Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016) [629776]
Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016)
44
PENERAPAN MODEL IMPEACHMENT DALAM
PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA
Oleh:
Putu Eva Ditayani Antari
Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional (UNDIKNAS), Denpasar, Bali
[anonimizat] / 082237598387
ABSTRACT
The dismissal of the President and / or Vice President in a presidential government system
is an exception to the fixed term executive character. This is a form of checks and balances
mechanism aimed at preventing the monopoly of power in the state due to the separation of
the three branches of power within the state (Trias Politica). Similarly in Indonesia who
recognize the mechanism of dismissal of the President and /or Vice President in his tenure
as stipulated in the 1945 Constitution. Not only limited to the regulation, in history there are
2 (two) Indonesian President who dismissed in his tenure of Soekarno and Abdurrahman
Wahid. However, after the amendment of the 1945 Constitution, the mechanism of dismissal
has changed where the participation of th e Constitutional Court to hear the reasons for the
dismissal of the President and /or Vice President. This indicates that another model is applied
in addition to impeachment in dismissal of the President and / or Vice President in his / her
term of office . This is further examined normatively based on literature and legislation in
order to obtain clarity on the term impeachment used by the community to replace the
dismissal of the President and /or Vice President in his tenure. In addition it also aims to
describe the impeachment model adopted by Indonesia after the amendment of the 1945
Constitution, with the participation of the Constitutional Court. The results will explain
impeachment as one of the dismissal models through political mechanisms, but sti ll based
on constitutional requirements. While in Indonesia the authority of the Constitutional Court
which participates in the dismissal m echanism of the President and /or Vice President in his
Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016)
45
tenure is not a form of impeachment model shift, but only in the form of variations of the
application of the model.
Keywords : Impeachment, Constitution, Presidential System.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penerapan asas equality before
the law yang diadopsi dalam suatu negara,
mengakibatkan bahwa setiap orang dalam
suatu negara memiliki kedudukan yang
sama dalam hukum. Oleh karena itu maka
pertanggungjawaban menurut hukum
merupakan keniscayaan, termasuk bagi
pemerintah (pejabat). Dalam pemerintahan
Indonesia sendiri pertanggungjawaban
pemerintah dapat dicontohkan dengan
adanya mekanisme pemberhentian
Presid en dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya , sebagaimana diatur
dalam Undang -Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disingkat UUDNRI 1945).
Sistem pemerintahan
presidensial mensyaratkan masa jabatan
tetap bagi Presiden dan/ata u Wakil
Presiden atau disebut dengan fixed term
executive , sehingga pemberhentian dalam
masa jabatan bagi Presiden dan/atau Wakil
1 Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang
Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Presiden merupakan bentuk pengecualian
dari ciri fixed term executive dalam sistem
pemerintahan presidensial itu sendiri.
Dalam ketatanegaraan Indonesia terdapat 2
(dua) Presiden yang diberhentikan pada
masa jabatannya yaitu Ir. Soekarno dan
K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Pemberhentian Presiden Soekarno dalam
masa jabatannya oleh MPRS pada tahun
1967 disebabkan oleh adanya dugaan
bahwa Soekarno menyebarkan paham
komunis untuk menggantikan Pancasila,
seiring dengan adanya peristiwa G30S/PKI.
Sementara dalam kasus pemberhentian
Presiden Abdurrahman Wahid, MPR
mendalilkan bahwa Abdurrahman Wahid
telah menerima dana bantuan dar i Sultan
Brunei dan terliba t pencairan dana
Yanatera Bulog, sebagai alasan
pemberhentiannya.1 Kedua presiden
tersebut diberhentikan sesuai dengan
prosedur yang ditentukan dalam Undang –
Undang Dasar Tahun 1945 sebelum
amandemen (selanjutnya disingkat UUD
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia , Citra
Aditya Bakti, Bandung ., h. 9.
Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016)
45
1945) yang cenderung mengarah pada
unsur -unsur politis yaitu adanya
pertentangan antara Presiden dengan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
dengan Presiden (sengketa kewenangan
antar lembaga negara).
Pasca era reformasi ter dapat 5
kesepakatan pokok mengenai perubahan
UUD 1945 yaitu mempertahankan
pembukaan UUDNRI 1945 dan bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia,
mempertegas sistem presidensial,
mengahpuskan bagian penjelasan yang
dituangkan ke dalam Batang Tubuh, serta
melakukan perubahan secara addendum.2
Guna mempertegas sistem presidensial
tersebut maka salah satu upaya yang
dilakukan adalah menyusun kembali
ketentuan mengenai mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya secara
lebih teg as dan meminimalisir terjadinya
upaya politisasi dalam mekanisme tersebut.
Abdul Rasyid Thalib
menyatakan bahwa pembehentian dalam
masa jabatan merupakan bentuk tanggung
2 Syamsudin Haris, 2014, Partai, Pemilu, dan
Parlemen Era Reformasi , Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta, h. 5. jawab yang dilakukan oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden melakukan
kesalahan terkait jabatannya. Ketentuan
pemberhentian Presiden da n/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya
sebagaimana diatur dalam UUD 1945
sebelum amandemen menurut Abdul
Rasyid Thalib masih menimbulkan
multitafsir. Beliau mencontohkan satu sisi
Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya, pada sisi lainnya Presiden dapat
saja menyatakan dirinya berhenti
(pernyataan sepihak) atas permintaan
sendiri. Pemberhentian Ir. Soekarno dan
K.H. Abdurrahman Wahid sebagai
Presiden dalam masa j abatannya dilakukan
dengan sistem pertanggungjawaban, yang
prosedurnya belum terperinci, tata cara
pembuktian yang tidak jelas dan tidak
konsisten, sekaligus dengan dasar -dasar
pengambilan keputusan yang tidak tertib.3
Ketentuan tersebut selanjutnya
diruba h pada amandemen UUD 1945 yang
mengatur secara rinci mengenai alasan –
alasan pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatanny a,
beserta dengan mekanisme yang harus
3 Abdul Rasyid Thalib , Op. Cit ., h. 15
Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016)
46
ditempuh. K etentuan mengenai
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Preside n dalam masa jabatannya dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3),
Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 24C ayat (2)
UUD 1945. Kewenangan memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya masih diberikan kepada
Majelis Permusyawaratan Ra kyat (MPR)
yang juga merupakan lembaga yang
berwenang untuk pelantikan atas jabatan
tersebut. Selanjutnya alasan -alasan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya dan uraian
mekanisme pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Preside n dalam masa
jabatannya diatur dalam ketentuan Pasal 7A
dan 7B UUDNRI 1945 . Selanjutnya dalam
Pasal 24C ayat (2) UUDNRI 1945 menjadi
dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi
untuk berperan serta dalam mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden d alam masa jabatannya, yaitu
untuk wajib memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang -Undang Dasar.
Dengan adanya peran
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradila n dalam mekanisme pemberhentian
presiden dan/atau wakil presiden dalam
masa jabatannya tersebut, maka dalam
penelitian ini akan mengkaji mengenai
model pemberhentian yang dianut, antara
impeachment dan forum previligiatum .
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar
belakang yang dikemukakan di atas, maka
dapat dikemukakan rumusan masalah
dalam penelitian ini yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan
impeachment ?
2. Apakah model pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang dianut di
Indonesia berdasarkan
UUDNRI 1945?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dalam
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
sejarah pengaturan hukum Indonesia
mengenai pembehentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya,
atau pemberhentian terhadap jaba tan
politik lainnya . Pengaturan hukum tersebut
dapat dijumpai dalam konstitusi yang
Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016)
47
berlaku di Indonesia sejak awal
kemerdekaan hingga saat ini, berikut
dengan peraturan perundang -undangan
yang menjadi turunannya.
1.3.2 Tujuan Khusus
Sementara yang menjadi tujua n
khusus dalam penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui konsepsi
tentang impeachment
sebagai istilah yang
dipersamakan dengan
pemberhentian dalam masa
jabatan.
2. Menganalisis model
pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya
berdasarkan UUDN RI
1945 .
II. METODE PENELITIAN
Abdulkadir Muhammad
menyatakan penelitian hokum normative
sebagai penelitian yang mengkaji norma
hokum dalam berbagai aspek kecuali
penerapan atau implementasi dari norma
hukum yang dikaji .4 Penelitian ini sendiri
merupakan penelitian hukum normatif
4 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar
Penelitian Hukum , UI- Press, Jakarta, h . 51. (normative legal study ) karena penelitian
ini mengkaji mengenai model
pemberhentian presiden dan/atau wakil
presid en yang dianut di Indonesia
berdasarkan pada peraturan perundang –
undangan serta konsep mengenai
pemberhentian Presid en dan/atau Wakil
Presiden . Kajian tentang model
pemberhentian yang dikaji tersebut
berkaitan dengan keterlibatan Mahkamah
Konstitusi selaku lembaga peradilan dalam
mekanisme yang ditetapkan berdasarkan
UUDNRI 1945.
Adapun bahan hukum yang
dipergunakan unt uk menunjang
pembahasan permasalahan dalam
penelitian ini merupakan bahan hukum
yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan ( library research ) yaitu
berupa bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tertier. B ahan
hukum primer yang akan digunakan adalah
UUD NRI 1945 , Undang -Undang No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
juncto Undang -Undang No. 8 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang -Undang
No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi , dan Peraturan Mahkamah
Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016)
48
Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang
Pedoman Beracara dalam Memutus
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai Dugaan Pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sementara itu bahan hukum sekunder yang
digunakan adalah buku , jurnal, makalah,
atau karya ilmiah hukum l ainnya yang
terkait dengan permasalahan yang dibahas ,
baik berupa media cetak maupun media
elektronik. Bahan hukum tertier sendiri
dipergunakan untuk memperoleh
penjelasan atas bahan hukum primer dan
sekunder seperti penjelasan yang terdapat
dalam rancanga n undang -undang, kamus,
dan ensiklopedia.
Bahan -bahan hukum terkait
permasalahan yang dikaji dalam penelitian
ini selanjutnya akan dikumpulkan melalui
studi kepustakaan dengan mengidentifikasi
kepustaka an sumber bahan hukum, lalu
dilanjutkan dengan mengide ntifikasi bahan
hukum yang sekiranya diperlukan, dan
terakhir mengiventarisasi bahan hukum
yang diperlukan tersebut. Lebih lanjut lagi
bahan hukum tersebut akan dicatat dalam
suatu lembaran kecil dan dimasukkan
dalam daftar kartu yang disusun sistematis
sesuai fokus masalah yang dikaji. Bahan hukum yang telah
dikumpulkan melalui sistem daftar kartu
tersebut merupakan data kualitatif, yang
selanjutnya dianalisis secara deskriptif
berdasarkan permasalahan yang diteliti.
Dengan demikan maka tulisan ini bersifa t
deskriptif analisis.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Impeachment dan
Pertanggungjawaban
Pemerintah
Adanya pemberhentian
sesseorang dalam jabatan politik di tengah
masa jabatannya merupakan hal yang biasa
terjadi dalam sistem pemerintahan. Namun
dalam Negara yang m enganut sistem
pemerintahan presidensial hal tersebut
merupakan pengingkaran akan adanya
masa jabatan tetap yang telah diatur dalam
peraturan perundang -undangan yang
berlaku ( fixed term executive ). Dengan
demikian maka pemberhentian seseorang
dari jabatan politik dalam masa jabatannya
disebut sebagai pengecualian akan
mekanisme tersebut, sehingga perlu
ditetapkan mekanisme yang ditempuh
dalam pemberhentian melalui perundang –
undangan.
Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016)
49
Sistem pemeri ntahan presidensial
sebagai salah satu sistem pemerintah yang
diterapkan oleh mayoritas negara -negara di
dunia, selain sistem pemerintahan
parlementer. Di luar kedua sistem tersebut
terdapat juga sistem pemerintahan quasi
atau ada juga yang menyebut dengan sistem
pemerintahan referendum. Keberadaan
sistem pemerintahan dalam suatu negara
bertujuan untuk mengatur mekanisme
penyelenggaraan negara oleh organ -organ
negara berdasarkan fungsi dan
wewenangnya masing -masing. Dalam
pandangan Ismail Suny sistem
pemeri ntahan merupakan sistem yang
menguraikan bekerjanya alat-alat
perlengkapan negara y ang tertinggi di suatu
Negara serta hubungannya satu sama lain.5
Sistem pemerintahan presidensial
yang diterapkan di Indonesia merupaka n
sistem pemerintahan yang berkiblat pada
Amerika Serikat sebagai tolak ukurnya dan
memiliki ciri menyatunya jabatan antara
kepala negara dan kepala pemerintahan
pada jabatan Presiden. Hal ini berbeda
dengan sistem pemerintahan parlementer
5 Ismail Sunny dalam Sulardi, 2012, Menuju
Sistem Pemerintahan Presidensial Murni , Setara
Press, Malang, h. 46.
6 Dody Nur Andriyan, 2016, Hukum Tata
Negara dan Sistem Politik: Kombinasi Presidensial yang memisahkan j abatan sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan sehingga
diberikan kepada 2 (dua) lembaga yang
berbeda.
C.F Strong menyebut
sistempemerintahan presidensial sebagai
fixed executive yang memiliki ciri -ciri
yaitu:6
1. Presiden berkedudukan sebagai
kepala ne gara dan kepala
pemerintahan;
2. Presiden mempunyai wewenang
menyangkat para menteri dan
pejabat lainnya;
3. Presiden dipilih langsung oleh rakyat
dan memiliki masa jabatan tetap;
4. Presiden dan parlemen memiliki
kedudukan sejajar;
5. Presiden bertanggung jawab kepad a
konstitusi.
Selain beberapa ciri yang telah
dikemukakan oleh C.F. Strong, dalam
sistem presidensial yang secara ideal
diterapkan di Amerika Serikat juga
menunjukakan bahwa terdapat pemisahan
kekuasaan secara tega s antara eksekutif,
legislative , dan yudisial sebagaimana
dikemukakan Montesquie.7 Terutama pada
ranah eksekutif dan legislative terdapat
dengan Multipartai di Indonesia , Deepublish,
Yogyakarta, h. 78.
7 M. Khoiril Anam, 2007, Dasar -Dasar Ilmu
Hukum dan Ilmu Politik , Nusamedia, Bandung, h.
62.
Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016)
50
pemisahan secara tegas antara keduanya
(clear -cut separation of power ), sehingga
pembentukan pemerintah (eksekutif) tidak
tergantung pada kekuasaan politik yang ada
di parlemen selayaknya yang terjadi pada
sistem pemerintahan parlementer. Selain
itu, pemisahan lembaga legislatif dan
eksekutif secara tegas dalam sistem
pemerintahan presidensial juga disertai
dengan kedudukan yang sejajar (neben)
antara kedua lembaga tersebut, sehingga
masing -masing lembaga tidak dapat
membubarkan lembaga yang lainnya. Hal
ini berkaitan dengan mekanisme checks
and balances yang diterapkan juga dalam
sistem pemerintahan presidensial, sehingga
kedua lembaga dapat saling mengawasi
kinerja lembaga lain.
Dalam sisem pemerintahan
parlementer terdapat pertanggungjawaban
yang wajib dilakukan eksekutif kepada
legislatif (parlemen) karena eksekutif
dibentuk oleh parlemen. Sementara dalam
sistem pemerintahan presidensial dimana
kedudukan e ksekutif dan legislatif sejajar,
memiliki legitimasi kekuasaan yang
bersumber pada rakyat, maka
pertanggungjawaban eksekutif dilakukan
kepada rakyat sesuai dengan mekanisme
yang ditetapkan dalam konstitusi. Demikian halnya dalam sistem
pemerintahan yang di anut di Indonesia,
bahwa pertanggungjawaban Presiden
dan/atau Wakil Presiden dilakukan kepada
rakyat sesuai dengan mekanisme yang
ditentukan dalam UUDNRI 1945,
khususnya dalam Pasal 7B yang mengatur
tentang pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden da lam masa jabatannya.
Pertanggungjawaban pemerintah
terhadap kebijakannya sering kali dikaitkan
dengan sanksi berupa pemberhentian dari
jabatannya apabila terbukti melakukan
kesalahan dalam mengambil keputusan
dalam pemerintahannya. Indonesia
mengenal pembe rhentian dalam masa
jabatan sebagai impeachment atau
pemakzulan, yang berdasarkan Pasal 7B
UUDNRI 1945 dilakukan karena:
1. Melakukan pengkianatan terhadap
negara;
2. Melakukan tindak pidana
penyuapan;
3. Melakukan tindak pidana korupsi;
4. Melakukan tindak pidana ber at;
5. Melakukan perbuatan tercela; dan
6. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Alasan pemberhentian tersebut
dicantumkan secara tegas dalam UUDNRI
1945 dengan keinginan untuk memperkuat
sistem pemerintahan presidensial yang
dianut di Indonesia. Selain itu keputusan
Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016)
51
tersebut juga diambil dengan pertimbangan
bahwa dalam sejarah ketatan egaraan
Indonesia yang menunjukkan
pemberhentian 2 (dua) orang Presiden di
tengah masa jabatannya dengan alasan
yang sumir dan cenderung disebabkan
alasan politis yaitu adanya pertentangan
antara eksekutif dan legislative. Salah satu
contohnya adalah pembe rhentian terhadap
Presiden K.H. Abdurrahman Wahid
melalui Sidang Istimewa MPR tahun 2001,
dimana beliau diberhentikan sebagai
presiden dengan alasan telah melanggar
haluan negara menerbitkan Maklumat
tanggal 23 Juli 2001 yang didalamnya
menyatakan:8
1. membub arkan MPR dan DPR
Republik Indonesia;
2. mengembalikan kedaulatan kepada
rakyat dan membentuk Komisi
Pemilihan Umum untuk
mempersiapkan pemilu dalam waktu
satu tahun; dan
3. menyelamatkan gerakan reformasi
total dari fraksi Or de Baru dengan
cara membubarkan Part ai Golkar
sementara menunggu keputusan
Mahkamah Agung.
Sebelum amandemen tidak dapat
ditemukan secara tegas mengenai
8 Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD
1945 Antara Mitos dan Pembongkaran , Penerbit
Mizan, Bandung, h . 244 -250. mekanisme pemberhentian presiden dalam
masa jabatannya, namun dalam bagian
penjelasan UUD 1945 dinyatakan bahwa
kedudukan Presiden sebagai mandataris
MPR, artinya Presiden bertindak
menyelenggarakan kegiatan pemerintahan
negara berdasarkan atas perintah MPR
sehingga harus tunduk terhadap setiap
putusan -putusan MPR dan bertanggung
jawab kepada MPR . Perintah MPR yang
dijadikan patokan bagi Presiden untuk
menyelenggarakan pemerintahan tertuang
dalam garis -garis besar haluan negara
(GBHN). Apabila Presiden diduga
melanggar ketentuan MPR tersebut, maka
MPR selaku atasan Presiden berhak untuk
meminta pe rtanggungjawaban Presiden.
Pertanggungjawaban tersebutlah yang
nantinya akan dijadikan pertimbangan
penjatuhan sanksi pemberhentian presiden
dalam masa jabatannya.
Lebih lanjut dalam Ketetapan MPR
No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan
Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi
Negara dengan/Antar Lembaga Tinggi
Negara dan Ketetapan MPR mengenai
Peraturan Tata Tertib MPR , diatur
Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016)
52
mengenai slasan pemberhentian presiden
dalam masa jabatannya yang tertuang yaitu
karena Presiden dan/atau Wakil Presiden
sungguh -sungg uh melanggar haluan
negara. Ketentuan tersebut tidak disertai
dengan penjelasan lebih lanjut mengenai
kriteria/batasan untuk menilai bahwa telah
sungguh -sungguh terjadi pelanggaran
haluan negara. Oleh karena itu dapat
dinyatakan bahwa ketentuan tersebut
merupakan norma kabur yang dapat
menimbulkan interpretasi beragam dan
tidak ada kepastian hukum dalam
mekanisme pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden . Selain itu norma
kabur juga dapat menimbulkan
penafsirannya yang cenderung bersifat
subyektif ber gantung pada
pandangan /kepentingan masing -masing
anggota DPR dan MPR. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa proses
pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden dalam masa jabatannya
sebagaimana diatur dalam Penjelasan UUD
1945 dan ketetapan MPR terseb ut
cenderung mengarah pada model
impeachment yang diterapkan pada sistem
pemerintahan parlementer, dimana alasan
pemberhentian dari jabatannya didasarkan
pada hal -hal politis. Hal ini oleh tim penyusun
perubahan UUD 1945 dianggap tidak
sesuai dengan ciri fixed term executive
dalam sistem presidensial. Oleh karena itu
untuk menegaskan sistem presidensial yang
dianut, maka mekanisme pemberhentian
presiden dalam masa jabatannya diatur
secara tegas dalam UUDNRI 1945 dengan
melibatkan peran 3 (tiga) lembaga neg ara
yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Mahkamah Konstitusi (MK), dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selain itu
diatur pula secara tegas mengenai alasan
pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden berkaitan dengan etika jabatan
selaku pejabat publik. DPR diberikan
kewenangan sebagai lembaga yang
mengusulkan pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden, sementara MK
merupakan lembaga yang berwenang
mengadili keab sahan alasan yang
digunakan DPR untuk mengajukan
pemberhentian Presiden dan/atau Wak il
Presiden. MPR sendiri tetap merupakan
lembaga akhir yang memutuskan mengenai
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden berdasarkan usulan DPR, melalui
mekanisme voting .
Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016)
53
3.2 Model Impeachment dalam
Pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden di
Indonesia berdasarkan UUDNRI
1945
Sistem pemerintahan Presidensial
merupakan sistem pemerintahan yang
mengadopsi teori Trias Politica, dimana
masing -masing bidang kekuasaan
melaksanakan kewenangan yang terpisah
satu dengan lainnya. Masing -masing
kekuasaan tersebut juga memiliki
kedudukan sejajar dengan legitimasi
kekuasaan yang bersumber dari rakyat.
Oleh karena itu dalam sistem pemerintahan
presidensial dipandang perlu
mengimplementasikan sistem check and
balances untuk meminimalisir terjadinya
pemusatan/m onopoli kekuasaan pada satu
bidang saja. Hal ini juga bertujuan
menjamin kinerja masing -masing bidang
kekuasaan guna mencapai tujuan negara,
sehingga antar satu lembaga dengan
lembaga lain memiliki wewenang untuk
saling mengawasi serta mengimbangi
kekuasaa n lembaga lainnya.
9 Abdul Mukthie Fadjar, 2006, Hukum
Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi , Konstitusi
Press dan Citr a Media Yogyakarta, Jakarta, h . 240. Abdul Mukthie Fadjar menyatakan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden di tengah masa jabatan merupakan
sebuah konsekuensi dari negara yang
melaksanakan sistem pemerintahan
presidensial. Dimana mekanisme
pemberhentian presiden da n/atau wakil
presiden dalam masa jabatannya tersebut
wajib diatur dalam konstitusi negara yang
bersangkutan, guna menjamin stabilitas
pemerintahan. Hal berbeda diterapkan
dalam sistem pemerintahan yang
memungkinkan parlemen untuk
menjatuhkan pemerintahan ( kabinet) setiap
saat melalui mosi tidak percaya.9
Impeachment merupakan istilah
yang kerap digunakan untuk menyebut
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden atau disebut oleh Hamdan Zoelva
sebagai pemakzulan.10 Istilah impeachment
ditinjau dari konsepnya bukan hanya
merupakan proses pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya, tetapi istilah impeachment
mencakup pula proses pemberhentian
kepada para pejabat negara yang dianggap
telah melanggar peraturan seb agaimana
10 Hamdan Zoelva, 2011, Pemakzulan
Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 2.
Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016)
54
yang ditetapkan dalam peraturan
perundang -undangan dalam menjalankan
tugasnya.11
Impeachment merupakan suatu
model pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden yang banyak diterapkan,
selain model forum previlegiatum .
Impeachment adalah mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden di tengah masa jabatannya yang
dilakukan oleh lembaga legislatif.
Sebaliknya pengertian forum previlegiatum
(peradilan khusus) yaitu mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden d i tengah masa jabatannya
dilakukan oleh suatu lembaga peradilan
yang dibentuk khusus untuk mengadili
perihal pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya
itu.12
Berdasarkan UUD 1945 Indonesia
menerapkan mekanisme impeachment
terkait pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
Hal tersebut ditunjukkan dengan
kewenangan yang dimiliki MPR untuk
11 Refly Harun, Zainal A.M. Husein, dan
Bisariyah, 2004, Menjaga Denyut Konstitusi :
Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi ,
Konstitusi Press, Jakarta, h . 75. memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya. Selain itu
kedudukan Presiden sebagai ma ndataris
MPR juga menunjukkan supremasi dari
lembaga parlemen. Presiden selaku
mandataris MPR wajib untuk menjalankan
haluan negara menurut garis -garis besar
yang telah ditetapkan oleh MPR dan segala
keputusan -keputusan yang dibuat MPR.
Selain itu presiden juga harus bertanggung
jawab kepada MPR sebagai bentuk
pembatasan dari kekuasaan presiden.
Pertanggungjawaban yang disampaikan
oleh presiden kepada MPR dalam suatu
sidang istimewa itulah yang akan
menentukan apakah presiden diberhentikan
dari jabatannya a tau tidak. Dengan
demikian maka UUD 1945 dapat dikatakan
menganut model impeachment dalam hal
pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden, karena kewenangan untuk
memberhentikan presiden dan/atau wakil
presiden dilakukan oleh lembaga politik
serta melal ui keputusan politik yang
biasanya diperoleh melalui metode
pemungutan suara ( voting ). Model
12 M. Saleh dan Mukhlish, 2010,
Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden
(Sebuah Tinjauan Konstitusional) , Bina Ilmu
Offset, Surabaya, h. 38.
Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016)
55
impeachment ini diterapkan di Indonesia
pada kasus pemberhentian Soekarno dan
KH Abdurrahman Wahid dalam masa
jabatannya.
Penerapan model impeachment ini
selanjut nya mengalami perubahan seiring
dengan adanya upaya memperkuat sistem
presidensial yang dianut di Indonesia
melalui amandemen UUD 1945. Pasca
amandemen mekanisme pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
hanya melibatkan peran lembaga
perwakilan rakyat saja (DPR dan MPR),
namun juga menyertakan adanya lembaga
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
peradilan yang memiliki kewennagan
khusus berkaitan dengan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga
peradila n yang memiliki fungsi
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan konstitusi serta melakukan
penafsiran terhadap konstitusi, termasuk
dalam mekanisme pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Mahkamah Konstitusi berdasarkan
ketentuan Pasal 7B UUDNRI 1945
13 Abdul Latif, 2009, Fungsi Mahkamah
Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum
Demokrasi) , Kreasi Total Media, Jakarta, h. 164. berwenang untuk melakukan mekanisme
peradilan guna menguji sahnya alasan yang
digunakan DPR untuk mengajukan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden kepada MPR. Oleh karena itu
terdapat pemikiran bahwa model
impeachment telah beralih ke model forum
previlegiatum, namun hal tersebut menurut
Abdul Latif tidaklah tepat. Dalam
pandangannya disampaikan bahwa
keterlibatan Mahkamah Konstitusi tidaklah
mempengaruhi proses politik dalam
pembe rhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden tidaklah final dan dapat
dianulir oleh keputusan MPR.13 Pandangan
serupa disampaikan pula oleh Ni’matul
Huda yang menyatakan putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut bukan
merupakan putusan final karena
pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden tetap tunduk pada putusan MPR
sebagai lembaga politik yang berwenang.14
Mahkamah Konstitusi dalam
pandangan Soimin dan Mahuriyanto
bertujuan u ntuk melakukan perimbangan
14 Ni’matul Huda, 2008, UUD 1945 dan
Gagasan Amandemen Ulang , Rajawali Press,
Jakarta, h. 254.
Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016)
56
dan pengawasan terhadap mekanisme
politik pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden pada lembaga perwakilan
rakyat. Putusan Mahkamah Konstitusi
merupakan dasar hukum yang kuat guna
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden, sesuai alasan -alasan yang diatur
dalam UUDNRI 1945.15 Dengan demikian
Mahkamah Konstitusi melakukan
filter/penyaringan terhadap adanya usulan
pemberhentian oleh DPR terhadap Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Mahkamah
Konstitusi akan memutuskan mengena i
keabsahan usul pemberhentian sehingga
meminimalisir upaya politisasi di DPR dan
MPR terhadap jabatan Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
Usulan pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden yang diajukan
oleh DPR hanya dapat dilanjutkan apabila
usulan tersebut telah disahkan oleh
Mahkamah Konstitusi , namun tidak ada
kewajiban bagi MPR menikuti putusan
Mahkamah Konstitusi . Sebaliknya apabila
menurut pandangan Mahkamah Konstitusi
usulan yang diajukan tidak berdasarkan
alasan -alasan sah menurut hukum, maka
mekanisme pemberhentian tidak
15 Soimin dan Mashuriyanto, 2013 ,
Mahkamah Konstitusi dalam Sistem dilanjutkan ke MPR. Oleh karena itu maka
keterlibatan Mahkamah Konstitusi pada
dasarnya tidak merubah mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden berdasarkan proses politik
(impeachment). Keterlibatan Mahkamah
Kons titusi tidak serta merta meniadakan
kewenangan MPR untuk menentukan
pemberhtian Presiden dan/atau Wakil
Presiden melalui voting. Sehingga
mekanisme pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden di Indonesia
berdasarkan UUDNRI 1945 merupakan
model impeachm ent, namun didahului oleh
adanya penerapan model forum
previlegiatum yang diselenggarakan
Mahkamah Konstitusi.
IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan
yang telah dipaparkan, maka terhadap
rumusan masalah dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Impeachment merupakan mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa
jabatannya yang dilakukan melalui
Ketatanegaraan Indonesia , UII Press, Yogyakarta,
h. 160.
Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016)
57
proses-proses politik pada lembaga
perwakilan rakyat. Proses
pengambilan keputusan mengenai
impeachment ini banyak dipengaruhi
perimbangan dari komposisi
kepentingan dan dukungan politik
terhadap Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
2. Model pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden di Indonesia
berdasarkan UUDNRI 1945
menerapkan model impeachment
yang ditunjukkan dengan adanya
mekanisme pengambilan keputusan
akhir yang dilakukan oleh MPR
sebagai lembaga politis. Sebelum
usulan pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden diusulkan ke
MPR maka telebih dahulu Mahkamah
Konstitusi berwenang untuk menguji
keabsahan alasan yang digunak an
untuk mengusulkan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Namun mengingat sifat putusan
Mahkamah Konstitusi yang tidak
mengikat bagi MPR dalam
mengambil keputusan, maka
Indonesia menerapkan model
impeachment murni.
4.2 Saran
Adapun saran yang dapat
disampaikan terkait penelitian ini adalah
hendaknya kewenangan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga pengawal
konstitusi dalam hal menyelenggarakan
peradilan terhadap usulan impeachment
ditambahkan dnegan adanya k ekuatan
hukum mengikat bagi MPR. Dengan
demi kian maka kewenangan Mahkamah
Konstitusi tersebut tidak hanya terkesan
sebagai filter, dan hanya memenuhi
tuntutan akan adanya mekanisme hukum
dalam proses impeachment .
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Anam , M. Khoiril, 2007, Dasar -Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik , Nusamedia, Bandung .
Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016)
45
Andriyan , Dody Nur, 2016, Hukum Tata Negara dan Sistem Politik: Kombinasi
Presidensial dengan Multipartai di Indonesia , Deepublish, Yogyakarta.
Fadjar , Abdul Mukthie, 2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitus i, Konstitusi
Press dan Citra Medi a Yogyakarta, Jakarta.
Haris, Syamsudin , 2014, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi , Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta .
Harun , Refly, Zainal A.M. Husein, dan Bisariyah, 2004, Menjaga Denyut Konstitusi :
Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi , Konstitusi Press, Jakarta .
Huda , Ni’matul, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang , Rajawali Press,
Jakarta.
Indrayana, Denny, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran , Penerbit Mizan,
Bandung.
Latif, Abdul 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum
Demokrasi) , Kreas i Total Media, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum , UI- Press, Jakarta.
Soimin dan Mashuriyanto, 2013 , Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia , UII Press, Yogyakarta
Sulardi, 2012, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial Murni , Setara Press, Malang.
Thalib, Abdul Rasyid, .2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia , Citra Aditya Bakti, Bandung.
Zoelva , Hamdan, 2011, Pemakzulan Presiden di Indonesia , Sinar Grafika, Jakarta.
Copyright Notice
© Licențiada.org respectă drepturile de proprietate intelectuală și așteaptă ca toți utilizatorii să facă același lucru. Dacă consideri că un conținut de pe site încalcă drepturile tale de autor, te rugăm să trimiți o notificare DMCA.
Acest articol: Jurnal Hukum Undiknas Volume 3 No 1 (2016) [629776] (ID: 629776)
Dacă considerați că acest conținut vă încalcă drepturile de autor, vă rugăm să depuneți o cerere pe pagina noastră Copyright Takedown.
