A. Latar Belakang Penelitian [623690]

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Manusia sebagai makhluk sosial m erupakan manisf estasi Tuhan di d unia,
manusiapun terlahir sebagai khalifah Tuhan, dalam diri m anusia tersimpan rahasia
ilahi, kebutuhan manusia akan sang ilahi adalah suatu hal yang bersifat naluriah
dan tak terbantahkan itu sebabnya kenapa manusia dimanapun sudah barang tentu
membutuhkan keberadaan agama, sekalipun ia seorang ateis, tetaplah ia
senantiasa terp aut dengan keberadaan sang khal iq.
Agama diyakini sebagai suatu kepercayaan atau keyakinan terhadap Tuhan
yang bersumber pada kitab suci sebagai doktrin yang kemudian dibawa dan
simpaikan oleh sang juru selamat dan diaktualisasikan dalam bentu k ritus dan
kultus. Berkenaan dengan hal itu , Para agamawan melihat Agama mengandung
arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang dimaksud
berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan
adikodrati yang tak dapat ditangkap dengan pancaindera, namun mempunyai
pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari -hari.1
Selain itu pulu a gama di sinyalir merupakan suatu kebutuhan prioritas di
antara berbagai kebutuhan dalam kehidupan manusia, sehingga tid ak heran agama
sudah menjadi bagian integral dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia
selama beribu -ribu tahun. Di semua kebudayaan, agama adalah bagian yang
paling berharga dari perbendaharaan sosial. Ia melayani masyarakat dengan
menyediakan sejak ma sa pertumbuhan berupa ide, ritual, sentimen, yang
membimbing kehidupan setiap orang yang ada di dalamnya.
Durkheim mengatakan bahwa, a gama adalah sesuatu yang sungguh bersifat
sosial. Meskipun sebagai individu kita semua membuat pilihan dalam hidup ki ta,
namun kita melakukannya di dalam rangka sosial yang diberikan pada kita sejak
saat lahir. Kita berbicara den gan bahasa yang tidak kita buat, kita memakai
instrumen yang tidak kita temukan, kita menyerukan hak yang tidak kita temukan;

1 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta : Dian Rakyat, 1974)
1

2

perbendaharaan pengetahuan di pindahkan pada setiap generasi yang tidak ia
kumpulkan sendiri.
Ritual -ritual dan perilaku keagamaan pada dasarnya memfokuskan pada
ketentuan cara -cara memperoleh keselamatan, melalui bentuk -bentuk
penyembahan, do’a, atau meditasi yang memungkinkan orang beriman
berkomunikasi dengan Tuhan atau tuhan -tuhan, dan bentuk -bentuk perilaku etis
yang membawa kehidupan orang beriman atau komunitas beriman kepada
keselarasan dengan nasib penyelamatan mereka. Sedangkan fungsi laten agama
adalah dim ana agama mengidentifikasi kesuksesan seseorang dalam menghadapi
sakit, atau dalam mencari keamanan materiil atau kemakmuran, dengan hadirnya
spirit ketuhanan ke dalam diri orang beriman. Spirit ketuhanan hadir dan bekerja
dalam kehidupan orang -orang berim an, memberinya kemampuan mengatasi
rintangan yang menghalangi tujuan kehidupan mereka yang pada mulanya sering
dipahami sebagai tujuan spiritual.2
Spiritualitas adalah suatu keyakinan dalam hubungannya dengan yang Maha
Kuasa, Maha Pencipta. Keyakinan spiri tual akan berupaya mempertahankan
keharmonisan, keselarasan dengan dunia luar. Berjuang untuk menjawab atau
mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi penyakit fisik, stres emosional,
keterasingan sosial, bahkan ketakutan menghadapi ancaman kematian.
Indikator terpenuhi kebutuhan spiritual yang lain adalah adanya rasa
keharmonisan, saling kedekatan antara diri sendiri, orang lain, alam dan hubungan
dengan yang Maha Kuasa. Spiritual Islam memberikan gambaran terpenuhinya
kebutuhan spiritual apabila seseo rang senantiasa berdoa dengan disertai sabar dan
ihlas. Spiritualitas bukan agama, tetapi agama dapat merupakan salah satu jalan
untuk mencapai spiritualitas.
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan yang mendasar bagi
keberlangsungan hidup manusia. Disamp ing kebutuhan -kebutuhan lainnya seperti
pangan, tempat tinggal dan pendidikan, karena hanya dalam keadaan sehat
manusia dapat hidup, tumbuh berkembang, berkarya dan mengaplikasikan ide -ide

2Wallis, Roy, The Elementary Forms of The New Religious Life , (London: Allen and
Unwin, 1977)

3

yang dimil iki dengan baik, serta mengaplikasikan nilai -nilai agama dalam
kehidupan sehari -hari.
Salah satu strategis adaptasi manusia mengaplikasikan ide -ide yang dimiliki
dengan cara untuk menguasai lingkungan dibidang kesehatan. Strategi ini tumbuh
dan berkembang dalam usaha manusia untuk menghindari dan menanggulangi
penyakit. Seperti dinyatakan oleh Fostor Foster dan Anderson3 dalam menghadapi
penyakit ini, manusia telah mengembangkan suatu pengetahuan yang luas dan
komplek, yang mencakup kepercayaan, teknik, peranan, norma, nilai ideologi,
sikap, kebiasaan, ritus, dan berbagai lambang (simbol) yang satu sama lain
bertalian era t dan membentuk suatu kekuatan. Inilah yang melahirkan suatu sistem
kesehatan, yang merupakan keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, keterampilan,
dan praktek yang secara komprehensif mencakup seluruh aktivitas klinis dan
nonklinis serta melibatkan institus i formal dan informal.
Sebagian m asyarakat percaya bahwa pengobatan modern adalah cara
pengobatan terbaik untuk bisa menyembuhkan sakit. Pengobatan modern identik
dengan modernitas, karena menggunakan beragam kecanggihan alat, beragam
obat kimiawi yang t entu saja ditemukan berdasarkan penelitian yang logis.
Pengobatan modern sangat men gutamakan aspek rasionalitas, ilmu pengetahuan
dan teknologi yang tinggi. Aspek -aspek yang berbau kebiasaan tanpa adanya bukti
yang logis bukan bagian dari pengobatan modern .
Dengan demikian seperti yang dijelaskan di atas bahwa tingkah laku
manusia dalam menghadapi masalah kesehatan sifatnya terencana atau terpola
dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan salah satu bagian dari budaya
masyarakat yang bersangkutan. Salah satu budaya masyarakat sunda yakni dalam
sistem pengobatan penyakit yang di derita oleh masyarakat, pengobata nnya
menggunakan jasa dukun.
Masyarakat sunda sejak dulu sudah mengenal dukun sebagai tempat berobat
sebelum adanya tenaga medis yang mengatasi k eluhan -keluhan atau penyakit,
maka dari itu budaya pengobatan dukun agar kiranya dapat dilestarikan

3Fostor Foster dan Anderson dalam T. Sianipar (DKK), Dukun Mantra Dan Kepercayaan .
(Jakarta : PT Gratikatama Jaya , 1992 ). hal, 2

4

keberadaanya s erta dapat diwariskan kepada masyarakat sunda . Pewarisanya pun
dapat dilakukan melalui keluarga dan dengan beriringnya waktu proses tradisi i tu
sendiri dapat berkembang melalui lembaga pendidikan dan lembaga sosial
masyarakat dari sinilah masyarakat dibelajarkan dan akan mengetahui seberapa
pentingnya tradisi itu untuk dipertahankan.
Warisan budaya pada intinya adalah suatu pengetahuan yang da pat
berfungsi menghadapi tantangan kehidupan. Dalam masyarakat tradisional
pengetahuan umumnya diperoleh dengan cara belajar dan mewarisinya secara
turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagai salah satu unsur
kebudayaan daerah yang be rsifat universal yang telah diwarisi secara turun
tenurun oleh masyarakat pendukungnya, salah satu diantaranya adalah
pengetahuan yang berkenaan dengan kesehatan khususnya pengobatan
tradisional.4
Setiap kelompok etnis relatif telah menguasai dan mengemban gkan
pengetahuan kesehatan. Pengetahuan kesehatan tradisonal dengan pengetahuan
medis modern memiliki persamaan dan juga perbedaan, namun secara umum
pengobatan kesehatan tradisional yang dikenal dan dipahami oleh dukun , kyai
orang pintar dan lain sebaginn ya berbeda dengan pengobatan kesehatan medis
modern.5
Penyembuhan dengan menggunakan ilmu pengobatan supranatural telah
lama dipraktekkan di pulau Jawa. Seorang dukun yang memahami k enyataan atau
kebenaran dunia, baik dunia ad ikodrati maupun dunia manusia yang mampu
menentukan mengapa orang sakit dan bagaimana ia dapat disembuhkan. Dalam
menjalankan pekerjaannya tersebut, dukun sering mendapatkan kemampuan untuk
melakukan hubungan dengan dunia arwah, dan alam roh. Baik dukun se bagai sang
penyembuh maupun pasien, melihat kesembuhan sebagai sebuah mujizat, dimana
eksistensi kekuatan adikodrati menjadi nyata secara jelas.
Di Indonesia istilah pengobatan alternatif sering ditukar dengan istilah
pengobatan tradisional. Menurut pendap at organisasi kesehatan dunia (WHO) ada

4Ilham, Eksistensi Pengobatan Dukun Patah Tulang, studi Pada Masyarakat Gayo .
(Yogyakarta: Universitas Negeri Medan , 2012 ). Hal. 1
5Ibid, hal, 2

5

beraneka macam jenis pengobatan tradisional yang bisa dibedakan lewat cara –
caranya. Perbedaan ini dijelaskan sebagai terapi yang berdasarkan cara -cara
seperti terapi spiritual yang terkait hal gaib atau terapi dengan tusukan jarum.
Jenis terapi yang kedua berdasarkan obat -obatan seperti jamu dan pengobatan
herbal.6 Pembagian ini sering dikenal sebagai jenis pengobatan yang berdasarkan
mantra -mantra dan jenis pengobatan lain yang berdasarkan alat -alat.
Pada masyara kat perkotaan upaya penyesuain diri terhadap perubahan
lingkungan lebih cepat terlihat, karena tantangan dan tun tutan keberlangsungan
hidup menghendaki cara demikian. Sebaliknya pada masyarakat pedesaan
tanggapan terhadap perubahan yang terjadi berjalan ag ak lamban. Tradisi yang
dipakai selama ini masih berlaku bagi mereka untuk memenuhi tuntunan
kehidupan dan penyesuain diri terhadap lingkungannya. Warisan budaya dan
nilai-nilai luhur yang diterima secara turun temurun dari leluhur masih nampak
berlangsung dalam kehidupan sehari -hari, salah diantaranya cara pengobatan
tradisional.
Tidak ada pendidikan formal untuk kebanyakan pengobatan tradisional ,
khusu snya pengobatan yang pakai cara -cara tertentu . Ini tergantung pada faktor
keahlian dan apakah pengobatan ini bisa ditulis atau tidaknya. Pada umumnya
pengobatan yang bersifat obat -obat Cina seperti jamu dan pengobatan herbal, bisa
ditulis. Kebijaksanaan bisa dipelajari dari buku -buku. Walaupun pada pihak yang
lain pengobatan alternatif yang dipengaruhi supra natural atau metafisik tidak bisa
dipelajari dari buku -buku, malahan pelajaran atau pendidikan pengobatan yang
terkait hal gaib hanya bisa dilatih orang yang mempunyai keahlian khusus untuk
menjadi dukun.
Keahlian ini tidak terdapat melalui pendidikan fo rmal tetapi lewat keturunun
saja atau bakat dari tuhan, karena itu bukan setiap orang bisa memilih berlatih
pengobatan alternatif yang terkait hal ghaib .7 Akan tetapi, organisasi sistem
pelayanan kesehatan, baik modern maupun tradisional, sangat menentukan dan

6Timmermans, Dalam Seni Pengobatan Alternatif Pengetahuan Dan Persepsi .
(Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Malang, 2004). hal. 11
7Ibid, hal. 11

6

berpengaruh terhadap perilaku mencari pengobatan.8 Secara umum Kalangie
membagi sistem medis ke dalam dua golongan besar, yaitu sistem medis ilmiah
yang merupakan hasil perkembangan ilmu pengetahuan (terutama dalam dunia
barat) dan sistem non medis (t radisional) yang berasal dari aneka warna
kebudayaan manusia.9
Menurut Geertz, para “dokter” tradisional Jawa memiliki teknik khusus
dalam memperlakukan para pasien, yaitu: secara magis melalui kontak dengan
roh-roh menggunakan kemampuan khusus yang disebut sebagai ilmu, dan
menggunakan pijatan dan obat -obatan berbahan dasar tumbuha n. Ilmu para
“dokter” tradisional tersebut dimaknai sebagai ilmu pengetahuan abstrak atau
kemampuan supranatural magis yang diturunkan daripada diajarkan, sedangkan
kemampuan untuk memijat dan meracik obat -obatan dari tumbuhan didapatka n
dari kebiasaan tur un-temurun.10
Di Jawa mereka sangat umum dipanggil dengan istilah dukun, namun di
daerah lain di Indonesia mereka disebut dengan nama -nama yang berbeda -beda
berdasarkan kebudayaan dimana mereka tinggal. Oleh karena konotasi yang buruk
dan sengaja diperburu k, istilah dukun di Jawa pada perkembangannya kemudian
sedikit demi sedikit ditinggalkan, dan berubah menjadi kyai, paranormal, dan lain
sebagainya sebagai salah satu bentuk strategi pemasaran agar dapat diterima oleh
beberapa kalangan tertentu.
Salah satu target pembangunan nasional terkait dalam bidang kesehatan
masyarakat adalah tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan modern yang
diadakan tersebar sampai ke desa akan tetapi meskipun demikian dalam
kenyataannya baik di kota maupun di desa relatif masih banyak yang
menggunakan pelayanan pengobatan tradisional dalam upaya menyembuhkan
sakit.

8Rahma dewi Dalam Muhammad Irfan (DKK) , Jurnal, Etnografi Dukun. Studi Antropologi
Tentang Praktik Pengobatan Dukun Di Kota Makasar . (Balai Penelit ian Dan Pengembangan
Agama Maka sar, Universitas Hasanudin, 2012 ). hal. 3
9Op.cit. hal, 3
10Clifford Geertz, The Religion of Java , (Glencoe: The Free Press, 1960)

7

Kedua sistem pengobatan yang berbeda tersebut, seolah tidak pernah
mendapatkan titik temu, satu sama lain saling melengkapi karena kedunya sama –
sama dibutuhkan oleh ma syarakat, baik yang berada di kota maupun yang berada
di desa . Pada tataran realitas masyarakat terkadang melakukan pengobatan
terlebih dahulu kepada pengobatan modern (medis), jika kemudian tidak kunjung
sembuh maka ia kemudian mencari pengobatan alternat if melalui pengobata
tradisional.
Sejalan dengan tujuan Pembangunan Nasional yang salah satunya adalah
pembangunan di bidang kesehatan, praktek pengobatan tradisional yang dapat
dipertanggungjawabkan, mulai diselaraskan dengan pengobatan secara modern.
Di wilayah Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut khususnya, keberadaan
Pengo batan tradisional sudah mulai mengalami penurunan bahkan cenderung
diabaikan sehingga cnderung mulai menghilang. Akan tetapi di sisi lain dunia
kedokteran modern , pada kondisi tertentu masih memerlukan pengobatan
tradisional yang efektif dan efesien.
Pengobatan tradisional seringkali terbukti lebih ampuh dari pengobatan
modern daam menangani penyakit -penyakit psikosomatis , dalam halini ada satu
hal yang menarik u ntuk diteliti dan dikaji terkait apakah ada keterkaitannya
Agama dengan sistem pengobatan tradisional?. Maka bertolak dari hal tersebut
diatas kiranya menarik jika melakukan penelitian dengan judul : “Agama dan
Sistem Pengobatan Tradisional : Penelitian terhadap Refleksi Keberagamaan
Masyarakat Pedesaan dalam Sistem Pengobatan Tradisional di Kecamatan
Kadungora Kabupaten Garut ”.
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah
Kebutuhan manusia terhadap kesehatan merupakan suatu kebutuhan yang
fundamental, seiring dengan hal itu maka manusia yang sakit akan senantiasa
berusaha untuk mencari penyembuhan terhadap penyakitnya, baik melalui cara
yang sederhana sampai dengan menggun akan cara yang canggih, baik melalui
cara-cara yang bersumber pada tradisi atau bersumber pada pengobatan
kedokteran modern.

8

Masyarakat perdesaan memiliki pola hidup yang sederhana, sudah barang
tentu dalam mencari pengobatan mereka mencari pengobatan pada fasilitas –
fasilitas pengobatan tradisional ( Traditional remedy ), pada masyarakat yang
masih sederhana, masalah sehat sakit sering kali di interprestasikan kepada hal
yang bersifat budaya atau tradisi ketimbang didasarkan pada hal -hal yang bersifat
gangguan fisik, sehingga pengobatanpun lebih berorientasi pada sosial budaya
masyarakat. Seperti mendatangi dukun atau kyai/ustadz.11
Fokus disertasi ini adalah menganalisis bagaimana fungsi agama
direfleksikan dalam sistem pengobatan tradisional pada masyarak at pedesaan
wilayah Kecamatan Kadungora K abupaten Garut . Maka b erkenaan dengan arah
perspektif yang digunakan, maka layaknya diajukan pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran umum keberadaan masyarakat pe desaan di Kecamatan
Kadungora ?
2. Bagaimana sistem pengobatan tradisional pada masyarakat pedesa an di
Kecamatan Kadungora ?
3. Bagaimana bentuk relasi Agama dengan sistem pengobatan tradisional
masyarakat pedesaan di Kecamatan Kadungora ?
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum penel itian ini bertujuan :
a. Untuk melestarikan nilai -nilai budaya yang berkaitan dengan
pengobata n tradisional, agar tidak punah.
b. Memberikan alternatif cara pengobatan kepada masyarakat modern
seperti sekarang ini dengan pengobatan tradisional yang ternyata
biayanya murah, mengurangi efek sampingan akibat obat -obatan
kimiawi, yang ternyata obat tradisional tidak kalah dengan pengobat an
modern.

11Soekidjo Notoatmodjo, Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan , ( Jakarta: Rineka
Cipta, 2012 ), hal. 224

9

c. Diharapkan masyarakat akan mengetahui secara mendasar sistem
pengobatan tradisional
d. Dapat dijadikan sebagai barang bukti atau evidence serta dapat
dimanfaatkan sebagai bahan masukan dalam menentukan kebijakan,
pembinaan dan pengembangan kesehatan masyarakat yang signifikan
sekaligus menjadi usaha dalam melestarikan nilai -nilai budaya bangsa.
Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan :
1) Untuk mengetahui e fistemologi sistem pengobatan tradisio al pada
masyarakat pedesaan di wilayah penelitian;
2) Untuk mengetahui bagaimana kategorisasi sistem pengobatan tradisional
Bagaimana sistem pengobatan tradisional masyarakat pedesaan di
wilayah penelitian; dan
3) Untuk mengetahui eksistensi dan perkembangannya sistem pengobatan
tradisional masyarakat pedesaan.
2. Kegunaan
Dari hasil temuan penelitian ini diharapkan berguna untuk; (1)
Menambah khazanah te ori-teori pada ranah sosiologi agama dan antropologi
agama. Oleh karenanya, dari temuan -temuan yang sudah terumuskan secara
sistematis ini, seyog yanya bisa menjelaskan gejala -gejala keagamaan yang
sudah menjadi budaya di masyarakat setempat, khususnya di wilayah Garut
Jawa Barat; dan (2) Secara pragmatis, penelitian ini diharapkan dapat pula
digunakan sebagai rujukan kebijakan ol eh lembaga -lembaga yang berkompoten
dalam upaya pembangunan masyarakat di wilayah Garut Jawa Barat.
Lebih khususnya lagi bagi lembaga pemerintah terkait, baik daerah
maupun pusat yang bertujuan untuk membangun dan memberdayakan
masyarakat di Kabupaten Garut, terutama di bidang sosial keagamaan. Demikian
juga bagi para agen perubahan seperti para agamawan dan lembaga -lembaga
keagamaan yang secara praktis terlibat dalam persoalan -persoalan sosial
keagamaan yang ingin memahami konstelasi perubah an sosial keagamaan dalam
konteks keindonesiaan.

10

D. Telaah Pustaka
Kesehatan merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan. Begitu
pentingnya sehingga manusia selalu berusaha untuk mencapai derajat kesehatan
seperti yang dikehendaki. Derajat kesehatan merupakan suatu hal yang kompleks
dan hal tersebut tergantung dari pemahaman dan persepsi akan kesehatan yang di
anut oleh individu yang juga dipengaruhi oleh latar belakang sosial individu
tersebut. Pemahaman, pengertian dan persepsi manusia akan kesehatan erat
kaitannya dengan budaya (kebiasaan) termasuk bagian -bagiann ya dan lingkungan
serta komunitas sebagai tempat manusia itu berinteraksi dengan sesamanya.
Kajian literatur di bawah ini mendapati bahwa masyarakat atau orang diluar
penderita sakit masih memegang peranan penting dalam pencarian dan
pengobatan penyakit yang diderita. Dalam beberapa penyakit tertentu seperti yang
terdapat dalam literatur, masyarakat cenderung untuk mengarahkan penderita agar
lebih memilih dan mempercayai pengobatan alternatif atau pengobatan tradisional
dibandingkan dengan pengobatan medi s modern. Secara terperinci berikut
dipaparkan beberapa hasil penelitian terdahulu, sebagaimana berikut :
1. Pengobatan Tradisional pada Mayarakat Pedesaan Daerah Jawa
Tengah
Penelitian ini dilakukan o leh Soegeng Reksodiharjo , Iman Soedibyo dan
Soetomo W.E. yang di danai oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada
tahun 1991 -1992 . Dengan lokasi p eneltian dilakukan di wilayah Jawa Tengah .
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan tahapan pengmpulan data
dilakukan dengan 4 cara yaitu: observasi, wawancara, studi dokumentasi dan studi
literatur . Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi bagaimana
keberadaan pengobatan tradisional dan sistem pengobat tradisional di wilayah
Jawa Tengah .
Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :
1) Dalam mewujudkan kondisi sehat dalam kehidupan sehari -hari,
masayarakat Jawa telah memiliki pemahaman dan upaya yang
konsepsional;

11

2) Konsepsi masyarakat Jawa dalam bidang kesehatan adalah relevan
dengan usaha kesehatan dalam ilmu kedokteran modern ;
3) Masyarakat Jawa mengenal dua faktor penyebab sakit yaitu faktor yang
bersifat fisik dan non fisik, sedangkan cara pengobatannya ada dua
macam yaitu secara fisik dan non fisik;
4) Jamu Tradisional masih fungsional dalam masyarakat sekarang
walaupun bersaing dengan obat modern;
5) Peran pengobatan tradisional masih penting dalam kehidupan
masyarakat pedesaan walaupun sudah berada dalam era pengobatan
modern; dan
6) Jamu tradisional perlu dikembangkan peranannya dalam sistem
pengobatan tradisional masyarakat, namun dalam proses
pengembangannnya harus dicegah dampak negatifnya.
2. Faktor -faktor yang Ber hubungan dengan Pemilihan Jenis Pengobatan
Alternatif pada Masyarakat Pengguna Pengobatan Alternatif di Kota
Bengkulu. Oleh Muria Herlina. Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia .
Penelitian ini merupakan gambaran yang melihat sisi kesehatan pada saat
Indonesia mengalami keadaan krisis ekonomi yang terjadi secara menyeluruh
antara tahun 1996 sampai dengan tahun 1999. Penelitian ini merupakan suatu
kajian yang melihat bahwa pada kenyataannya, ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan y ang sudah diterapkan belum sepenuhnya mampu menangani
masalahmasalah kesehatan yang ada di masyarakat. Akibat adanya situasi krisis
perekonomian tersebut berdampak pada beralihnya p erilaku pengobatan
masyarakat di kota Bengkulu ke pengobatan alternatif karena pengobatan secara
medis modern oleh dokter menjadi mahal.
Penelitian yang bertujuan mengetahui gambaran pemilihan jenis pengobatan
alternatif beserta faktor -faktor hubungannya ini menggunakan rancangan cross
sectional untuk menyelidiki hubungan antara faktor umur, pendidikan, pekerjaan,
pendapatan, pengetahuan, keyakinan dan sikap terhadap pemilihan jenis
pengobatan alternatif.

12

Penelitian ini mendapati adanya hubungan antara si kap masyarakat yang
percaya akan khasiat obat dan cara pengobatan tradisional dengan pemilihan jenis
pengobatan alternatif. Penelitian ini mendapati juga hubungan jenis pekerjaan
yang mengharuskan untuk bertemu dengan banyak orang seperti seorang humas
atau seorang marketing dengan pemilihan jenis pengobatan alternatif
Dari tinjauan pustaka di atas, terlihat bahwa kondisi masyarakat mulai
beralih ke pengobatan tradisional dan alternatif serta memandang perlunya adanya
peningkatan kualitas dari pengobatanal ternatif di masa datang selain sertifikasi
bagi para penyelenggara pengobatan tradisional. Didapati juga bahwa
rekomendasi agar adanya meningkatkan kerjasama antara pengobatan altematif
dengan para dokter terutama para dokter spesialis sesuai bidang keahli an
masingmasing perlu ditindaklanjuti agar dapat memberikan pelayanan secara
maksimal.
3. Penelitian Model Standard Pengobatan Tradisional Patah Tulang
sebagai Pengobatan Alternatif. Oleh Mulyono Notosiswoyo, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan P enyakit, Balitbangkes
Depkes RI, 1999.
Penelitian ini merupakan suatu kegiatan dalam upaya untuk membuat model
standar pengobatan tradisional khususnya pengobatan patah tulang. Dari
penelitian ini diperoleh deskripsi mengenai kegiatan pengobatan tradision al
(battra) patah tulang yang dilihat dari segi input, proses maupun outputnya.
Penelitian ini berdasarkan karena kurang memadainya pembinaan
pengobatan tradisional ( battra ) patah tulang oleh petugas kesehatan dan lembaga
kesehatan resmi yang mempunyai ot oritas dalam hal pengobatan. Penelitian ini
dilatarbelakangi karena belum tersusunnya standar resmi pengobatan untuk
penderita patah tulang.
Penelitian ini mendapati kondisi bahwa lebih banyak pasien patah tulang
yang langsung mendatangi pengobatan tradisi onal untuk mendapatkan
kesembuhan dibandingkan dengan mendatangi dokter sebagai penyembuh secara
medis modern. Dari keterangan -keterangan yang diperoleh pada saat
pengumpulan data, didapati bahwa masyarakat masih menaruh harapan besar pada
penyembuh patah tulang tradisional. Masyarakat menganggap bahwa penyembuh

13

patah tulang tradisional ini bisa memberikan kesembuhan yang lebih cepat
dibandingkan dengan penyembuhan secara medis modern. Meskipun cara -cara
penyembuhan tradisional patah tulang masih mengunakan metode yang kurang
rasional dan terkadang lebih memberikan rasa sakit bagi pasiennya.
Pemilihan suatu pengobatan penyakit yang akan dijalani tergantung pada
penilaian masyarakat akan profesi penyembuh tersebut. Guttman mengemukakan
bahwa penilaian masyar akat ini juga berhubungan dengan pengetahuan akan
kesehatan, penyakit beserta pengobatannya yang ada kaitannya dengan
kebudayaan, kepercayaan, situasi dan pola interaksi masyarakat yang ada.
Ada perbedaan pandangan akan kesembuhan yang terdapat dalam penel itian
ini. Pandangan yang pertama adalah adanya kesembuhan total yang dirasakan oleh
masyarakat yang mengalami patah tulang. Namun jika dilihat dari sisi medis
modern, penyembuhan ini belumlah sempurna dan kurang memuaskan. Ini bukan
berarti bahwa pasien t ersebut tidak sembuh secara sempurna. Para pasien tersebut
sembuh darin sisi penyakitnya, namun jika dilihat dari kondisi dan bentuk tulang
hasil penyembuhan patah tulang tradisional ini, banyak yang tidak memenuhi
unsur estetika.
Unsur estetika yang dimak sud dalam pembahasan penelitian ini seperti
halnya tulang yang bengkok, panjang sebelah, miring letaknya sehingga
memberikan kesan yang mencolok walau pasien tersebut telah dinyatakan
sembuh. Keadaan ini sebenarnya bisa ditangulangi bila pasien patah tulan g
tersebut menempuh pengobatan patah tulang secara medis modern. Namun semua
ini dirasa tidak mempunyai makna yang berarti di masyarakat pengguna
penyembuh patah tulang tradisional tersebut.
Masyarakat lebih mementingkan unsur kesembuhan yang lebih cepat
dibandingkan dengan mempertimbangkan unsur estetika. Mereka menganggap
bahwa proses kesembuhan yang lebih cepat dapat lebih menguntungkan dari segi
finansial dan produktifitas.

14

4. Perilaku Pengobatan Tradisional di Desa Kemiren Kecamatan Glagah
Kabupaten Banyuwangi. Oleh Komang Ayu Henny Achjar. Tahun
1994 .
Penelitian ini membahas tentang pengobatan tradisional yang merupakan
salah satu bentuk peran serta masyarakat di bidang kesehatan yang digunakan
sebagai media pengobatan alternatif dari pengobatan modern yang sudah
dijalankan selam a ini. Dalam penelitian ini diu ngkapkan bahwa pengobatan
tradisional mengacu pada pengalaman dan keterampilan yang didapati oleh
masyarakat secara turun temurun dengan derajat kesembuhan yang dinyatakan
berdasarkan psiko s osio budaya.
Penelitian yang menggunakan survei deskriptif dengan pendekatan secara
kualitatif ini, pengambilan sampling informannya berdasarkan apa yang diketahui
tentang variasi atau elemen yang ada ( purposif ) dengan metode snowball .
Mengetahui akan pe rilaku pengobatan tradisional masyarakat desa Kemiren
Kecamatan Glagah Kabupaten Ba nyuwangi dalam upaya menyembuhkan
penyakit dengan bantuan dukun dan penggunaan ramuan tradisional setempat
merupakan tujuan dari penelitian ini. Penelitian ini mendapati ada nya perbedaan
persepsi mengenai sehat sakit antara masyarakat desa Kemiren denganpersepsi
petugas kesehatan setempat.
Perbedaaan persepsi ini begitu mencolok dan mendasar sehingga
menimbulkan adanya suatu anggapan bahwa orang yang dianggap sehat adalah
orang yang dapat melakukan aktifitasnya sehari -hari tanpa adanya
halangan/gangguan yang menyertai tubuhnya untuk bekerja. Sedangkan orang
yang dipersepsikan sakit adalah orang yang terbaring saja di tempat tidur dan
tidak kuasa melakukan aktifitasnya sehari -hari.
Bagi masyarakat desa Kemiren ini, bila sakit terjadi dan menyerang salah
satu dari anggota masyarakatnya pada sa at melakukan aktifitas di sawah, kebun,
atau pun di sungai pada waktu siang hari, diasumsikan sakit karena kemasukan
setan/roh dari tempa t mereka bekerja. Hal ini disebabkan karena orang yang sakit
tersebut secara sengaja ataupun tidak sengaja telah mengganggu/mengusik
ketentraman dari roh/setan di daerah itu.

15

Masyarakat desa Kemiren ini juga percaya bahwa bila kita sakit dan
merasakan gej ala-gejala yang tidak nyaman pada daerah perut, seperti
kembung/sebah/mual dimana sebelumnya didahului oleh perselisihan dengan
orang lain, maka rasa sakit/ketidaknyamanan tersebut diasumsikan sebagai rasa
sakit yang dibuat oleh orang lain.
Masyarakat desa Kemiren menggunakan tenaga dukun yang dianggap dapat
membantu mengusir setan/roh yang mengganggu jiwa sebagai suatu upaya
penanggulangan dan memperoleh kesembuhan dari sakit yang diderita serta
mencapai derajat kesehatan yang diinginkan. Alasan masyarakat Kemiren juga
menggunakan pengobatan tradisional adalah karena dipengaruhi oleh faktor
kepercayaan akan penyakit yang disebabkan oleh supranatural. Tradisi dan sistem
nilai yang dianut secara ketat dan kuat, serta keyakinan akan penyembuhan dari
dukun sema kin mengukuhkan pandangan masyarakat akan kesembuhan
pengobatan yang dilakukan oleh dukun, selain didukung oleh faktor sosial
ekonomi dan pendidikan masyarakat yang masih rendah .
5. Pengobatan Tradisional pada Mayarakat Pedesaan Daerah Bengkulu
Penelitian ini dilakukan oleh M. Zein Rani , Sorjum Ahyan dan Zaharuddin .
yang di danai oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1993 .
Dengan lokasi p eneltian dilakukan di wilayah Bengkulu . Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif dengan t ahapan pengmpulan data dilakukan dengan 4 cara
yaitu: observasi, wawancara, studi dokumentasi dan studi literatur . Penelitian ini
dilakukan untuk mendapatkan informasi bagaimana keberadaan pengobatan
tradisional dan sistem pengobat tradisional di wilayah Bengkulu . Penelitian
tersebut menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :
1) Kemajuan pembangunan dibidang kesehatan oleh pemerintah saat ini
sudah pesat dan telah dapat dirasakan manfaatnya oleh segenap
masyarakat sampai kedesa -desa;
2) Sistem pengobatan tradisio nal terutama pada masyarakat di pedesaan
masih tetap membudaya. Hal ini disebabkan, karena keampuhannya
masih terbukti, pengobat yang terpercaya masih banyak berada di

16

tengah -tengah masyarakat, serta bahan ramuan obatan -obatan relatif
murah dan mudah didap atkan disekitar mereka ;
3) Dalam kenyataan sehari -hari sistem pengobatan tradisional ini tidak
menghambat program pengembangan sistem pen gobatan modern.
Bahkan sebaliknya ikut berperan positif dalam menunjang
pengembangan kesehatan masyarakat pada umumnya ; dan
4) Dari data di lapangan keberadaan pengobatan tradisional yang dapat
diungkapkan dalam naskah, masih relevan dengan masa kini. Oleh
karena itu fungsi dan manfaatnya cukup potensial untuk dikembangkan
dalam rangka kebijakan pemerintah.
6. Pengobatan Tradisional pada Mayarakat Betawi di Kelurahan Ciganjur
Penelitian ini dilakukan oleh Suhaeni Soedjatmiko , Untung Purwa Saputra,
Zaenal mutaqien, Abdul Nashir dan Dwi. yang di danai oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1991 . Dengan lokasi p eneltian dilakukan
di wilayah kelurahan Ciganjur . Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
dengan tahapan pengmpulan data dilakukan dengan 4 cara yaitu: observasi,
wawancara, studi dokumentasi dan studi literatur . Penelitian ini dilakukan untuk
menda patkan informasi bagaimana keberadaan pengobatan tradisional dan sistem
pengobat tradisional di wilayah kelurahan Ciganjur .
Penelitian tersebut menghasil kan kesimpulan bahwa pengobatan tradisional
pada masyarakat Betawi sudah mulai ditinggalkan, hal ini di sebabkan oleh
berkurangnya ahli pengobatan tradisional selain itu pula disebabkan semakin
berkurangnya keberadaan tanaman obat tradisional di wilayah tersebut.
Dari ke tujuh penelitian diatas dapat dilihat arah dan fokus penelitiannya,
adapun em pengib atabarah dan fokus pada penelitian ini lebih memfokuskan pada
keberadaan dan perkembangan serta aspek -aspek spiritual yang berada pada
pengobatan tradisional masyarakat pedesaan di Kecamatan Kadungora .
E. Kerangka Berpikir
Disertasi ini mencoba mengkaji relasi antara agama dengan sistem
pengobatan masyarakat pedesaan yang beradi diwilayah Kecamatan Kadungora .
Fenomena ini di kaji dengan menggunakan persfektif sosiologi, antropologi dan

17

psikologi. Ada beberapa teori yang melandasi pembahasan disertasi ini
diantaranya: 1) Teori asal -usul agama, adapun salah satu teori yang akan
digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam disertasi ini adalah teori batos
(teori batas akal) yang disampaikan oleh J. Frezer. Teori tersebut akan dijadikan
sebagai grand teori dalam disertasi ini, 2) beberapa t eori fungsi agama sebagai
midle teori . Selanjutnya untuk memperkuat kajian disertasi ini akan di gunakan
beberapa pendekatan antropologi dan psikologi yang akan diambil beberapa teori
untuk di jadikan teori terapan ( apply teori ). Maka sebagai dasar pijakan dalam
kajian disertasi ini akan dijelaskan urai an teori yang melandasi disertasi ini,
diantaranya:
1. Teori Asal –usul Agama
Disaat kepercayaan orang terhada p modernisme semakin melemah ( pada
sejumlah kelompok masyarakat), tu mbuh kembali keyakinan keagamaan yang
semakin kuat yang menyatakan bahwa agama adalah satu -satunya media yang
dapat memberikan alternatif jawaban terhadap persoalan -persoalan yang dihadapi
manusia dalam beragam dimensinya. Berdasarkan pengamatan, situasi p erkotaan
berbeda dengan situasi pedesaan. Masyarakat perkotaan jauh lebih komplek
dibandingkan dengan masyarakat pedesaan yang relatif lebih sederhana. Karena
itu, masyarakat perkotaan dalam melakukan pengobatan lebih mempercayai
pengobatan modern dari pad a pengobatan tradisional yang terkesan sederhana.
Jadi, seseorang yang menganut agama akan merefleksi dalam bentuk
kehidupan masyarakat melalui ekspresi teoritis, ekspresi praktis, dan dalam
persekutuan. Begitu pula faktor -faktor sosial dan nilai -nilai kultural lokal
memberikan nuansa keragaman perasaan dan sikap keagamaan bagi individu yang
terdapat dalam lingkungan sosial tertentu.
Selanjutnya untuk memahami bagaimana agama itu dapat hadir dtengah –
kehidupan manusia terkhusus dalam sistem pengobatan tra disional terkesan tidak
terlepas dari aspek religius. Maka akan diuraikan beberapa kajian terkait teori
asal-usul agama. Ada berbagai macam teori tentang asal -usul agama telah
dikemukakan oleh para sarjana dari berbagai disiplin ilmu, terutama ilmuwan
sosial. Mereka telah mecoba meneliti asal -usul agama atau menganalisis sejak

18

kapan manusia mengenal agama dan kepercayaan terhadap Tuhan. Dalam
perspektif sosiologis paling tidak ada enam teori tentang asal -usul agama,12 yaitu:
1) Teori Jiwa
Para ilmuwan penganut teori ini berpendapat, agama yang paling awal
bersamaan dengan pertama kali manusia mengetahui bahwa di dunia ini tidak
hanya dihuni oleh makhluk materi, tetapi juga oleh makhkluk imateri yang disebut
jiwa (anima). Pendapat ini dipelopri oleh seorang ilmuwan inggris yang bernama
Edward Burnet Taylor (1832 -1917). Dalam bukunya yang sangat terkenal, The
Primitif Culture (1872) yang mengenalkan teori animisme, ia mengatakan bahwa
asal mula agama bersamaan dengan munculnya kesadaran manusia akan adanya
roh atau jiwa .13 Mereka memahami adanya mimpi dan kematian, yang
mengantarkan mereka kepada pengertian bahwa kedua peristiwa itu – mimp i dan
kematian – merupakan bentuk pemisahan antara roh dan tubuh kasar.
Apabila orang meninggal dunia, rohnya mampu hidup terus walaupun
jasadnya membusuk. Dari sanalah asal mula kepercayaan bahwa roh yang telah
mati itu kekal abadi. Selanjutnya, roh orang matiitu dipercayai dapat mengunjungi
manusia, dapat menolong manusia dan juga bisa menjaga manusia yang masih
hidup, terutama anak cucu, teman dan keluarga sekampung.14
Tingkat yang paling dasar dari evolusi agama adalah ketika manusia percaya
bahwa makhlu k-makhluk halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat
tinggal manusia. Karena mereka bertubuh halus, manusia tidak bisa menangkap
dengan panca indranya. Makhluk halus itu mampu berbuat berbagai hal yang
tidak dapat diperbuat oleh manusia. Berdasarka n kepercayaan semacam itu,
makhluk halus menjadi obyek penghormatan dan penyembahan manusia dengan
berbagai upacara keagamaan berupa doa, sesajen, atau korban. Kepercayaan
seperti itulah yang oleh E.B. Taylor disebut animisme .15

12Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang : UIN-MALIKI PREES, 2010). Lihat
koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: PT Dian Rakyat,1980).Lihat juga,
Danies L. Pals, Seven Theories of Religion , ( New York: Oxford University Press, 1996 ).
13Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama , (Malang : UIN-MALIKI PREES, 2010). Lihat Edward
Burnet Taylor, The Primitif Culture , 1872.
14Dadang kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009). hal.24
15Ibid.. hal. 2

19

Pada tingkat selanjutnya dal am evolusi agama, manusi percaya bahwa gerak
alam ini disebabkan oleh jiwa yang ada di belakang peristiw a dan gejala alam itu.
Sungai -sungai yang mengalir, gunung yang meletus, angina topan yang mender u,
matahari, bula, dan tumbuh -tumbuhan, semuanya berger ak karena jiwa alam ini.
Kemudian jiwa alam itu dipersonifikasi kan, dianggap sebagai makhluk -makhluk
yang berpribadian, yang mempunyai kemauan dan pikiran. Makhluk halus yang
ada di belakang gerak alam seperti itu disebut dewa -dewa alam. Tingkat keduan
revolusi agama ini disebut polytheismeyang mana poly berarti banyak
dan theos berarti Tuhan. Tingkat ini merupakan perkembangan dari tingkat
sebelumnya,manisme, pemujaan terhadap roh nenek moyang16.
Tingkat ketiga atau tingkat terakhir dari evolusi agama bersamaan dengan
timbulnya susunan kenegaraan di dalam masyarakat manusia. Menurut
E.B.Taylor, ketika muncul susunan kenegaraan di masyarakat, timbul juga
kepercayaan bahwa di alam dewa -dewa juga terdapat susunan kenegaraan yang
serupa dengan susunan keneg araan manusia. Pada kehidupan masyarakat, para
dewa pun dikenal de ngan stratifikasi sosial dewa -dewa, dimulai dari dewa
tertinggi yaitu raja dewa, para menteri sampai dewa yang paling rendah. Susunan
masyarakat dewa serupa itu lambat laun menimbulkan kesad aran baru bahwa
semua dewa itu pada hakikatnya merupakan penjelmaan dari satu dewa yang
tinggi itu. Akibat dari kepercayaan itu, berkembanglah kepercayaan kepada satu
Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dari sinilah timbul beerbagai agama
bertuhan satu atau monotheisme.17
2) Teori Batas Akal (Teori Batos)
Teori ini menyatakan bahwa permulaan terjadinya agama dikarenakan
manusia mengalami gejala yang tidak dapat diterangkan oleh akalnya. Teori batas
akal ini berasal dari pendapat seorang ilmuwan besar Inggris, Jam es G. Frazer.18
Menurut Frazer, manusia bisa memecahkan berbagai persoalan hidupnya dengan
akal dan system p engetahuanya. Tetapi akal dan si stem pengetahuan itu ada

16Dadang kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009). hal.25
17Ibid, …. hal. 26
18Dadang kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009). Lihat
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (New York: Oxford University Press,1996 ), hal.30

20

batasnya, dan batas akal itu meluas sejalan dengan meluasnya perkembangan ilmu
dan teknologi . Oleh karena itu, makin maju kebudayaan manusia, makin luas
batas akal itu.
Dalam banyak kebudayaan di dunia ini, sebagain batas akal manusia itu
masih amat sempit karena tingkat kebudayaanya masih sangat sederhana. Oleh
karena itu, berbagai persoalan hid up banyak yang tidak dapat dipecahkan dengan
akal mereka. Maka mereka memecah kannya melalui magic atau ilmu gaib.19
Pada mulanya, manusia hanya menggunakan ilmu gaib untuk memecahkan
soal-soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pen getahuan akalnya.
Lambat laun terbukti banyak perbuatan magicnya itu tidak ada hasilnya. Oleh
karena itu, ia mulai percaya bahwa alam ini didiami oleh makhluk -makhluk halus
yang lebih berkuasa dari pada manusia. Maka mereka mulai mencari hubungan
yang baik dengan m akhluk -makhluk halus yang mendiami alam ini. Dengan
demikian, hubungan baik ini menyebabkan manusia mulai mempercayakan
nasibnya kepada kekuatan yang dianggap lebih darinya. Da ri sinilah mulai timbul
religi.20
Menurut Frazer, ada perbedaan antara magic dan religi. Magic adalah segala
system perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksuddengan
menguasai dan menggunkan kekuatan dan hukum -hukum gaib yang ada di alam.
Sedangkan agama (religion) adalah segala system kepercayaan dan system
perbuatan manus ia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri
kepada kemauan dan kekuasaan Tuhan, makhluk halus, roh, atau dewa dewi yang
dianggap menguasai alam. Berbagai macam ritus merupakan cara manusia agar
Tuhan berkenan menolongnya dari segala permas alahan hidup.21
R. First dalam bukunya, Human Types , mengemukakan perbedaan magic
dan religion. Menurutnya, magic adalah serangkaian perbuatan manusia untuk
mengontrol alam semesta, sedangkan religion adalah respons manusia terhadap
kebutuhan akan konsepsi yang tersusun mengenai alam semesta dan sebagai
mekanisme dalam rangka mengatasi kegagalan yang timbul akibat

19Ibid, …. hal. 32
20Ibid, …. hal. 27
21Ibid, …. hal. 28

21

ketidakmampuan manusia untuk meramalkan dan memahami kejadian alam, atau
peritiwa yang tidak diketahui dengan tepat.22
3) Teori Krisis dalam Hidup Individu
Teori ini mengatakan bahwa kelakuan keagamaan manusia itu mulanya
muncul untuk menghadapi krisis -krisis yang ada dalam kehidupan manusia itu
sendiri. Teori ini berasala dari M. Crawley, dalam bukunya The True Of Life
(1905), yang kemudian diuraika n secara luas dan terperinci oleh A. Van Gennep
dalam bukunya Rites de Passage (1910).23
Menurut kedua sarjana tersebut, dalam jangka waktu sejarah hidupnya,
manusia mengalami banyak krisis yang terjadi dalam masa -masa tertentu. Krisis
tersebut menjadi obye k perhatian manusai dan sangat menakutkan. Betapapun
bahaginya sesorang, ia harus ingat akan kemungkinan -kemungkinan timbulnya
krisis dalam hidupnya. Berbagai krisis tersebut – terutama berupa bencana, seperti
sakit dan maut – sangat sukar dihindarinya wal aupun dihadapi dengan kekuasaan
dan kekayaan harta benda. Dua macam bencana tadi sangat sulit dielakan. Karena
selama hidupnya ada beberapa krisis, manusia butuh sesuatu untuk memperteguh
dan mengautkan dirinya. Perbuatan berupa upacara sacral pada masa kr isis
merupakan pangkal dari keberagamaan manusia.24
4) Teori Kekuatan Luar Biasa
Teori ini mengatakan bahwa agama dan sikap religius manusia terjadi
karena adanya kejadian luar biasa yang menimpa manusia yang terdapat di
lingkungan alam sekitarnya. Teori ini d iperkenalkan oleh seorang ahli antropologi
Inggris yang bernama R.R. Marett dalam bukunya The Threshold of Religion .25
Antropolog ini menguraikan teorinya diawali dengan satu sanggahan terhadap
pendapat E. B. Taylor yang menyatakan bahwa timbulnya agama itu karena
adanya kesadaran manusia terhadap adanya jiwa. Menurut Marett, kesadaran

22Dadang kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT Remaja Rosd akarya, 2009). Lihat
Koentjaraningrat Op.Cit. hal. 70
23Ibid, …. hal. 28
24Ibid, ….. hal. 29
25Thomas F. O’DEA, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal , (Jakarta: Rajawali, 1987),
hal. 37

22

seperti itu terlalu rumit dan terlalu kompleks bagi ukuran pikiran manusia yang
baru saja ada pada kehidupan di muka bumi ini.26
Ia mengajukan teori barunya bahwa pangkal dari segala kelakukan
keagamaan pada manusia ditimbulkan oleh suatu perasaan rendah diri terhadap
adanya gejala -gejala dan peristiwa -peristiwa yang dianggap luar biasa dalam
kehidupan manusia. Alam tempat gejala dan peristiwa -peristiwa itu berasal – yang
diangg ap memilki kekuatan yangmelebihi kekuatan yang telah dikenal manusia di
alam sekelilingnya disebut super natural. Gejala -gejala dan peristiwa -peristiwa
luar biasa tadi dianggap akibat dari suatu kekuatan super natural atau kekuatan
luar biasa sakti. Keperc ayaan kepada suatu kekuatan sakti yang ada dalam gejala –
gejala, hal -hal, dan peristiwa yang luar biasa itu dianggap oleh Marett sebagai
suatu kepercayaan yang ada pada manusia sebelum mereka percaya kepada
makhluk halus dan roh. Dengan perkataan lain, sebe lum adanya kepercayaan
animisme, manusia mempunyai kepercayaan preanimisme. Marett menyatakan
bahwa preanimisme lebih dikenal dengan sebutan dinamisme.27
5) Teori Sentimen Kemasyarakatan
Teori ini menyatakan bahwa agama yang permulaan itu muncul karena
adanya suatu getaran, suatu emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai
akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai sesama warga masyarakat. Teori yang
disebut “teori sentimen kemasyarakatan” ini berasal dari pendapat seorang
ilmuwan Prancis, Emile Durkheim, yang diuraikan dalam bukunya Les Formes
Elementaires de Lavia Religieuse (The Elementary Forms of the religious Life ,
1965).28 Dalam bukunya itu, Durkheim mengemukakan teori baru tentang dasar –
dasar agama yang sama sekali berbeda denga teori -teori yang pernah
dikembangkan oleh para ilmuwan sebelumnya.29 Teori tersebut berpusat pada
pengertian dasar sebagai berikut:
a) Bahwa untuk per tama kalinya, aktivitas religi yang ada pada manusia bukan
karena pada alam pikiranya terdapat bayangan -bayangan abstrak tentang jiwa

26Dadang kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009). hal. 30
27Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama ( Malang:UIN – MALIKI PREES,2010). hal. 49
28Dadang kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009). hal. 30
29Ibid, …. hal 50

23

atau roh – suatu kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak di dalam alam –
tetapi, karena suatu getaran jiwa, atau emosi k eagamaan, yang timbul dalam
alam jiwa manusia dahulu, karena pengaruh suatu sentimen kemasyarakatn.
b) Bahwa sentimen kemasyarakatan dalam batin manusia dahulu berupa suatu
kompleksitas perasaan yang mengandung rasa terikat, bakti, cinta, dan
perasaan lainya terhadap masyarkat di mana ia hidup.
c) Bahwa sentimen kemasyarakat yang menyebabkan timbulnya emosi
keagamaan dan merupakan pangkal dari segala kelakukan keagamaan manusia
itu, tidak selalu berkobar -kobar salam alam batinya. Apabila tidak dipelihara,
maka se ntimen kemasyarakatan itu menjadi lemah dan laten, sehingga perlu
dikobarkan sentimen kemasyarakatan dengan mengadakan satu kontraksi
masyarakat dalam pertemuan -pertemuan raksasa.
d) Bahwa emosi keagamaan yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan
membut uhkan suatu obyek tjuan. Sifat yang menyebabkan sesuatu itu menjadi
obyek dari emosi keagamaan bukan karena sifat luar biasanya, anehnya,
megahnya, atau ajaibnya, melainkan tekanan anggapan umum masyarakat.
Obyek itu ada karena terjadinya satu peristiwa se cara kebetulandi dalam
sejarah kehidupan suatu masyarakat masa lampau menarik perhatian orang
banyak di dalam masyarakat tersebut. Obyek yang menjadi tujuan emosi
keagaan juga obyek yang bersifat keramat. Maka obyek lain yang tidak
mendapat nilai keagamaan (tirual value) dipandang sebagai obyek yang tidak
keramat.
e) Obyek keramat sebenarnya merupakan suatu lambang masyarakat. Pada suku –
suku bangsa asli Australia misalnya, obyek keramat dan pusat tujuan dari
sentimen kemasyarakatan, sering berupa binatang dan tumbuh -tumbuhan.
Obyek keramat seperti itu disebut totem. Totem adalah mengkonkretkan
prinsip totem di belakangnya. Prinsep totem itu adalah suatu kelompok di
dalam masyarakat berupa clan (suku) atau lainya.
6) Teori Wahyu Tuhan
Teori ini menyatakan bahwa kelakuan religius manusia terjadi karena
mendapat wahyu dari Tuhan. Teori ini dikembangkan oleh seorang antropolog

24

Inggris bernama Andrew Lang. Pendapat Andrew Lang ini kemudian dilanjutkan
oleh W Schmidt seorang tokoh besar antr opologi dari Austria. Dalam hubungan
ini, ia percaya bahwa agama berasal dari wahyu Tuhan yang diturunkan kepada
manusia pada masa permulaan ia muncul di muka bumi ini.30
Dari keenam teori diatas maka teori batas akal atau teori batos yang akan
digunakan un tuk menganalisis begaimana agama diitegrasikan dalam sistem
pengobatan tradisional pada masyarakat pedesaan sehingga nampak bagaimana
agama itu lahir dan dibutuhkan oleh manusia .
2. Teori Fungsi Agama
Fungsi agama (fungsional agama) yang tidak hanya didasarkan pada logika
rasional, tetapi juga pada logika empiris( menurut para sosiolog), fungsi
agama dalam masyarakat meliputi tiga aspek yaitu kebudayaan, sistem sosial dan
kepribadian. Ketiga aspek tersebut merupakan kompleks fenomena sosial terpadu
yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul
pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama dalam memelihara sistem, apakah
lembaga agama terhadap kebudayaan sebagai suatu sistem, dan sejauh manakah
agama dalam mempertahankan keseimban gan pribadi melakukan fungsinya.
Pertanyaan itu timbul sebab sejak dulu sampai saat ini, agama itu masih ada
dan mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.Beberapa tokoh
memaparkan asumsi teori -teori fungsi (fungsional) agama yang berbeda -beda.
Berikut ini asumsi tokoh -tokoh tersebut .31
1) Asumsi teori fungsional E. Durkheim
Agama merupakan lambang collective representation dalam bentuknya
yang ideal, agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti
ritus-ritus agama. Orang yang terli bat dalam upacara keagamaan maka kesadaran
mereka tentang collective consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara
keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan sehari -hari, kemudian
lambat laun collective consciouness tersebut semakin lemah k embali.

30Dadang kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009). hal.31
31Scharf R Betty, Kajian Sosiologi Agama (Yogyakarta : Tiara Wacana , 1995) h.94

25

2) Asumsi teori fungsional Berger
Bahwa setiap s istem makna tergantung pada struktur rasionalitasnya, namun
pandangan ini tidak boleh dianggap sama dengan agama merupakan selalu
epifonomen. Menurut Berger fungsi agama untuk memperkuat dan menimbulka n
solidaritas so sial justeru secara fundamental, artinya agama merupakan salah satu
benteng perta hanan untuk menghadapi anomie (kericuhan ) sepanjang sejarah
manusia.32
3) Asumsi teori fungsional Luckmann
Dalam rangka mempertahankan kesadaran dasar mengenai konsep agama,
memerlukan transendensi biologi dengan organisme manusia sebagai gejala
keagamaan, gejala ini tergantung pada hubungan fungsional antara jiwa dan
masyarakat, dan bisa dianggap proses so sial yang menjurus kepada penbentukan
jiwa secara fundamental bersifat keagamaan merupakan antropologik agama.
Agama dalam masyarakat yang statis (dapat dilihat ) akan selalu berfungsi sebagai
suatu ikatan so sial, akan tetapi jika masyarakat tersebut mengalami perubahan
secara cepat, maka akan semakin banyak perubahan dalam fungsi agama.33
4) Asumsi teori fungsional Thomas O’Dea
Agama berkaitan dengan penyesuaian dan identitas perorangan dan
berkaitan dengan pengendalian so sial dengan sakralisasi norma –norma so sial serta
mengkhususkan fungsi profetik yang bersifat positif. Agama juga meritualisasikan
optimisme bila terlalu kuat menghambat terjadinya proses terhadap ketidakadilan
dan penderitaan -penderitaan yang semestinya tidak perlu terjadi. Dan agama yang
melakuka n sakralisasi terhadap norma sos ial yang dapat menghalangi penyesuaian
terhadap berbagai aturan dengan lingkungan dan situaasi yang baru.34
5) Asumsi teori fungsional Karl Marx dan Engels
Karl Marx dan Engels berasumsi bahwasannya agama merupakan tatanan
social dan system klasifikasi social yang mereka kuasai merupakan pemberian

32Scharf R Betty, Kajian Sosiologi Agama . (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1995) , hal. 98-99
33Ibid, hal. 103
34Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal , (Jakarta : Raja Wali
Press, 1990 ), hal. 105

26

tuhan dan bukan ciptaan manusia. Agama hanyalah sebagai pemisah klasifikasi
social.35
6) Asumsi teori fungsional Freud
Agama merupakan fantasi Pedipal yang agama berfungsi sebagai landasan
kepercayaan terhadap adanya Tuhan yang menuntut penyembahan dan kepatuhan
serta penjatuhan hukuman atas perbuatan dosa.36
Sedangkan agama dalam teori Comte,dimana Comte dengan pemikirannya
yang khas meyakini melalui tiga tahapan dalam evolusi agama, meneri ma definisi
tersebut sebagai tahapan pertama dalam sebuah agama. Comte melangkah lebih
jauh dari tahapan tersebut, dan menganggap bahwa agama sebagai rangkain
akidah -akidah yang tersebar dalam bagian -bagian masyarakat, dan juga
menganggapnya sebagai faktor koherensi masyarakat. Perhatian Comte pada
faktor tersebut, secara perlahan -lahan menyimpulkan agama pada sisi tersebut.
Apa saja yang menyebabkan koherensi dan menyatukan masyarakat, ia sebut
sebagai agama. Agama positivistik yang dibangun oleh Comte, wa laupun
didalamnya tidak terdapat kepercayaan terhadap wujud -wujud spiritual, namun
menurutnya, agama ini mampu menyatukan masyarakat. Singkatnya, Comte tetap
menerima definisi yang dikemukan oleh Tylor dalam agama tahapan pertama.
Oleh karena itu, bisa kit a anggap bahwa definisi tersebut sebagai titik kesamaan di
antara tokoh Intelektualisme, termasuk Comte.
Comte meyakini juga bahwa pengetahuan seperti ini dihasilkan pada
tahapan pertama agama, yaitu pada tahapan teologi, karena manusia pada saat itu
senan tiasa berfikir secara sederhana, dan dengan pandangan teologi langsung
dapat memberikan sebuah jawaban, walaupun jawaban tersebut dalam bentuk
sederhana. Pandangannya mengenai agama.
1) Comte meyakini bahwa agama muncul dari sebuah tahapan tertentu dari
sejar ah manusia. Di sisi lain Comte meyakini bahwa masyarakat selamanya
butuh pada agama, artinya bahwa dari satu sisi agama terancam kepunahan,
karena agama berhubungan pada masa dahulu, dan sebab itu agama harus

35Ibid, hal. 109
36 Ibid, h al. 118

27

digantikan dengan sesuatu yang sesuai dengan ma sa kekinian. Di sisi lain
masyarakat butuh pada sebuah sistem yang dapat menyatukan mereka, sebuah
ide-ide umum dan universal, yang hanya dapat diberikan oleh agama.
2) Walaupun unsur pengetahuan agama dalam perubahan agama memiliki
peranan yang sangat pentin g, namun Comte tidak melupakan faktor sosiologi
mengenai pranata -pranata sosial. Menurut Comte; "setiap tahapan -tahapan
perubahan alam mental manusia, berkaitan erat dengan sebuah institusi sosial
dan dominasi politik tertentu yang ia ciptakan. Tahapan teo logi dibawah
dominasi para tokoh spiritual dan dikomandoi oleh pria -pria militer, tahapan
metafisika, berada pada masa abad pertengahan dan renasains, yang
didominasi oleh para pastor dan hakim. Tahapan ketiga yang baru saja
dimulai, di bawah dominasi para manager -manager industri dan diarahkan
oleh etika para ilmuan.37
3) Sebagaimana yang Anda perhatikan bahwa dalam pandangan Intelektualisme,
seluruh perhatian ia kerahkan pada pikiran dan pemikiran, instrumen perasaan
hampir jarang disentuh, boleh dikata merek a telah melupakannya sama sekali.
Pandangan ini bisa kita benarkan jika kita melihat analisis Comte mengenai
agama, namun dalam beberapa hal, Comte sempat mengisyaratkan beberapa
hal mengenai hal tersebut, bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah cinta
kepada sebuah eksistensi yang lebih mulia darinya, dan kebutuhan ini hanya
bisa dipenuhi oleh agama, bahkan ketika manusia masuk dalam agama
modern, manusia tetap tidak melupakan kebutuhan kemanusiaan ini. Kata
Comte; manusia bisa saja letih dari bekerja dan berfikir, namun ia tidak akan
pernah lelah dari cinta.38
Dalam pandangan Karl Marx agama adalah sistem sosial yang digunakan
untuk menetralisir situasi hati yang kurang menguntungkan. Agama dibutuhkan
oleh orang -orang yang kacau. Hal ini sesuai dengan kali mat Marx bahwasanya
“Agama adalah Candu bagi masyarakat”. Menurutnya, karena ajaran agamalah
maka rakyat menerima saja nasib buruk mereka dan tidak tergerak untuk berbuat

37Kehidupan dan Pemikiran para Pembesar Sosilogi ; Terjemahan Muhsin Tsulasi, hal. 30
38Tahapan pemikiran dalam sosiologi ; Raymon ; terjemahan Baqir Parhom ; hal 118.

28

sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Marx melihat kaum buruh pada zaman itu
pasrah akan keadaan yang mereka terima. Eksploitasi dari kaum kapitalis diterima
dengan dingin tanpa ada usaha untuk melawan. Akhirnya agamalah yang menjadi
tempat mereka bersandar sebagai penghiburan dengan menjanjikan kebahagiaan
di alam sesudah kehidupan. Agama me njadi tempat pelarian manusia dari kondisi
dunia nyata. Kehidupan yang kurang menguntungkan membuat manusia
menderita dan mencari obat penenang dalam kehidupan keagamaan.
Sementara Durkheim memandang agama sebagai sesuatu yang bukan hanya
ilusi manusia yang abstrak tetapi agama merupakan produk manusia yang dapat
dikaji secara empiris. Dalam bukunya " The Elementary Forms of Religious "
Durkheim memberikan suatu analisa terperinci mengenai kepercayaan –
kepercayaan dan ritual -ritual agama totemik orang arunt a, suku bangsa primitive
di Australia utara.39
Durkheim mendefinisikan agama sebagai "Suatu System yang terpadu
mengenai kepercayaan -kepercayaan praktek -praktek yang berhubungan dengan
benda suci atau benda -benda khusus (terlarang) kepercayaan -kepercayaan d an
praktek -praktek yang menyatu dalam satu komunitas yang disebut umat, semua
berhubungan dengan itu.40 Durkheim mengabstraksi munculnya agama dalam
masyarakat yaitu dengan memisahkan antara yang sacral dan yang profan .
1) Sakral
Sakral berasal dari ritual -ritual keagamaan yang merubah nilai -nilai moral
menjadi symbol -simbol religious dimana dimanifes tasikan menjadi sesuatu yang
riil. Masyarakat menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu
sebagai sesuatu yang sekral dan sementara yang la in dianggap profan (kejadian
yang umum atau biasa), sacral inilah yang dianggap sebagai suatu yang terpisah
dari peristiwa sehari -hari yang membentuk esensi agama. Misalnya nilai -nilai
pengrusakan atau kejahatan manusia dimanifestasikan dalam agama hindu s ebagai
siwa sebagai dewa perusak. Sehingga dapat dikatakan Tuhan tak lebih dari

39Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I ; Penerjemah Robert M.Z
Lawang, (Jakarta: Gramedia pustaka Utama, 1990) . hal. 196
40Ibid, hal. 52

29

sekedar hasil pengejawantahan wujud Tuhan dan simbolisasi -Nya artinya
masyarakatlah sumber dari kesakralan itu sendiri.
2) Profan
Profan adalah peristiwa yang biasa terjadi dalam masyarakat dikehidupan
sehari -harinya yang tidak memiliki nilai -nilai suci yang disakralkan. Yang profan
ini dapat menjadi sakral jikalau masyarakat mengagungkan dan menyucikannya.
3) Totemisme
Totemisme adalah system agama dimana sesuatu, bisa binatang dan
tumbuhan dianggap sakral dan dijadikan simbol klan. Menurut Durkheim
totemisme merupakan agama yang paling sederhana dan primitive yang juga
merupakan bentuk organisasi social yang paling sederhana. Totemisme ini berasal
dari representasi klan atau suku, in dividu mengalami kekuatan social yang sangat
erat dan besar ketika mengikuti upaca suku sehingga mereka berusaha mencari
penjelasan atas fenomena tersebut dan mewujudkannya dalam suatu lambing
totem.
Jadi dapat dikatakan totem adalah representasi material dari kekuatan non
material yang menjadi dasarnya, dimana kekuatan nonmaterial itu adalah perasaan
individu -individu dalam masyarakat. Sebenarnya masih banyak pembahasan
dalam tulisan ini dikarenakan masih banyak agenda yang mesti saya selesaikan
ingsallah tulisan ini nantinya akan diedit dan ditambah dilain waktu.41
Pandangan Max Weber dalam teori agama diawali dengan esai etika
protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu
alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek
pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan
pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk
menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur
yang ber beda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak
pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam
perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat.

41Ibid, h al. 198

30

Agama menurut Max Weber adalah sistem sosial yang dapat memperkuat
identi tas diri masyarakat. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin –
doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta -fakta sosial terutama dalam
perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana
nilai itu menjadi tolak ukur b agi perilaku individu itu sendiri. Agama adalah apa
yang bisa dilihat dari orang lain, bukan yang diyakininya. Seperti pemakaian
busana yang tampak sebagai identitas agama yang dianutnya .42
3. Teori Prilaku Keberagamaan (Religiusitas)
Agama dipeluk dan dihayati oleh manusia, praktek dan penghayatan agama
tersebut diistilahkan sebagai keberagamaan ( religiusitas ). Keberagamaannya,
manusia menemukan dimensi terdalam dirinya yang menyentuh emosi dan jiwa.
Oleh karena itu, keberagamaan yang baik akan membawa tiap individu memiliki
jiwa yang sehat dan membentuk kepribadian yang kokoh dan seimbang.
Agama bersumber pada wahyu Tuhan. Oleh karena itu, keberagamaan pun
merupakan perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada wahyu
Tuhan juga. Keberagama an memiliki beberapa dimensi. Dimensi -dimensi tersebut
antara lain dimensi pertama adalah aspek kognitif keberagamaan, dua dari yang
terakhir adalah aspek behavioral keberagamaan dan yang terakhir adalah aspek
afektif keberagamaan .43
Religiusitas (keberaga maan) diwujudkan dalam berbagaisisi kehidupan
manusia. Hal ini perlu dibedakan dari agama, karena konotasi agama biasanya
mengacu pada kelembagaan yang bergerak dalam aspek -aspek yuridis, aturan dan
hukuman sedangkan religiusitas lebih pada aspek “lubuk ha ti” dan personalisasi
dari kelembagaan tersebut (Shadily, 1989) .44
Mangunwijaya juga membedakan istilah religi atau agama dengan istilah
religiusitas. Agama menunjuk aspek formal yang berkaitan dengaan aturanaturan

42Ibid, h al. 121
43Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, ed. Metodologi Penelitian Agama: sebuah
pengantar , (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hal. 93
44Ibid, hal. 94

31

dan kewajiban -kewajiban, sedangkan religiusitas mengacu pada aspek religi yang
dihayati olehindividu di dalam hati .45
Pengertian religiusitas berdasarkan dimensi -dimensi yang dikemukakan
oleh Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005) adalah seberapa jauh pengetahuan,
seberapa kokoh keyakinan, seb erapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa
dalam penghayatan agama yang dianut seseorang .46
Berdasarkan beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
religiusitas adalah statu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang
mendorongnya bertingkah laku, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran –
ajaran agama yang dianutnya.
Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005), ada 5 dimensi religiusitas
(keagamaan) yaitu47 :
a) Dimensi keyakinan / ideologik
Dimensi ini berisi Pengh arapan -pengharapan dimana orang religius
berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran
doktrin tersebut. Misalnya keyakinan akanadanya malaikat, surga dan neraka.
b) Dimensi praktik agama / peribadatan
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus formal
keagamaan, kataatan dan hal -hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan
komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik -praktik agama ini terdiri atas
dua kelas penting, yaitu: 1) Ritual, meng acu kepada seperangkat ritus, tindakan
keagamaan formal dan praktik -praktik suci yang semua mengharapka n para
pemeluk melaksanakannya, dan 2) Ketaatan, apabila aspek ritual dari komitmen
sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunya i
seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan,
informal dan khas pribadi.

45Mangunwijaya, Menumbuhkan Sikap Religius Anak -anak, (Jakarta: Gramedia, 1986), hal.
123
46Djamaluddin Ancok, Fuat Nashori Suroro, Psikologi Islam , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), hal. 77
47Ibid, hal. 78

32

c) Dimensi Pengalaman
Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi
dan sensasi yang dialami seseorang ataudidefenisikan ol eh suatu kelompok
keagaman (atau masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam
suatu esensi ketuhanan yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas
transedental.
d) Dimensi pengetahuan agama
Dimensi ini mengacu pada harapan bagi orang -orang yang beragama paling
tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar -dasar keyakinan,
ritus-ritus, kitab suci dan tradisi -tradisi.
e) Dimensi Konsekuensi
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat -akibat keyakinan keagamaan,
praktik, pen galaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Dengan kata
lain, sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi perilakunya.
4. Masyarakat Per desaan
Menurut P.L. Berger konsep mayarakat merupakan suatu keseluruhan
kompleks hubungan yang bersifat luas, hal ini terjadi karena di dalam masyarakat
terdiri dari bagian -bagian yang membentuk kesatuan. Damsar mengibaratkan
konsep masyarakat seperti tubuh manusia yang memiliki satu kesatuan yang
kompleks.48 Masyarakat dapat di definisikan menurut Horton dan Hunt
(1987:59)49 adalah sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang
hidup bersama -sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah yang sama dan
memiliki kebudayaan yang sama pula.50 Sedangkan konsep desa dalam beberapa
literatur kadang kala dipersan dingkan dengan kota, maka seringkali muncul kata
perkotaan dan perdesaan. Konsep desa oleh sebgaian para ahli dapat dirumuskan
sebagai statistik penduduk yang penduduknya atau warganya berkisar pada angka
2000 -2500 jiwa/orang.

48 Damsar., Indriyani. Pengantar Sosiologi Perdesaan . (Jakarta : PT. Ken cana, 2016). h al.
15
49 Ibid, hal. 71
50 Ibid, hal. 71

33

Desa dan kota sebenarnya seb uah konsep lokalitas (tempatan), yaitu suatu
konsep ruang dimana orang menghabiskan sebagian besar waktunya dalam relasi
dengan orang lain, yang merupakan produk dari kehendak manusia ( wille/will ).
Manusia menurut Ferdinand Tonnies, memiliki kehendak yang bersifat
Wessenwile (kehendak alamiah) dan Kurwille (kehendak rasional). Kehendak
alamiah inilah yang akan memproduk relasi sosial yang bersifat intim, pribadi,
dan efeksi. Relasi sosial yang seperti inilah yang nantinya akan menjadi
karakteristik utama da ri relasi sosial desa, hal ini yang membedakan dengan relasi
sosial kota yang bercirikan hubungan parsial, transaksional, dan netral afeksi,
yang dihasilkan oleh kehendak rasional ( Kurwille ).51
Dari urain teoritis diatas maka sistem pengobatan masyarakat pe desaan
merupakan suatu fenomena yang sangat berkaitan dengan aspe -aspek religi atau
religius. Dengan demikian perlu kiranya dalam uraian disertasi ini alur skematik
pemikiran sebagai berikut :

Gambar 1.1 Skematik Alur Pemikiran

51 Ibid, hal. 19 Agama
•Teori Batos
•Menurut Emile
Durkheim dan Max
Weber : Sakral,
Propan dan Totemis
•T. ungsional T. O’Dea Keberagamaan
Masyarakat
Pedesaan
•Teori (Glock and
Stark Refleksi
Keberagaman
dalam Sistem
Pengobatan

34

Atau secara spesifik kerangka pemikiran dalam disertasi ini dapat
digambarakan sebagai berikut :

Gambar 1.2 Skematik Kerangka Berpikir
F. Definisi Konseptual
Ada beberapa istilah yang perlu dipahami dalam masalah yang di kaji dalam
disertasi ini, sehingga tidak terjadi multi tafsir atau salah pemahaman, adapun
beberapa hal tersebut adalah :
Pertama , Pengobatan medis modern adalah pengobatan konvensional yang
dilakukan oleh para praktisi kesehatan setelah menempuh pendidikan formal yang
diakui. Pengobatan yang pen erapannya dilakukan sesuai dengan kaidah -kaidah
kesehatan yang sudah distandardkan secara menyeluruh dan berlaku sama di
seluruh dunia .52
Kedua, Pengobatan Tradisional adalah pengobatan yang dilakukan melalui
cara-cara, alat dan tatalaksana tradisional baik yang bersifat rasional maupun
irrasional termasuk dalam penggunaan alat -alat tradisionalnya untuk kesembuhan
suatu penyakit .53

52Kamus Kedokteran, UI Press. Jakarta. 2000
53Permenkes No. 1076/ Menkes/Per/X/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan
Tradisional

35

Ketiga, Pengobatan tradisional merupakan bagian dari penyelenggaraan
upaya kesehatan yang diselenggarakan diIndonesia sesuai deng an Undang –
Undang No. 36 Tahun 2009 Pasal 48.
Keempat, Pengobatan alternatif yang dimaksud dalam disertasi ini mengacu
pada pengobatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kemampuan khusus
untuk mengobati seseorang yang sama sekali tidak menggunakan ca ra, alat, dan
bahan sesuai standard pengobatan modern dan tidak diproduksi secara massal oleh
suatu lembaga kefarmasian yang dalam hal ini dilakukan oleh seorang kyai atau
dukun dengan menggunakan media air yang diberi doa dan diberi jampe atau
mantra.54
Kelima, Pengobat Tradisional adalah sebutan bagi penyelenggara atau yang
melakukan pengobatan tradisional.55 Sebutan bagi pengobat tradisional ini
berbagai macam, seperti: Kyai, Dukun, Sinshe, Pak Haji, dll.
Keenam, Pengobat Alternatif adalah sebutan bagi yang menyelenggarakan
atau yang melakukan pengobatan alternatif dengan metode, alat, bahan dan
pendekatan yang tidak termasuk ke dalam standar pengobatan modern.56
Ketujuh, Pengguna pengobatan alternatif/tradisional adalah orang yang
menggunakan pengobatan alternatif/tradisional sebagai upaya mencari
kesembuhan atas penyakit/keluhan/masalah yang diderita.
G. Metode Penelitian
1. Dasar Penelitian
Sesuai dengan tujuannya, dasar penelitian ini secara metodologis
adalah penelitian kualitatif studi kasus (Case Study ) dengan tujuan untuk
memperkembangkan pengetahuan yang m endalam mengenai obyek yang
bersangkutan. Metode dasar ini dipakai karena mempunyai ciri khas, yaitu
suatu pendekatan yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan
(wholeness ) dari obyek, artinya data yang dikumpulkan dalam rangka studi

54Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternat if dan Komplementer,
Kementrian Kesehatan RI
55Ibid
56Ibid

36

kasus dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi.57 Berdasarkan
ketentuan di atas maka metode yang digunakan dalam p enelitian ini ialah
studi kasus yaitu penelitian mendalam mengenai unit sosial tertentu yang
hasil nya merupakan gambaran yang lengkap dan terorganisasi baik
mengenai unit tersebut.
2. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan pendekatan yang dilakukan, pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan teknik -teknik:
1) Observasi dan Observa si Berpartisipasi.
Observasi digunakan untuk mengamati gejala -gejala yang
terwujud dalam kehidupan sehari -hari dari masyarakat yang diteliti .58
Untuk menghindari kekaburan gejala -gejala mana yang harus diamati
dan yang tidak harus diamati, maka sasaran p engamatan dibatasi
dengan teori -teori yang dipergunakan dalam penelitian ini, sebab
pengetahuan teori itu dapat memberikan gambaran mengenai
kenyataan -kenyataan yang perlu diperhatikan bilamana hendak
mempelajari sµatu masalah sosial tertentu .59 Yang dimaksud observasi
(saja) adalah pengamatan oleh peneliti di mana interaksi sosial dengan
para in forman sama sekali tidak terjad i.60 Dengan hanya
menggunakan observasi saja tidak cukup, karenanya digunakan
observasi berpatisipasi yaitu suatu pengam atan d i mana peneliti
memainkan peran an sebagai partisipan atau peserta dalam suatu
kebudayaan .61 Walaupun peneliti sebag ai partisipan namun
diupayakan agar identitas yang sesungguhnya tidak diketahui oleh
para (seluruh) info rman. Cara yang dilakukan ialah dengan berada

57Vredenbregt, J. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat . (Jakarta: Gramedia, 1978 ),
hal. 38
58Suparlan, Parsudi. The Javanese Dukun" dalam Masyarakat Indonesia . (Jakarta : LIPI,
1990 ), hal. 6
59 Bachtiar, Harsya W. "Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian"; Dalam Koentjara
Ningrat, Metode -metode Penelilian Masyarakat . (Jakarta: Gramedia ,1985 ). hal. 111
60Vredenbregt, J. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat . (Jakarta: Gramedia , 1978 ),
hal. 77
61Ibid, hal. 72

37

langsung dalam kehidupan masyarakat untuk dapat melihat dan
memahami gejala -gejala yang ada, sesuai maknanya dengan yang
diberikan atau dipahami oleh warga masyarakat.
2) Wawancara Mendalam (Depth Interview )
Penggunaan wawancara bertujuan untuk mengumpu1kan
keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta
pendirian -pendirian mereka itu .62 Di samping fungsinya sendiri untuk
memperoleh inforrnasi -informasi tertentu, wawancara juga dilakukan
untuk kesempurnaan teknik observasi. Dengan wawancara ini
dimaksudkan agar seluruh hasil -hasit observasi itu diketahui
maknanya sesuai dengan keterangan pelaku -pelakunya. Pada
pelaksanaannya wawancara dilakukan dengan tidak berencana, ar tinya
dengan hanya memakai pedoman umum sehingga pertanyaan tidak
terikat pada suatu daftar tertentu. Ini dimaksudkan agar informan /
keterangan yang dipero1eh itu mencapai keluasan dan sekaligus
diketahui konteks keterangan -keterangan yang diperoleh. Dalam
pelaksanaannya wawancara lebih banyak dilakukan dengan informan
kunci ( key informan ) bagi masing -masing kategori kyai, dukun dan
pasien .
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Subyek
dalam penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik purposive
sampling dan snowball sampling dengan l angkah –langkah penentuan
dalam memilih info rman kunci ter1ebih dahulu di1akukan
inven tarisasi informan dengan menggunakan pendekatan emic .63
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan
wawancara mendalam . Validitas data pada penelitian ini

62Koentjaraningrat. Metode -metode Penelitian Masyarakat . (Jakarta: Gramedia ,1984 ), hal.
129
63Emic dalam bahasa Indonesia disebut emik ( native point of view ) yakni, peneliti berusaha
menjelaskan suatu fenom ena dalam masyarakat dengan sud ut pandang masyarakat itu sendiri,
bukan dijelaskan dari sudut pandang peneliti. Pendekatan emik dalam penelitian kual itatif
menawarkan pemaknaan data yang lebih objektif, karena tingkah laku kebudayaan dikaji dan
dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji, berupa definisi yang diberikan oleh
masyarakat yang mengalami peristiwa tersebut (Putra, 2012: 73 -74).

38

menggunakan tiga cara yakni triangulasi sumber, diskusi dengan
expert (ahli) dan peer group disscusion .
Dalam wawancara juga dikumpulkan data berupa informasi dari
pelaku pengob atan dan pasien tentang terkait dengan pengobatan yang
dilakukan oleh masyarakat yang berada di wilayah penelitian , cara
pengobatan yang dilakukan oleh kyai atau dukun dan doa atau jampe
apa yang dibaca ketika memberi doa air dan yang lainnya yang
berkaitan dengan masalah penelitian.
Demikian pula dilakukan pencatatan gossip -gossip yang
diperoleh, baik melalui wawancara maupun pe rnyataan orang tanpa
mela lui pertanyaan. Data ini dipergunakan untuk mencek ( rechecking )
hasil wawancara sebelumnya atau memantapkan wawancara
sesudahnya.
3) Studi Dokumenter
Studi dokumenter ini dilakukan untuk menemukan data -data
yang memiliki relevansi dengan objek penelitian, ba ik yang ada di
lokasi maupun yang ada di tempat lain.
4) Studi Literatur
Studi literatur dilakukan untuk mengkaji beberapa karya tulis yang
sudah ada terkait dengan tema yang serumpun dengan penelitian ini,
sehingga diketemukan data yang valid dan originalitasnya dapat
dipertanggung jawabkan.
3. Lokasi Penelitian
Adapun sasaran penelitian ini, dipusatkan pada masyarakat perdesaan yang
berada di wilayah Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut dengan mengambil
sampel 3 Desa yang dijadikan tempat penelitian hal ini didasarkan pada
pertimbangan -pertimbangan sebagai berikut :
a. Wilayah penelitian dianggap strategis secara geografis dan demografis, hal ini
dikarenakan oleh wilayah penelitian yang dapat mewakili sebagai wilayah

39

perdesaan yang memiliki suatu keunik an yang natural, sehingga relevan untuk
di jadikan lokasi penelitian .64
b. Pada Masyarakat Desa yang berada diwilayah tersebut masih terjaganya
tradisi pengobatan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
4. Pendekatan Penelitian
Sesuai dengan tujuannya yaitu mendapatkan gambaran secara menyeluruh
dari tipologi pengobatan tradisional pada masyarakat perdesaan di wilayah
Kecam atan Kadungora . Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Dimaksudkan dengan pendekatan ini ialah memperhatikan prinsip -prinsip umum
yang menjadi dasar atas terwujudnya suatu gejala dalam kehidupan manusia
(masyarakat) yang kemudian dianalisa melalui kebudayaan masyarakat
bersangkutan. Hasil dari analisa ini· kemudian dianalisa kembali dengan teori –
teori yang berhubungan (berlaku) sehingga diketahui kemungkinan memperkuat
atau menyempurnakan suatu teori. Berdasarkan pendekatan ini maka dalam
penelitian ini tidak mengenal adanya populasi dan samp el.65 Seperti dijelaskan
pada pendekatan kualitatif di ata s bahwa penentuan makna terhadap suatu gejala
dalam masyarakat adalah dengan dan melalui kebudayaan masyarakat yang
bersangkutan, maka pendekatan makna ini dilakukan dengan emic approach .
Yang dimaksud dengan pendekatan ini ialah penentuan makna menurut
kerangka konseptual apa yang dimaksud oleh masyarakat yang sedang diteliti
berdasarkan kebudayaannya. Pendekatan ini dipakai sesuai deng an keadaan
suatu gejala yang penilaiannya dihubungkan deng an kerangka teori yang dipakai.
Oleh karena itu instr umen dalam penelitian ini ialah peneliti sendiri.66
Sedangkan dalam kegiatan diagnosa dan analisa data, maka diperlukan
pendekatan sistem yang akan dijadikan kerangka acuan pada penelitian ini. Hal ini
sebagaimana yang disampaikan oleh C. West Churman dalam buk unya “ The
System Approach ” menyatakan :

64Supar lan, Parsudi . The Javanese Dukun" dalam Masyarakat Indonesia . (Jakarta: LIPI,
1990 ).
65Suparlan, Parsudi . Pengantar Metode Penelitian. Pendekatan Kualitatif. (Jakarta : PLPIS.
Ul,1986 )
66Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif . (Bandung: Remaja Karya, 1989 ), hal.
132

40

“the philosophy of the effeciency approach to system is based the idea of
the one best way, i, e the correct way to perform a task. If the task in the
manufacture of a product, them the effeciency approach of timing every
mention and designing of the step of the task, so as to minimize the time.
The result is a “tight -ship” that performance in the best possible way”67
Demikian halnya dalam menganalisa dan mendiagnosa Relasi Agama dan
Pengobatan Tradisional, sudah baran g pasti akan banyak faktor yang terkait.
Maka dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan multidimensional terpadu
sehingga mendapatkan hasil yang optimal dan akan menjadi pendekatan yang
bijak. []
*********

67Churchman, C. West,. The System Approach . (New York: Del Publishing Co., Inc) , hal.
17

Similar Posts