culture tersebut dalam
lingkungan sekolah.38
2. Proses Terbentuknya Budaya Religius Sekolah
Secara umum budaya dapat terbentuk secara prescriptive dan dapat juga
secara terprogram sebagai learning process atau solusi terhadap suatu masalah.
35 Muhaimin, op.cit ., hlm. 294
36 Asmaun, op.cit ., hlm. 77
37 Ibid..
38 Ibid..
25
Yang pertama adalah pembentukan atau terbentuknya budaya religius sekolah
melalui penurutan, peniruan, penganutan dan penataan suatu skenario (tradisi,
perintah) dari atas atau dari luar pelaku budaya yang bersangkutan. Pola ini
disebut pola pelakonan .39
Yang kedua adalah pembentukan budaya secara terprogram melalui
learning process . Pola ini bermula dari dalam diri pelaku budaya, dan suara
kebenaran, keyakinan, anggapan dasar atau dasar yang dipegang teguh sebagai
pendir ian, dan diaktualisasikan menjadi kenyataan melalui sikap dan
perilaku.Kebenaran itu diperoleh melalui pengalaman atau pengkajian trial and
error dan pembuktiannya adalah peragaan pendiriannya tersebut. Itulah
sebabnya pola aktualisasinya ini disebut pola peragaan :40
Budaya religius yang telah terbentuk di sekolah, beraktualisasi ke dalam
dan ke luar pelaku budaya menurut dua cara. Aktualisasi budaya ada yang
berlangsung secara covert (samar/tersembunyi) dan ada yang overt
(jelas/terang). Yang pertama adala h aktualisasi budaya yang berbeda antara
aktualisasi ke dalam dengan ke luar, ini disebut covert yaitu seseorang yang
tidak berterus terang, berpura -pura, lain di mulut lain di hati, ia diselimuti
rahasia. Yang kedua , adalah aktualisasi budaya yang tidak m enunjukkan
perbedaan antara aktualisasi ke dalam dengan aktualisasi ke luar, ini disebut
dengan overt . Pelaku overt ini selalu berterus terang dan langsung pada pokok
pembicaraan.41
Pada tataran nilai yang dianut, perlu dirumuskan secara bersama nilai –
nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan di sekolah, untuk
selanjutnya membangun komitmen dan loyalitas bersama di antara semua
39 Talizuhu Ndara, “Teori Budaya Organisa” dalam Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya
Religius di Sekolah (Malang: UIN -Maliki Press, 2010), hlm. 83
40 Ibid..
41 Ibid. , hlm. 84
26
warga sekolah terhadap nilai yang disepakati. Sebagaiamana yang
dikemukakan oleh Hicman dan Silva bahwa terdapat tiga langk ah untuk
mewujudkan budaya, yaitu: commitment , competence , dan consistency .
Sedangkan nilai -nilai yang disepakati tersebut bersifat vertikal dan horizontal.
Yang vertikal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan Allah
dan yang horizontal berwuju d hubungan manusia dengan warga sekolah dengan
sesamanya dan hubungan mereka dengan alam sekitar. 42
Dalam tataran praktik keseharian, nilai -nilai keagamaan yang telah
disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian
oleh semua warga sekolah. Proses pengembangan tersebut dapat dilakukan
melalui tiga tahap, yaitu: pertama , sosialis asi nilai -nilai agama yang disepakati
sebagai sikap dan perilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di
sekolah. Kedua , penetapan action plan mingguan atau bulanan sebagai tahapan
dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua pihak di seko lah dalam
mewujudkan nilai -nilai agama yang telah disepakati tersebut. Ketiga ,
pemberian penghargaan terhadap prestasi warga sekolah seperti guru, tenaga
kependidikan dan/atau peserta didik sebagai usaha pembiasaan ( habit
formation ) yang menjunjung sikap d an perilaku yang komitmen dan loyal
terhadap ajaran dan nilai -nilai agama yang disepakati. Penghargaan tidak selalu
berarti materi (ekonomik), melainkan juga dalam arti sosial, kultural,
psikologik ataupun lainnya.43
Dengan demikian lahirlah lulusan yang bermutu tinggi, yaitu seorang
mukmin yang memiliki ilmu (kognitif/ knowledge ), dan mampu memanfaatkan
ilmunya dalam kehidupan sebagai amalnya (motorik/ skill) dengan akhlak mulia
42 Hickman dan Silva () dalam Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah
(Malang : UIN -Maliki Press, 2010), hlm. 85
43 Ibid..
27
(nilai dan sikap/ attitude ), sehingga lulusan tersebut memiliki pribadi ya ng
integral, yaitu integrasi antara iman, ilmu, dan amal.44
Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa budaya religius mutlak
diperlukan untuk menghasilakn lulusan yang bermutu, tidak hanya menonjol
dalam bidang iptek namun juga imtaq (iman dan takwa). S ebelum
membiasakan siswa dengan kegiatan -kegiatan yang religius, seorang pendidik
atau guru dituntut juga memiliki sifat religius agar dapat dicontoh oleh siswa.
Budaya religius di sekolah harus didukung oleh semua komponen
termasuk kepala sekolah, guru, dan siswa. Penerapan budaya religius
memerlukan rancangan yang matang oleh semua komponen sekolah agar
kegiatan yang nantinya dijalankan dapat berjalan dengan lancar dan konsisten.
Sehingga, tidak saja dilakukan di sekolah, namun siswa dapat menerapkannya
juga di luar sekolah.
K. Pengembangan Budaya Religius di Sekolah
Terbentuknya budaya religius di sekolah tentu memberikan dampak positif
bagi warga sekolah. Melalui kegiatan -kegiatan yang digalakkan, dapat
membiasakan para guru maupun siswa untuk senantiasa melaksanakan perintah
agama dengan baik dan benar. Tidak hanya sekolah yang memiliki background
agama, sekolah umum pun saat ini telah banyak yang menerapkan beberapa
kegiatan keagamaan dalam pembelajaran maupun aktivitas lain. Hal ini terbukti
dari beberapa penelitian terdahulu yang akan dijelaskan pada kajian selanj utnya,
salah satunya pada penelitian tesis oleh Saeful Bakri (2010) dengan judul penelitian
“Strategi Kepala Sekolah dalam Membangun Budaya Religius di Sekolah
Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Ngawi” ditemukan hasil bahwa wujud budaya
religius di SMAN 2 Ngawi meliputi:
44 Heri Gunawan, op.cit ., hlm. 209
28
a. Belajar baca tulis al -Qur`an ,
b. Pembiasaan senyum dan salam,
c. Pelaksanaan sholat Jumat,
d. Pemakaian jilbab (berbusana muslim/muslimah) pada bulan ramadhan,
e. Mentoring keislaman,
f. Pering atan hari -hari besar Islam.
Bila jiwa agama telah tumbuh dengan subur dalam diri siswa, maka tugas
pendidik selanjutnya adalah menjadikan nilai -nilai agama sebagai sikap beragama
siswa. Sikap keberagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri
seseora ng yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar
ketaatannya kepada agama. Sikap keagamaan tersebut karena adanya konsistensi
antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap
agama sebagai unsur afektif, dan perilak u terhadap agama sebagai unsur
konatif/psikomotorik. Jadi sikap keagamaan pada anak sangat berhubungan erat
dengan gejala kejiwaan anak yang terdiri dari tiga aspek tersebut.45
Bertolak pada penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa nilai -nilai agama
yang ditanamkan dalam wujud budaya religius di sekolah sedikit banyak akan
memberikan pengaruh bagi siswa. Baik dari segi keagamaannya maupun prestasi
siswa di kelas yang mencakup aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Maka budaya religius dapat dikataka n penting dan perlu diterapkan di
sekolah, baik sekolah umum maupun sekolah yang berbasis agama. Penting pula
mengetahui bagaimana perencanaannya agar penerapan dan pengembangan budaya
religius di sekolah dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan tuju an yang
diinginkan.
45 Asmaun Sahlan, op.cit ., hlm. 70
29
L. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi
kasus ( case study ). Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode kerja
yang paling efisien, peneliti mengadakan telaah secara mendalam tentang suatu
kasus, kesimpulan hanya berlaku atau terbatas pada kasus tertentu saja.46
Dalam penelitian ini peneliti akan terjun sendiri sebagai instrumen dan
mengumpulkan data untuk selanjutnya dideskri psikan . Peneliti melaksanakan
kegiatan penelitian terhadap masalah -masalah yang berhubungan dengan
penerapan budaya religius di beberpa lembaga sekolah diantaranya Madrash
Ibtidaiyah Negeri, Madrasah Ibtidaiyah swata, Sekolah dasar Negeri dan Sekolah
dasar Islam. darai beberapa sekolah tersebut peneliti berusaha me ncari tahu
bagaimana implementasi dan hasilnya yang kemudian akan dibandingkan dari
masig -masing lembaga apa kelebihan, kekurangan dan kendala -kendala dari
penerapan budaya religus tersebut . Berd asarkan data hasil penelitian, peneliti
berusaha mencari jawaban tentang fenomena permasalahan tersebut.
2. Kehadiran Penelitian
Penelitian tentang penerapan budaya religious di beberpa lembaga sekolah yang
mempunya berbagai macam latar belakang yang berbeda, dalam penelitian ini
peneliti akan terjun sendiri sebagai instrumen dan mengumpulkan data untuk
selanjutnya di deskripsikan. Dalam hal ini peneliti sebag ai pengamat penuh yang
tidak terlibat dalam proses pendidikan yang diteliti.
Pelaksanaan Penelitian ini melalui beberapa tahap yang harus dilakukan
sebelum dilakukan, hal pertama yang dilakukan adalah mengajukan surat izin dari
pihak kampus kepada pihak ya ng akan diteliti, dan kemudian dilajutkan meneliti
pada lokasi penelitian.
46 Iskandar, Psikologi Pendidikan Sebuah Orientasi Baru (Jakarta: Referensi, 2012), hlm.26
30
3. Data dan Sumber Data Penelitian
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata -kata dan tindakan,
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain -lain. Begitu juga dalam
penelitian ini, peneliti berusaha mengumpulkan data dari beberapa sumber yang
bersangkutan, antara lain Kepala sekolah, guru, dan siswa. Berkaitan dengan hal
tersebut maka jenis data dalam penelitian ini dibagi menjadi:
a. Data kata -kata/lisan
Pencatatan data utama ini dilakukan melalui kegiatan wawancara yaitu
peneliti melakukan interview kepada sumber informasi di lokasi penelitian.
Dalam hal ini adalah Kepala sekolah, waka kurikulum, guru, dan orang tua
siswa.
b. Data tertulis
Data tertulis dapat diperoleh dari dokumen -dokumen yang berk aitan
dengan budaya religius dari masing -masing lembaga pendidikan .
c. Foto/gambar
Foto/gambar merupakan alat bantu sekaligus penunjang dalam
mengumpulkan data . Dalam penelitian ini foto atau gambar digunakan sebagai
sajian data yang berupa benda maupun peristiwa terkait dengan budaya r eligius
di masing -masing lembaga pendidikan .
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data disesuaikan dengan karakter data yang akan
dikumpulkan dan responden penelitian. Untuk mendapatkan data yang maksimal
peneliti menggunakan beberapa cara diantaranya:
a. Observasi
Dengan melakukan observasi atau pengamatan di lapangan, peneliti
dapat memperoleh keabsahan data untuk mengidentifikasi masalah yang ada di
masing -masing lemb aga pendidikan terkait dengan penerapan budaya religius
31
yang ada di sekolah tersebut meliputi i mplementasi, kendala, solusi dan hasil
budaya religius . Peneliti membuat catatan kecil tentang gambaran secara
singkat mengenai hal -hal yang ada di lapangan.
b. Wawancara
Dalam hal ini, peneliti memberikan beberapa pertanyaan terkait
pengembangan budaya religius di sekolah termasuk hal -hal yang berkaitan
dengan perencanaan, implementasi, hasil , kendala dan solusi dari penerapan
budaya religius di masin -masing l embaga sekolah yang menjadi objek
penelitian . Peneliti menggunakan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan –
pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Adapun responden yang akan
diwawancarai yakni ke pala sekolah, guru dan siswa.
c. Dokumentasi
Dokumen dal am penelitian ini dapat berupa peristiwa penting dan
benda -benda yang memiliki hubungan dengan pokok permasalahan yang ad a,
yaitu mengetahui bagaimana penerapan meliputi implementasi, kendala, solusi
dan hasil budaya religius termasuk hal -hal yang berkait an dengan dalam
pengembangan budaya religius di beberapa lembaga pendidikan .
Tabel 3. 1
Data, sumber d ata, dan instrumen penelitian
No. Data Sumber Data Instrumen
1. Deskrip si sekolah Kepala Sekolah Wawancara dan
dokumentasi
32
2. Implementasi budaya
religius sekolah Waka Kurikulum,
Guru (2 guru kelas) ,
siswa. Wawancara,
observasi, dan
dokumentasi
3. Hasil budaya religius
sekolah Waka Kurikulum ,
Guru (2 guru kelas) ,
dan salah satu wali
murid. Wawancara
observasi , dan
dokumentasi
4 Kendala dan Solusi
budaya religius
sekolah Waka Kurikulum ,
Guru (2 guru kelas) ,
dan satu wali murid Wawancara
observasi , dan
dokumentasi
5. Teknik Analisis Data
Kegiatan yang cukup penting dalam keseluruhan proses penelitian adalah
pengolahan data. Dengan pengolahan data dapat diketahui tentang makna dari data
yang berhasil dikumpulkan. Dengan demikian hasil penelitian pun akan segera
diketahui.
Dari rumusan di atas, dapat kita tarik garis besar bahwa analisis data
bermaksud mengorganisasikan data. Data yang terkumpul meliputi catatan
lapangan, komentar peneliti, gambar, foto, dokumen berupa laporan, biografi,
artikel, dan sebagainya.
Setelah data dari lapangan te rkumpul dengan menggunakan metode
pengumpulan data di atas, maka peneliti akan mengolah dan menganalisis data
tersebut dengan menggunakan analisis secara deskriptif -kualitatif . Analisa yang
dimaksud, yakni mendeskripsikan dan menguraikan tentang p enerapan budaya
religius di masing -masing lembaga pendidikann termasuk mengetahui bagaimana
penerapan, endala dan solusi dari penerapan budaya religious, dan kemudian kita
bandigkan dari masing -masing lembaga.
33
Adapun tahap -tahapan dalam analisis data terse but adalah sebagai berikut:
a. Mengecek kembali semua data yang telah terkumpul.
b. Menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi.
c. Mendeskripsikan dan mengur aikan semua data yang terkumpul.
6. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Setelah data terkumpul, maka peneliti mengecek kembali data -data yang
telah diperoleh dari hasil interview dan mengamati serta melihat dokumen yang
ada. Dengan demikian, data yang didapat dari peneliti dapat diuji keabsahanya dan
dapat dipertanggungjawabka n.
Kriteria keabsahan data dalam penelitian kualitatif ada empat macam yaitu :
(1) kepercayaan ( kreadibility ), (2) keteralihan ( transferability ), (3) kebergantungan
(dependibility ), (4) kepastian ( konfermability ).47 Dalam penelitian kualitatif ini
memakai 3 macam antara lain :
a. Kepercayaan ( kreadibility )
Agar hasil penelitian ini dapat dipercaya sesuai dengan teknik diatas,
maka peneliti akan melakukan beberapa teknik yang salah satunya yaitu
triangulasi. Peneliti akan bertanya kepada beberapa sumber ya itu kepala
sekolah, guru, dan waka kurikulum (triangulasi sumber). Jika diperlukan, maka
peneliti akan melakukan teknik lain sesuai kriteria diatas demi menemukan
kredibilitas data mengenai budaya religius dimasing -masing lembaga
pendidikan .
b. Kebergantungan ( depandibility )
Kesalahan sering dilakukan oleh manusia itu sendiri terutama pe neliti
karena keterbatasan pengalaman, waktu, pengetahuan. dependability dalam
47 M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, op cit ., hlm. 315
34
penelitian ini, peneliti akan meminta bantuan kepada dosen pembimbing untuk
melakuk an audit terhadap keseluruhan proses penelitian.
c. Kepastian ( konfirmability )
Pengujian konfirmability dalam penelitian kualitatif disebut dengan uji
obyektivitas penelitian. Penelitian dikatakan obyektif bila hasil penelitian telah
disepakati banyak oran g. Menguji konfirmability berarti menguji hasil
penelitian dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian
merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian
tersebut telah memenuhi standar konfirmability.48
Dalam peneliti an ini, untuk menguji konfirmability dilakukan dengan
cara mengecek data dan informasi serta interpretasi hasil penelit ian mengenai
budaya religius di masing -masing lembaga yang didukung oleh materi yang ada
pada pelacakan audit oleh dosen pembimbing.
M. DAFTAR PUSTAKA
Abdulsalam , Suroso. 2011. Arah & Asas Pendidikan Islam . Surabaya: Sukses
Publishing.
Al-Qur’an dan terjemahnya . 2006. Semarang: Menara Kudus.
Arifin, Muzayyin. 2009. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.
Daulay, Haidar Putra. 2009. Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia .
Jakarta:Rineka Cipta.
Ghony, M. Djunaidi dan Fauzan Almanshur. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Jogjakarta: Ar -Ruzz Media.
Gunawan, Heri. 2012. Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Islam . Bandung:
Alfabeta.
48 Ibid.,
35
Hasan, Iqbal. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya . Bogor: Ghalia Indonesia.
Kuntjara, Esther. 2006. Penelitian Kebudayaan . Yogyakarta: Graha Ilmu.
Mahmud. 2011. Metode Penelitian Pendidikan . Bandung: Pustaka Setia.
Muhaimmin. 2012. Paradigma Pendidikan Islam . Bandung: Rosda Karya.
Sahlan, Asmaun. 2010. Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah . Malang: UIN -Maliki
Press.
Setiadi, Elly M. dkk. 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar . Jakarta: Kencana.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D . Bandung:
Alfabeta.
TIM dosen PAI. 2007. Pendidikan Agama Islam di Universitas Brawijaya . Malang:
Pusat Pembinaan Agama (PPA) Universitas Brawijaya.
Wahab, Abdul dan Umiarso. 2011, Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan
Spiritual . Jogjakarta: Ar -Ruzz Media.
Yuliono, Agus. 2011. Pengembangan Budaya Sekolah Berprestasi: Studi Tentang
Penanaman Nilai Dan Eto s Berprestasi di Sma Karangturi , Jurnal Komunitas
3 (2): 169 -179.
Copyright Notice
© Licențiada.org respectă drepturile de proprietate intelectuală și așteaptă ca toți utilizatorii să facă același lucru. Dacă consideri că un conținut de pe site încalcă drepturile tale de autor, te rugăm să trimiți o notificare DMCA.
Acest articol: KOMPARASI BUDAYA RELIGIUS DI SEKOLAH DAS AR DAN [613198] (ID: 613198)
Dacă considerați că acest conținut vă încalcă drepturile de autor, vă rugăm să depuneți o cerere pe pagina noastră Copyright Takedown.
