Diterbitkan dan dicetakan Oleh : PT REVKA PETRA MEDIA Jl. Pucang Anom Timur no.5 Surabaya Telp. 031 -5051711 ; Fax. 031 -5016848 e-mail:… [601501]

KAJIAN POLITIK DASAR

Penulis :
Megahnanda A.K

PT Revka Petra Media
CopyrightRPM©201 4

KAJIAN POLITIK DASAR

Penulis :
 Megahnanda A.K
Desain Cover :
 Adiasri P.

Diterbitkan dan dicetakan Oleh :
PT REVKA PETRA MEDIA
Jl. Pucang Anom Timur no.5 Surabaya
Telp. 031 -5051711 ; Fax. 031 -5016848
e-mail: [anonimizat]

–––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– ––––––
14.07.049

ISBN : ……………………………………

Undang -Undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta :

Hak cipta dilindungi undang -undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan
sebagian atau seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun
mekanis, termasuk fotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa
izin tertulis dari penerbit, Undang -undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,
Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal 72, AYAT (1), (2) DAN (6 )

ISBN 978-602-1162-17-0
14.07.049

i
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang
maha Esa atas terselesainya penulisan buku Kajian Politik
Dasar . Penulisan buku ini bertujuan untuk melengkapi
pengetahuan pembaca tentang dasar -dasar kajian ilmu politik
dan sebagai acuan bagi mahasiswa yang ingin mendalami
ilmu politik.
Buku ini adalah pengembangan dari buku ajar mata
kuliah Pengantar Ilmu Politik. Dimana mata kuliah tersebut
merupakan mata kuliah wajib mahasiswa program studi
Hubungan Internasional UPN ”Veteran” Jawa Timur. Buku
ini membahas tentang institusi politik, kekuasaan politik,
kewenagan dan legitimasi, partai politik, partisipasi politik,
kebijakan politik, konflik dan proses politik dan mengenai
pemerintahan .
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
atas semangat yang diberikan keluarga dan seluruh rekan
dosen program studi Hubungan Internasional UPN “Veteran”
Jatim dalam penyelesaian penulisan buku ini. Tak lupa
penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per sa tu yang telah membantu
dalam penulisan buku ini. Akhirnya penulis mengharapkan
semoga buku ini ada manfaatnya, terutama bagi mahasiswa.

Surabaya, Juni 2014

Megahnanda A.K

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………….. ………………………… i
DAFTAR ISI ……………………………………………………. ii
DAFTAR TABEL ………………………………………………. iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Pengertian Ilmu Politik …………………………… . 1
1.2. Sejarah Lahirnya Ilmu Politik ……………………. 1
1.3. Konsep -Konsep Politik …………………………….. 5
BAB II KEKUASAAN, KEWENANGAN
DAN LEG ITIMASI POLITIK
2.1. Definisi Kekuasaan …………………….. …………… 8
2.2. Sumber – Sumber Kekuasaan ……………………… 8
2.3. Distribusi Kekuasaan ……………………………….. 11
2.4. Trias Politica ……………………………………………. 13
2.5. Fungsi Lembaga Kekuasaan di Indonesia ……. 14
2.6. Ke wenangan ……………………………………………. 17
2.7. Legitimasi ……………………………………………. …. 18
2.8. Pentingnya Legitimas i ……………………………….. 19
BAB III PARTISIPASI POLITIK
3.1. Batasan Partisipasi Politik …………………………. 22
3.2. Tipolog i dan Model Partisipasi Politik ………… 23
3.3. Partisipasi Masyarakat Da lam Politik ………….. . 25

iii
BAB IV PARTAI POLITIK
4.1. Fungsi Partai Politik ……… …………………………. 26
4.2. Klasifikasi Partai ……………………………………… 28
4.3. Sistem Kepartaian dan Pemerintahan ………….. 29
BAB V POLITIK DAN KEBIJAKAN PUBLIK
5.1. Proses Pembuatan Kebijakan …………………. …… 34
5.2. F aktor -Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan .. 36
BAB VI GOOD GOVERNANCE
6.1. D efinisi Good Governance ……………………………. 39
6.2. Tiga Pilar Good Governance ………………………….. 40
6.3. Prinsip -Prinsip Good Governance …………………… 42

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. B entuk Partisipasi Politik Versi Almond ……. 23

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Pengertian Ilmu Politik

Secara epistimologis, politik berasal dari bahasa
Yunani ”polis” yang berarti kota yang berstatus negara.
Secara umum istilah politik dapat diartikan sebagai
berbagai macam kegiatan dalam suatu negara yang
menyangkut proses menentukan tujuan -tujuan dari suatu
sistem dan melaksanakan tujuan -tujuan dari sistem
tersebut. Menurut Miriam Budiardjo dalam buku ”Dasar –
dasar Ilmu Politik”, ilmu politik adalah ilmu yang
mempelajari tentang perpolitikan dan politik diar tikan
sebagai usaha -usaha untuk mencapai kehidupan yang
baik (Budia rdjo, 2003: 8) . Sedangkan menurut Goodin
dalam buku “A New Handbook of Political Science”,
politik dapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan
sosial secara paksa (Goodin & Klingeman, 1998 ).
Beberapa definisi berbeda tentang politik juga diberikan
oleh para ahli , diantaranya :

Harold Lasswell : who gets what, when, how

Ramlan Surbakti : Politik adalah interaksi antara
pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan
dan pel aksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan
bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah
tertentu (Surbakti, 1992: 14).

1.2. Sejarah Lahirnya Ilmu Politik

Ilmu politik adalah salah satu ilmu tertua dari
berbagai cabang ilmu yang ada. Sejak o rang mulai hidup
bersama, masalah tentang pengaturan dan pengawasan
telah dimulai. Sejak itu para pemikir politik mulai

2
membahas masalah -masalah yang menyangkut batasan
penerapan kekuasaan, hubungan antara yang memerintah
serta yang diperintah, serta siste m apa yang paling baik
menjamin adanya pemenuhan kebutuhan tentang pengaturan
dan pengawasan. Seperti yang ditulis oleh Weldan Firnando
Smith dalam tulisannya yang berjudul Sifat dan Arti Ilmu
Politik, bukti ilmu politik dikatakan tua karena pada taraf
perkembangan nya ilmu politik banyak bersandar pada
sejarah dan filsafat, diantaranya (Smith, tt: 1) :

 Pemikiran mengenai negara sudah dimulai pada tahun
450 SM, seperti terbukti dalam karya -karya ahli
sejarah Herodutus atau filsuf -filsuf seperti Plato dan
Aristoteles.
 Di Asia, ada beberapa pusat kebudayaan, antara lain :
India dan China yang telah mewariskan tulisan -tulisan
politik yang bermutu. Tulisan -tulisan dari India
terkumpul antara lain dalam kesusastraan
Dharmasastra dan Arthasastra yang berasal dari masa
kira-kira 500 SM. Di antara Filsuf China yang terkenal,
seperti : Confucius atau Kung Fu Tzu (500 SM),
Mencius (350 SM) dan mazhab Legalists (antara lain
Shang Yang 350 SM)
 Di Indonesia terdapat beberapa karya tulisan yang
membahas masalah sejarah da n kenegaraan, seperti :
Negara Kertagama (yang ditulis pada masa Majapahit
sekitar abad ke -13 dan 15 M) dan Babad Tanah Jawi.

Oleh karena itu, untuk mengetahui perkembangan ilmu
politik, kita harus meninjau ilmu politik dalam kerangka
yang luas. Seperti y ang telah dijelaskan diatas sekitar tahun
427 S.M Plato telah meletakan dasar -dasar pemikiran ilmu
politik sehingga dikenal sebag ai Bapak filsafat politik.
Sedangkan Aristoteles yang telah meletakan dasar -dasar
keilmuan dalam kajian politik dikenal sebaga i Bapak ilmu
politik. Baik Plato maupun Aristoteles pada dasarnya

3
menjadikan negara sebagai persp ektif filosofis, dan
pandangan mereka tentang pengetahuan merupakan
sesuatu yang utuh. Perbedaan keduanya terletak pada
tekanan dan obyek pengamatan yang di lakukan , kalau
Plato bersifat normatif -deskriptif, sedangkan Aristoteles
sudah mendekati empiris dengan memberikan dukungan
dan preferensi nilai melalui fakta y ang dapat diamati
dengan nyata.

Zaman Romawi Kuno tersebut memberikan
sumbangan yang berharga bagi ilmu politik, antara lain:
bidang hukum, yurisprudensi dan administrasi negara.
Bidang -bidan g tersebut didasarkan atas persp ektif
mengenai kesamaan manusia, persaudaraan setiap
orang, ke -Tuhan -an dan keunikan nilai -nilai individu.
Para filosof p ada zaman ini berusaha mencari esensi ide –
ide seperti keadilan dan kebaikan , juga
mempertimbangkan masalah -masalah esensial lainnya
seperti pemerintahan yang baik, kedaulatan, kewajiban
negara terhadap warga negara atau sebaliknya.

Memasuki abad pertenga han telah terjadi pergeseran
institusi kekuasaan dari negara ke gereja. Pada masa ini
negara menjadi kurang penting sehingga pemikiran
politik didominasi oleh intelektual dan politik gereja
Kristen. Dalam keadaan seperti pemikiran politik lebih
cenderung m enjawab apa yang dikatakan baik atau
buruk, bukan pernyataan tentang apa yang ada atau
nyata. Namun, di era tersebut tetap memberikan
sumbangan penting bagi ilmu politik, seperti konsepsi
mengenai kejujuran dan h ukum yang perlu ditaati
manusia.

Di negara -negara benua Eropa sendiri bahasan
mengenai politik pada abad ke -18 dan ke -19 banyak
dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena itu ilmu politik

4
hanya berfokus pada negara . Di Amerika Serikat terjadi
perkembangan berbeda, karena ada keinginan untuk
membebaskan di ri dari tekanan yuridis, dan lebih
mendasarkan diri pada pengumpulan data empiris.
Perkembangan selanjutnya bersamaan dengan perkembangan
sosiologi dan psikologi, sehingga dua cabang ilmu tersebut
sangat mempengaruhi ilmu politik. Perkembangan
selanjutnya berjalan dengan cepat, dapat dilihat dengan
didirikannya American Political Science Association pada
1904 (Budiardjo, 2003: 2) .

Perkembangan ilmu politik setelah berakhirnya Perang
Dunia II berkembang sangat pesat , misalnya beberapa
univeritas di Eropa te lah mendirikan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, walaupun penelitian di negara -negara
tersebut masih didominasi oleh Fakultas Hukum. Di
Indonesia sendiri juga mulai didirikan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik , di banyak universitas.

Perkembangan ilmu politik juga disebabkan oleh
dorongan kuat beberapa badan internasional, seperti
UNESCO. UNESCO pada tahun1948 melakukan survei
mengenai ilmu politik di 30 negara (Budiardjo, 2003: 3).
Survey yang dilakukan para ahli tersebut menghasilkan buku
Contemp orary Political Science pada tahun. Selanjutnya
UNESCO bersama International Political Science
Association (IPSA) yang mencakup kira -kira sepuluh negara,
diantaranya negara Barat, di samping India, Meksiko, dan
Polandia melakukan p enelitian tentang ilmu po litik.

Pada tahun 1952 hasil penelitian ini dibahas di suatu
konferensi di Cambridge, Inggris dan hasilnya disusun oleh
W. A. Robson dari London School of Economics and
Political Science dalam buku The University Teaching of
Political Science . Buku ini di terbitkan oleh UNESCO untuk
pengajaran beberapa ilmu sosial (termasuk ekonomi,

5
antropologi budaya, dan kriminologi) di perguruan
tinggi. Kedua karya ini ditujukan untuk membina
perkembangan ilmu politik dan mempertemukan
pandangan yang berbeda -beda (Budiar djo, 2003: 3).

Memasuki awal abad kedua puluh k ajian ilmu politik
telah menjadi hal yang wajib diperkenalkan di perguruan
tinggi. Diantara alasannya adalah karena semakin banyak
orang maupun kelompok orang yang sadar akan
pentingnya mempelajari ilmu politik demi kepentingan
studi maupun kepentingan politik pribadi dan golongan.

1.3. Konsep -Konsep Politik

Negara

Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah
yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan yang
memiliki pemerintahan yang ditaati oleh rakyatnya.
Sedangkan menurut J.J. Rousseau , negara adalah
perserikatan dari rakyat bersama -sama yang melindungi
dan mempertahankan hak masing -masing diri dan harta
benda anggota -anggota yang tetap hidup dengan bebas
merdeka (Carnivez, 2004: 5) . Terdapat 4 (empat) syarat
terbentuknya sebuah Negara yaitu (1) Wilayah (2)
Penduduk (3) Pemerintahandan (4) Kedaulatan. Negara
adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai
kekuasaan untuk mengatur hubungan -hubungan manusia
dalam masy arakat dan menertibkan geja la–gejala
kekuasaan dalam masyarakat (Budiardjo, 2003: 38).

Masyarakat

Menurut Peter L. Berger, masyarakat adalah suatu
keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas
sifatnya. Keseluruhan yang kompleks sendiri berarti

6
bahwa keseluruhan itu terdiri atas bagian -bagian yang
membentuks uatu kesatuan (Berger, 1996: 43) . Sedangkan
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa ciri-ciri suatu
masyarakat pada umumnya adalah sebagai berikut :

 Manusia yang hidup bersama, sekurang -kurangnya
terdiri atas dua orang.
 Bercam pur atau bergaul dalam waktu yang cukup
lama. Berkumpulnya manusia akan menimbulkan
manusia -manusia baru. Sebagai akibat hidup bersama
itu, timbul sistem komunikasi dan peraturan -peraturan
yang mengatur hubungan antar manusia.
 Sadar bahwa mereka merupakan satu-kesatuan.
 Merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem
kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena
mereka merasa dirinya terikat satu dengan lainnya
(Anif, 2012) .

Masyarakat adalah suatu bagian yang harus dimiliki oleh
sebuah negara yang berdaula t. Karena tanpa masyarakat
sebuah negara tidak akan dapat mencapai apa yang menjadi
tujuannya.

Kekuasaan

Kekuasaan secara umum diartikan sebagai kemampuan
menggunakan sumber -sumber pengaruh yang dimiliki untuk
mempengaruhi pihak lain. Kekuasaan merupakan konsep
yang berkaitan dengan perilaku. Menurut Robert Dahl, A
dikatakan memiliki kekuasaan atas B jika A dapat
mempengaruhi B untuk melakukan sesuatu sesuai kehendak
A (Dahl, 1977: 29) . Kekuasaan merupakan konsep yang tak
terpisahkan dalam kajian ilmu politik, karena dalam kegiatan
politik selalu memiliki tujuan untuk mendapatkan kekuasaan
baik merupakan wujud kepentingan pribadi maupun
golongan.

7

Konsensus

Menurut Rob Sandelin , konsensus adalah sebuah
proses dala kelompok dimana terdapat masukan dari
semua orang untuk menemukan hasil terbaik dalam
memenuhi kebutuhan kelompok. Selain itu, menurut
kamus besar bahasa indonesia konsensus adalah
kesepakatan kata atau permufakatan bersama mengenai
pendapat atau pendirian yang dicapai melalui kebulatan
suara .

8

BAB II
KEKUASAAN, KEWENANGAN DAN
LEGITIMASI POLITIK

2.1. Definisi Kekuasaan

Charles F. Audrain mendefinisikan kekuasaan sebagai
penggunaan sejumlah sumber daya (aset, kemampuan) untuk
memperoleh kepatuhan (tingkah laku menyesuaikan) dari
orang lai n (A ndrain, 1992: 130). Sedangkan Miriam
Budiardjo mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan
seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi
tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa
sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan
atau tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu
(Budiardjo, 1984: 13) .

Jadi kekuasaan secara umum diartikan sebagai
kemampuan menggunakan sumber -sumber pengaruh yang
dimiliki untuk mempengaruhi pihak lain. Sedangkan
kekuasaan politik dapat diartikan s ebagai kemampuan
menggunakan sumber -sumber untuk mempengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga
keputusan itu menguntungkan dirinya dan kelompoknya
ataupun masyarakat pada umumnya (Surbakti, 1992: 58).
Kekuasaan merupakan konsep y ang berkaitan dengan
perilaku. Menurut Robert Dahl, A dikatakan memiliki
kekuasaan atas B jika A dapat mempengaruhi B untuk
melakukan sesuatu sesuai kehendak A (Dahl, 1977: 29).

2.2. Sumber -Sumber Kekuasaan
Untuk memenuhi keinginan tertentu individu satu
dengan yang lainnya sangat berbeda, tergantung daripada

9
sumber daya yang dimiliki. Setidaknya ada lima sumber
daya yang dapat dijadikan instrumen untuk memenuhi
keinginan tersebut. Kelimanya yakni sumber daya fisik,
ekonomi, normatif, personal, dan keahlia n (Andrain,
1992: 132).

1. Sumber Daya Fisik

Seorang yang menawan sering kali dapat dengan
mudah menundukkan orang lain untuk memenuhi
keinginannya. Sumber daya fisik tidak hanya tentang
penampilan, sumber daya fisik dapat pula berupa
keberhasilan suatu negara untuk menunjukan
kelebihannya kepada negara lain. Seperti ketika sebuah
negara dapat memproduksi nuklir maupun ketika negara
tersebut adalah negara yang memiliki kondisi politik dan
ekonomi yang stabil. Negara yang memiliki kelebihan
seperti itu ak an dengan mudah dapat menundukkan
negara lain.

2. Kekuatan Ekonomi

Kekuatan ekonomi juga merupakan sarana yang
cukup terbukti dapat menekan pihak lain untuk tunduk
dan patuh. Bagi negara, kekuatan ekonomi dapat berasal
dari penguasaan atas barang dan jas a, sarana reproduksi
serta kendali atas pasar. Pemilik kekuatan ini,
memainkan kendali atas sektor barang dan jasa, misalnya
menaikkan harga, melangkakan barang -barang dan
sebagainya. Dalam konteks hubungan antar individu,
seseorang yang memiliki banyak ua ng lebih mudah
mendapatkan apa yang mereka inginkan.

10
3. Kekuatan Normatif

Kekuatan normatif biasanya bersumber dari kebijakan
yang berasal dari pemuka agama, kebenaran moral, dan
wewenang yang telah dinyatakan sah. Misalnya, para
pemuka agama biasanya be rtumpu pada sumber daya
normatif. mereka berebut siapa yang paling sah sebagai
“wakil” Tuhan di muka bumi. Sehingga ketika mereka
berkata yang benar adalah A maka diharapkan hal tersebut
dapat menjadi alat untuk mengendalikan orang lain.

4. Kekuatan Perso nal

Kekuatan personal diperoleh melalui pemilikan kualitas –
kualitas personal tertentu (kharisma) yang menyebabkan
pihak lain tunduk dan patuh. Seperti di Indonesia, Soekarno
adalah orang yang dianggap memiliki kualitas personal yang
diakui banyak orang/ne gara cukup menarik sehingga orang
secara sadar maupun tidak dibuat tunduk dan patuh.
Kharisma biasanya merupakan anugerah dari Tuhan.

5. Kekuatan skill atau Keahlian

Kekuatan ini diperoleh dengan menggunakan sumber
daya keahlian yang dimiliki untuk menun dukkan seseorang.
Keahlian tersebut berasal dari penguasaan atas sebuah ilmu
pengetahuan, keahlian teknis, dan intelegensi. Seperti
seorang dokter memiliki kendali atas pasien dan masyarakat
luas dalam bidang kesehatan. Sehingga ketika seorang dokter
berka ta bahwa seorang pasien memiliki sebuah penyakit dan
harus meminum obat tertentu, maka pasien -pasien tersebut
akan percaya atas hasil analisa dokter tersebut.
Sedan gkan menurut Weber kekuasaan di bagi menjadi
tiga bentuk yaitu: kekuasaan legal -formal, keku asaan
kharismatik, dan kekuasaan tradisional. Kekuasaan legal

11
formal didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat
peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur
secara impersonal. Dengan kata lain, kekuasaan legal –
rasional adalah kekuasaan yang sah be rdasarkan
peraturan yang ada di m anaia memiliki posisi tersebut.
Mereka yang tunduk dan patuh karena posisisosial yang
dimiliki itu didefinisikan menurut peraturan sebagai
yang harus tunduk (Weber, 1947 dalam Johnson, 1994:
232). Jadi, peraturanlah yang me mbuat orang itu patuh
dan tunduk, bukan dengan orang yang kebetulan
menduduki posisi itu.

Kekuasaan kharismatik didasarkan pada mutu
luarbiasa yang dimiliki pemimpin itu sebagai seorang
pribadi yang memiliki daya tarik sehingga memberikan
inspirasi pada m ereka yang bakal menjadi pengikutnya
(Weber, 1947 dalam Johnson, 1994: 232). Asal -usul
istilah ini erat kaitannya dengan teologi. Mereka, para
pemimpin agama, memiliki kharismatik karena
kepemimpinan mereka didasarkan kepercayaan bahwa
mereka memiliki suat u hubungan khusus dengan yang
Illahi.

Di dalam proses politik sumber -sumber kekuasaan
seperti yang telah dijelaskan diatas, sangatlah
menentukan keberhasilan seseorang atau kelompok
untuk mencapai tujuan/kepentingannya. Setika seseorang
atau kelompok ters ebut sangat paham dengan
sumberdaya yang dimiliki maka akan sangat mudah
untuk mencapai kepentingan yang diharapkan.

2.3. Distribusi Kekuasaan
Ada tiga model dalam memahami tentang distribusi
kekuasaan, pertama model elit berkuasa. Menurut model
ini sumbe r kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil

12
orang saja. Kedua , model pluralis, dimana kekuasaan mulai
tersebar diantara beberapa kelompok sosial masyarakat dan
ketiga model kekuasaan popular atau populis, yang
mengemukakan bahwa sumber kekuasaan telah menye bar
luas di seluruh kalangan warga negara (Dahlan, tt: 4) .

Model Elit berkuasa

Yang dimaksud dengan model elit yang berkuasa adalah
para kelompok yang saling bersaing dengan kelompok lain
dalam mempengaruhi keputusan -keputusan yang akan dibuat
pemerint ah demi terpenuhinya kepentingan individu atau
kelompok. Kelompok elit politik dapat digolongkan menjadi
tiga tipe. Pertama, elit politik yang dalam segala tindakannya
berorientasi pada kepentingan pribadi atau golongan
(Dahlan, tt). Elit tipe ini cenderun g bersifat tertutup, yaitu
tidak mudah menerima seseorang yang tidak memiliki
kepentingan yang sama. Kelompok elit ini biasa disebut elit
konservatif. Kelompok elit yang kedua adalah elit politik
liberal dan kelompok elit yang ketiga adalah pelawan elit.

Model Pluralis

Model pluralis menggambarkan kekuasaan yang dimiliki
oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat dan
lembaga dalam pemerintahan (Andrain, 1992). M asyarakat
yang telah terbentuk secara demokratis akan tergabung
menjadi suatu kelompok atas kepentingan -kepentingan yang
melatar belakanginya. Menurut Mc Dowell, Kerangka teori
pluralis terbagi menjadi dua, yakni teori pluralis klassik
(classic pluralism ) dan teori pluralis modern ( modern
pluralism ) (Irawan, 2010). Pemikiran pluralisme klasik ad alah
bagaimana perilaku kelompok -kelompok kepentingan yang
berusaha mempengaruhi pemerintah dalam membuat
kebijakan publik (Nurjaya, 2004: 8) . Di dalam pandangan
neo-pluralis aktor -aktor (dengan departemen pemerintahan

13
yang berbeda) juga berusaha menjaga k epentingan
mereka sendiri (Anon, tt: 3) .

Model Kekuasaan Popular

Asumsi yang mendasari model populis atau
kerakyatan adalah demokrasi. Dimana pada sistem
politik demokrasi (liberal) yang dibangun adalah sikap
individualisme. Individualisme sendiri dia sumsikan
sebagai : (1) setiap warga negara yang telah dewasa
mempunyai hak memilih dalam pemilihan umum; (2)
setiap warga negara yang sudah dewasa yang
mempunyai niat besar untuk aktif dalam proses politik;
serta yang sudah dewasa yang memiliki minat yang
besar untuk aktif dalam proses politik; serta (3) setiap
warga negara yang dewasa mempunyai kemampuan
untuk mengadakan penilaian terhadap proses politik
karena mereka memiliki informasi yang memadai
(Sjafei, tt).

2.4. Trias Politica

Konsep Trias Politica , pertama kali dikemukakan
oleh John Locke seorang Filsuf Inggris di dalam
bukunya Two Treatises on Civil Government (1690). Di
dalam bukunya John Locke menulis kritik terhadap
kekuasaan absolut raja – raja Stuart di Inggris . Dimana
untuk mencegah kekuasaa n absolut maka k ekuasaan
negara harus dibagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah
satu sama lain yaitu (1) kekuasaan legislatif yang
membuat peraturan dan Undang -Undang (2) kekuasaan
eksekutif yang melaksanakan Undang -Undang dan di
dalamnya termasuk kekuasaa n mengadili dan (3)
kekuasaan federatif yang meliputi segala tindakan untuk
menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan
negara lain .

14

Selanjutnya, pada 1748, pemikir politik Perancis
bernama Charles -Louis de Secondat, Baron de La Brède et
de Montesquieu atau lebih dikenal dengan Montesquieu ,
mengembangkan konsep Locke kedalam bukunya L'Esprit
des Lois (The Spirit of Laws) . Montesquieu membagi
kekuasaan dalam pemerintahan menjadi tiga cabang yaitu
kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat Undang –
Undang ), kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk
melaksanakan Undang -Undang ), dan kekuasaan yudikatif
(kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang -Undang) .
Seiring dengan berkembangnya prinsip demokrasi, teori
pembagian kekuasaan milik Montesquieu saat ini banyak
digunakan di beberapa negara. Indonesia adalah salah satu
negara yang menerapkan konsep pembagian kekuasaan yang
dimunculkan Montesquieu .

2.5. Fungsi Lembaga Kekuasaan di Indonesia

Lembaga Legislatif

Di negara Indonesia , lembaga legislatif lebih dikenal
dengan nama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam
melaksanakan Fungsi Legislatif, Fungsi Anggaran dan
Fungsi Pengawasan, DPR mempunyai tugas dan wewenang
antara lain:
 Membentuk undang -undang yang dibahas dengan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
 Membahas dan memberikan atau tidak memberikan
persetujuan terhadap Peraturan Pernerintah Pengganti
Undang -Undang
 Menerima dan membahas usulan Rancangan Undang –
Undang yang diajukan oleh DPD yang berkaitan
dengan bidang otonomi daerah, hubungan pusat dan
daera h, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber

15
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah dan
mengikutsertakan dalam pembahasannya dalam awal
pembicaraan tingkat I
 Mengundang DPD untuk melakukan pembahasan
rancangan undang -undang yang diajukan oleh DPR
maupun oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada
huruf c, pada awal pembicaraan tingkat I
 Memperhatikan pertimbangan DPD atas Rancangan
Undang -Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan Rancangan Undang -Undàng yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama dalam
awal pembicaraan tingkat I
 Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
bersama Presiden dengan memperhatikan
pertimbangan DPD
 Membahas dan menind aklanjuti hasil pengawasan
yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang –
undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat
dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama
 Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan
memperhatikan pertimbangan DPD
 Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas
pertanggung -jawaban keuangan negara yang
disampaikan oleh Badan P emeriksa Keuangan
 Mengajukan, memberikan persetujuan,
pertimbangan/konsultasi, dan pendapat
 Menyerap, menghimpun, menampung dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakat
 Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang
ditentukan dalam Undang -Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan un dang -undang
(DPR Indonesia, tt )

16
Lembaga Eksekutif

Di Indonesia , lembaga negara yang memegang
kekuasaan eksekutif yaitu presiden dimana Presiden
mempunyai kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan.
Presiden mempunyai kedudukan sebagai kepala
pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala negara. Namun
lembaga eksekutif terdiri dari lima bidang, Antara lain : (1)
diplomatik dengan menyelenggarakan hubungan diplomatik
dengan negara -negara lain; (2) administratif dengan
melak sanakan undang -undang serta peraturan -peraturan lain
dan menyelenggarakan administrasi negara; (3) militer
dengan mengatur angkatan bersenjata, menyelenggarakan
perang serta keamanan dan pertahanan negara; (4) yudikatif
dengan memberikan grasi amnesti dan sebagainya; serta (5)
legislatif dengan merencanakan rancangan undang -undang
dan membimbingnya dalam perwakilan rakyat sampai
menjadi undang -undang (Budiardjo, 2003: 209 -210).

LembagaYudikatif

Lembaga yudikatif Indonesia diantaranya adalah :

1. Mahkamah Ag ung
Mahkamah Agung memiliki lima fungsi yaitu :
 Fungsi Peradilan
 Fungsi Pengawasan
 Fungsi Pemberian Nasehat
 Fungsi Administrasi
 Fungsi Pengaturan

2. Mahkamah Konstitusi
Fungsinya antara lain, mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersif at final untuk menguji
Undang -Undang terhadapUndang -Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

17
diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
Pemilihan Umum

3. Komisi Yudisi al
Fungsi kerja komisi yudisial adalah m engusulkan
Pengangkatan Hakim Agung dan menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim

4. Kejaksaan Agung Republik Indonesia
Tugas dan w ewenang kejaksaan secara umum adalah
melakukan penyidi kan dan penuntutan perkara pidana,
perdata serta menciptakan ketertiban dan ketentraman
umum (Mandagie, tt) .

Wewenang dan legitimasi sangat erat hubungannya
dengan kekuasaan. Kewenangan adalah kekuasaan.
Namun, kekuasaan tidak selalu berupa kewenangan
(Surbakti, 1992: 85). Pembeda dari kekuasaan dan
kewenangan adalah tingkat legitimasai nya. Kewenangan
selalu memiliki legitimasi sedangkan kekuasaan tidak
selalu memiliki legitimasi. Seseorang yang memiliki
kekuasaan politik belum tentu memiliki hak untuk
membuat dan melaksanakan keputusan politik,
sebaliknya seseorang yang memiliki kewenangan berarti
memiliki hak membuat dan melaksanakan keputusan
politik.

2.6. Kewenangan

Wewenang adalah kekuasaan yang terdapat pada
seseorang karena mendapat pengakuan at au dukungan
dari masyarakat (Soekanto, 2010: 228). Robert Bierstedt
dalam bukunya An Analysis Of Social Power yang
mengatakan bahwa wewenang ( authority ) adalah

18
institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan)
(Bierstedt, tt: 732). Seperti juga yang d ikatakan oleh Harold
D.Laswell dan Abraham Kaplan dalam buku Power and
Society bahwa wewenang ( authorit y) adalah kekuasaan
formal ( Formal Power ). Dianggap bahwa yang mempunyai
wewenang ( authority ) berhak untuk mengeluarkan perintah
dan membuat peraturan -peraturan serta berhak untuk
mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan -peraturannya.
Sebagai contoh, peraturan daerah provinsi jawa timur nomor
4 Tahun 2011 pasal 15 dan 16 tentang kewenangan
pemerintah daerah terkait tanggung jawab sosial perusahaan
(TSP). Pasal tersebut memiliki makna bahwa pihak
pemerintah daerah dapat mengalokasikan dana Corporate
social responsibility ( CSR) yang didapat dari perusahaan –
perusahaan di Provinsi Jawa Timur secara sah atau formal
kedalam anggaran APBD.

2.7. Legitimasi

Seper ti kekuasaan dan kewenangan, legitimasi juga
memiliki hubungan antara yang memimpin dan dipimpin.
Konsep legitimasi berkaitan dengan sikap masyarakat
terhadap kewenangan. Definisi dari legitimasi sendiri adalah
penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral
pemimpin untuk memerintah, membuat dan melaksanakan
keputusan politik (Surbakti, 1992: 92). Jadi apabila
masyarakat menerima dan mengakui hak moral pemimpin
untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat
masyarakat maka kewenangan itu dik ategorikan sebagai
berlegitimasi.

Menurut Andrain, berdasarkan prinsip pengakuan dan
dukungan masyarakat terhadap pemerintah , maka legitimasi
dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu :

19
1. Legitimasi tradisional dimana masyarakat memberikan
pengakuan dan dukung an kepada pemimpin
pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan
keturunan pemimpin ”berdarah biru” yang dipercaya
harus memimpin masyarakat.
2. Legitimasi ideologi dimana masyarakat memberikan
dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena
pemimpin tersebu t dianggap sebagai penafsir dan
pelaksana ideologi. Ideologi yang dimaksudkan tidak
hanya yang doktriner seperti komunisme, tetapi juga
yang pragmatis seperti liberalisme dan ideologi
pancasila.
3. Legitimasi kualitas pribadi dimana masyarakat
memberikan pen gakuan dan dukungan kepada
pemerintah karena pemimpin tersebut memiliki kualitas
pribadi berupa kharismatik maupun penampilan pribadi
dan prestasi cemerlang dalam bidang tertentu.
4. Legitimasi prosedural dimana masyarakat memberikan
pengakuan dan dukungan k epada pemerintah karena
pemimpin tersebut mendapat kewenangan menurut
prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang –
undangan.
5. Legitimasi instrumental dimana masyarakat memberikan
pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena
pemimpin tersebut menja njikan atau menjamin
kesejahteraan materiil (instrumental) kepada masyarakat
(Surbakti, 1992: 97).

2.8. Pentingnya Legitimasi

Beberapa alasan mengapa legitimasi menjadi penting
bagi seorang pemimpin adalah:
 Legitimasi akan membuat sebuah institusi/pem erintahan
menjadi stabil dan dapat meminimalkan gejolak yang
mungkin terjadi pada lingkungan sosial.

20
 Legitimasi juga dapat meningkatkan kualitas
kesejahteraan institusi/pemerintahan yang ada.
 Adanya legitimasi memungkinkan berlangsungnya
pemerintahan seca ra efektif karena adanya pengakuan
dari rakyat atau elemen -elemen lain yang menjadi mitra
penguasa dalam melaksanakan kekuasaannya.
Sebaliknya, kekuasaan yang tidak terlegitimasi akan
sulit berjalan dengan baik, karena adanya penolakan –
penolakan.

Contohny a adalah ketika kenaikan harga BBM terjadi di
Indonesia di tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap
pemerintah akan janji politik. Yang terjadi kemudian adalah
demonstrasi besar yang terjadi dimana -mana karena
masyarakat sudah tidak percaya bahwa pengur angan subsidi
akan digunakan untuk peningkatan kesejahteraan. Ketika
kebijakan tersebut tidak memiliki legitimasi di masyarakat
maka akan terjadi gejolak politik yang dapat mempengaruhi
seluruh aspek yang ada baik ekonomi, sosial maupun politik.

21
BAB III
PARTISIPASI POLITIK

Partisipasi politik sering dianggap sebagai salah satu
indikator terpenting berlangsungnya proses
pembangunan politik dan demokrasi suatu negara.
Gabriel Almond menyebut dua macam bentuk partisipasi
politik. Pertama, p artisipasi politik konvensional adalah
bentuk partisipasi politik yang ''normal'' dalam
demokrasi modern, seperti pemberian suara (voting),
diskusi politik, kampanye, bergabung dengan interest
grou p, serta komunikasi dengan elit politik. Kedua,
partisipasi politik nonkonvensional adalah bentuk
partisipasi politik yang tidak ''normal'', termasuk di
antaranya ada yang legal, nonlegal, keras dan
revolusioner, seperti, pengajuan petisi, demonstrasi,
konfrontasi, aksi mogok, kekerasan politik dan revolusi
(Almon d, 1989) .

Sebelum membahas lebih jauh ada baiknya dipahami
dulu definisi dari partisipasi politik. Ada beberapa
definisi tentang partisipasi politik, diantaranya :
• Secara etimologis, partisipasi berasal dari bahasa latin
pars yang artinya bagian dan caper e, yang artinya
mengambil, sehingga diartikan “mengambil bagian”.
Dalam bahasa Inggris, participate atau participation
berarti mengambil bagian atau mengambil peranan.
Sehingga partisipasi berarti mengambil bagian atau
mengambil peranan dalam aktivitas ata u kegiatan
politik suatu negara (Prasetyo, 2013) .
• Huntington & Nelson , "By political participation we
mean activity by private citizens designed to influence
government decision -making " (Huntington & Nelson,
1976).

22

3.1. Batasan Partisipasi Politik

Batasan partisipasi politik berdasarkan pengertian
Huntington dan Nelson :
• Partisipasi politik menyangkut kegiatan -kegiatan dan
bukan sikap -sikap.
• Subyek partisipasi politik adalah warga negara preman
(private citizen) atau orang per orang dalam peranannya
sebagai warga negara biasa, bukan orang -orang
profesional di bidang politik.
• Kegiatan dalam partisipasi politik adalah kegiatan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dan
ditujukan kepada pejabat -pejabat pemerintah yang
mempunyai wewenang politi k.
• Partisipasi politik mencakup semua kegiatan
mempengaruhi pemerintah, terlepas apakah tindakan itu
memunyai efek atau tidak. Partisipasi politik
menyangkut partisipasi otonom dan partisipasi
dimobilisasikan (Hungtington & Nelson, 1976: 3).

Gabriel A. Al mond membedakan partisipasi politik
menjadi dua bentuk aksi, yaitu :
a. Partisipasi politik konvensional, yaitu bentuk partisipasi
politik yang “ normal” dalam demokrasi modern.
b. Partisipasi politik non -konvensional, yaitu kegiatan
illegal dan bahkan penuh keke rasan ( violence ) dan
revolusioner .

Adapun bentuk -bentuknya dapat dilihat pada tabel di
bawah ini (Prasetyo, 2013) :

23
Tabel 3.1
Bentuk Partisipasi Politik Versi Almond
Konvensional Non-Konvensional
 Pemberian Suara
 Diskusi Kelompok
 Kegiatan Kampanye
 Membentuk/bergabung
dengan kelompok
kepentingan
 Komunikasi individual
dengan pejabat politik
dan administrasi  – Pengajuan petisi
 -Berdemonstrasi/ unjuk
rasa
 – Konfrontasi
 -Tindak Kekerasan
politik terhadap harta
benda ( perusakan,
pemboman,
pembakaran)
 – Tindakan kekerasan
politik terhadap
manusia penculikan,
pembunuhan)
 – Perang Gerilya

3.2. Tipologi dan Model Partisipasi Politik

Dari Sisi Tipologi

1) Partisipasi politik aktif dan partisipasi pasif. Yang
termasuk dalam kategori partisipasi a ktif : mengajukan
usul mengenai suatu kebijakan umum yang berlainan
dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan
kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan,
membayar pajak, dan memilih pemimpin pemerintahan.
Sebaliknya, kegiatan yang termasuk d alam kategori
partisipasi pasif berupa kegiatan yang mentaati
pemerintah, menerima, dan melaksanakan saja setiap
keputusan pemerintah. Partisipasi politik aktif berarti
kegiatan yang berorientasi pada proses input dan output,
sedangkan partisipasi pasif h anya berorientasi pada
proses output. Di samping itu juga muncul kelompok
apatis atau golongan putih (golput) yaitu kelompok yang

24
tidak termasuk dalam kategori partisipasi politik aktif
maupun partisipasi politik pasif.
2) Berdasarkan jumlah pelaku yaitu individual dan
kolektif. Partisipasi politik individual yakni seseorang
yang menulis surat berisi keluhan dan tuntutan kepada
pemerintah atau kolektif, Sedangkan kolektif adalah
kegiatan warga Negara secara serentak untuk
mempengaruhi penguasa. Partisipasi kolektif dibagi
menjadi dua yaitu partisipasi kolektif yang konvensional
(pemilu), dan partisipasi kolektif yang tidak
konvensional atau agresif (pemogokan tidak sah,
huruhara, dll), secara agresif dibagi lagi menjadi dua
yaitu aksi yang kuat dan aksi yan g lemah (Politikos
Sociologija, 2010).

Dari Sisi Model

Dari sisi ini partisipasi politik apabila didasarkan pada
faktor keasadaran politik. Faktor -faktor yang mempengaruhi
tinggi -rendahnya partisiapasi politik ialah kesadaran politik
(kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara)
dan kepercayaan kepada pemerintah (penilaian seseorang
terhadap pemerintah) (Surbakti, 1992: 144).

Berdasarkan tinggi -rendahnya partisipasi politik Paige
membagi menjadi empat tipe , yaitu :
(1) Aktif, jika seseorang m emiliki kesadaran dan
kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah,
(2) Apatis, jika seseorang memiliki kesadaran dan
kepercayaan yang rendah terhadap pemerintah,
(3) Militant radikal, kesadaran politik tinggi tapi
kepercayaan rendah,
(4) Pasif, kesad aran sangat rendah tapi kepercayaan sangat
tinggi.

25
3.3. Partisipasi Masyarakat Dalam Politik

Masyarakat sebagai bagian dari sebuah
pemerintahan memiliki pilihan untuk aktif atau pasif
dalam proses politik yang ada. Namun sebenarnya
banyak cara yang dap at dilakukan masyarakat untuk ikut
aktif dalam dalam proses politik memberikan suara
dalam pemilihan umum, ‘ voting ’; menghadiri rapat
umum, ‘ campaign ’; menjadi anggota suatu partai atau
kelompok kepentingan; mengadakan pendekatan atau
hubungan, ‘ contactin g’ dengan pejabat pemerintah, atau
anggota parlemen dan sebagainya (Budiardjo, 2009) .
Keikutsertaan masyarakat dalam politik akan lebih
efektif jika pemerintah memiliki program pendidikan
politik yang da pat diterapkan bagi masyarakat.

Menurut Ramdlon pend idikan politik adalah “Usaha
untuk memasyarakatkan politik, dalam arti
mencerdaskan politik rakyat, meningkatkan kesadaran
setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara ; serta meningkatkan serta meningkatkan
kepekaan dan kesadaran rakyat ter hadap hak, kewajiban
dan tanggung jawabnya terhadap bangsa dan
negara”(Ramdlon, 1982 )

Selain itu menurut Davis terdapat tiga alasan
masyarakat mau terlibat aktif dalam partisipasi politik
yaitu: (1) Adanya penyertaan pikiran dan perasaan, (2)
adanya moti vasi untuk berkontribusi, serta (3) adanya
tanggung jawab bersama. Karena esensinya partisipasi
berasal dari dalam atau dari diri sendiri masyarakat
tersebut (Chusnah, 2008).

26
BAB IV
PARTAI POLITIK

Berjalannya suatu n egara tak lepas dari sebuah s istem
politik. Karena s istem politik lah yang menjadi tolak ukur
kemajuan dalam suatu negara. Negara yang maju dapat
dipastikan bahwa s istem politik didalamnya tertata dengan
baik. Dalam suatu sistem politik terdapat berbagai unsur dan
salah satu unsur terseb ut adalah partai politik. Definisi partai
politik Menurut UU Republik Indonesia No. 2 tahun 2008
adalah organisasi politik yang bersifat nasional dan di bentuk
oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela
atas dasar persamaan kehendak dan cita -cita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara serta memelihara keutuhan
NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Hess, 2006:
15).

Sedangkan Carl J. Friedrich mendefinisikan partai
politik sebagai kelompok m anusia yang terorganisir secara
stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan
penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya
dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota
partainya kemanfaatan besifat idiil maupun material
(Friedric h, 1959: 419). Dalam negara demokratis, partai
politik menyelenggarakan berbagai fungsi.

4.1. Fungsi Partai Politik

Menurut Miriam Budiardjo (2003: 163 -164) fungsi
partai politik diantaranya :
1. Partai sebagai sarana komunikasi politik
2. Partai sebagai saran a sosialisasi politik
3. Partai politik sebagai sarana rekrutmen politik
4. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik

27
Keempat fungsi tersebut sama -sama terkait satu
dengan yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik,
partai berperan sangat penting dala m upaya
mengartikulasikan kepentingan atau “ political interests ”
yang terdapat atau tersembunyi dalam masyarakat. Ide,
visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai
politik dikomunikasikan kepada konstituen untuk
mendapatkan dukungan dari masyar akat luas. Sedangkan
dalam sosialisasi politik, partai berperan sangat penting
dalam rangka memberikan pendidikan politik kepada
masyarakat . Dimana ketika partai politik memiliki
konstituen yang tersebar di berbagai wilayah, pemerintah
melalui partai polit ik dapat melakukan sosialisasi
peraturan atau kebijakan -kebijakan yang ada.

Fungsi rekrutmen politik pada partai politik adalah
partai politik merupakan lembaga politik yang sah untuk
menyeleksi kader -kader pemimpin negara posisi -posisi
tertentu. tidak s emua jabatan yang dapat diisi oleh
peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen politik.
Jabatan -jabatan profesional di bidang -bidang kepegawai –
negerian, dan lain -lain yang tidak bersifat politik
(poticial appointment ), tidak boleh melibatkan peran
partai politik. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisian
jabatan -jabatan yang bersifat politik dan karena itu
memerlukan pengangkatan pejabatnya melalui prosedur
politik pula . Seperti jabatan sebagai kepala daerah, wakil
rakyat maupun presiden dan wakil pr esiden. S ebagai
pengatur atau pengelola konflik ( conflict management )
partai berperan sebagai sarana penyatuan kepentingan
yang menyalurkan berbagai kepentingan yang berbeda –
beda melalui kelembagaan politik partai.

28
4.2. Klasifikasi Partai

Terdapat banyak klasifikasi yang dikemukakan oleh para
ahli. Namun klasifikasi partai yang sering digunakan dalam
melakukan analisa kepartaian adalah klasifikasi partai yang
dikemukakan oleh Maurice Duverger dalam bukunya
Political Parties . Dimana Maurice mengklasifikasi partai
dalam tiga kategori, yaitu si stem partai tunggal, sistem dwi –
partai, dan sistem multipartai.

Sistem Partai Tunggal ( the single party system ). Istilah
ini dipergunakan untuk Partai Politik ya ng benar -benar
merupakan satu -satunya Partai Politik dala m suatu Negara,
maupun untuk Partai Politik yang mempunyai kedudukan
dominan di antara beberapa Partai politik lainnya.
Kecenderungan untuk mengambil sistem Partai Tunggal
biasanya disebabkan, karena Pimpinan negara -negara baru
sering dihadapkan masalah ba gaimana mengintegrasikan
berbagai golongan, daerah, suku bangsa yang berbeda corak
sosial dan pandangan hidupnya. Dikhawatirkan bahwa bila
keanekaragaman sosial budaya ini dibiarkan tumbuh dan
berkembang, besar kemungkinan akan terjadi gejolak –
gejolak sosi al yang menghambat usaha -usaha pembangu nan
dan menimbulkan perpecahan.

Negara yang menganut sistem partai tunggal biasanya
negara komunis -sosialis, misalnya China , Korea Utara , dan
Kuba . Sistem dua Partai (two party system ) menurut Maurice
Duverger, siste m ini adalah khas Anglo Saxon (Amerika,
Filipina). Dalam sistem ini Partai -partai Politik dengan jelas
dibagi kedalam Partai Politik yang berkuasa (karena menang
dalam Pemilihan Umum) dan Partai Oposisi (karena kalah
dalam Pemilihan Umum).Negara yang menga nut sistem dua
partai diantaranya Amerika dengan partai Republik dan
Demokrat serta Inggris dengan partai konserv atif dan partai
buruh. Sistem banyak p artai ( multy party system ) umumnya

29
muncul karena adanya keanekaragaman sosial budaya
dan politik yang te rdapat di dalam suatu negara
(Attamimi, 1990).

Ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang
munculnya partai politik :
Pertama , teori kelembagaan. Teori ini mengatakan
bahwa kemunculan partai politik disebabkan karena
dibentuk oleh kalangan elit legisl ative serta orang yang
berkepentingan untuk mengadakan kontak dengan
masyarakat.
Kedua , teori situasi historik. Teori ini mengatakan
bahwa timbulnya partai politik sebagai upaya untuk
mengatasi krisis yang ditimbulkan oleh perubahan
masyarakat secara luas , yaitu berupa krisis legitimasi,
integrasi dan partisipasi serta krisis kepercayaan. Dengan
demikian Untuk mengatasi hal itu dibentuk partai politik
yang dekat dengan kehidupan pribadinya.
Ketiga , teori pembangunan. Teori ini melihat bahwa
munculnya part ai politik sebagai produk modernisasi
sosial ekonomi yang mengaju kepada wadah untuk
melakukan perubaha dalam menghadapi proses
pembangun dan merubah watak masyarakat yang
mendiami daerah tertentu (Roberto, 2007).

4.3. Sistem Kepartaian dan Pemerintahan

Pelem bagaan adalah dimensi penting untuk
memahami sistem partai. Kelembagaan partai yang baik
adalah dimana ketika sebuah partai tidak hanya
menunjukan eksistensinya ketika ada pemilihan, namun
eksistensinya dapat dilihat dan dirasakan bahkan saat
tidak ada age nda politik daerah maupun na sional. Partai
politik yang berorientasi pada program akan lebih
terinstitusionalisasi dengan baik karena dapat menambah
nilai positif partai di masyarakat, dalam arti tidak hanya

30
ketika partai butuh suara saja menjalankan progr am
kepedulian pada masyarakat tetapi program tersebut secara
berkesinambungan tetap dijalankan. Faktor yang paling
penting dalam kelembagaan adalah berfungsinya
kelembagaan partai secara aktif hingga tingkatan paling
bawah dengan membawa fisi dan misi part ai.

Sistem institusionalisasi partai dapat memperkuat
konsolidasi demokrasi. Karena institusionalisasi dan
pengakaran yang ditekankan dari pemikiran Mainwaring dan
Torcal, akan memperkuat partai melalui ideologi dan
program dan kedua hal tersebut dilakuka n agar akuntabilitas
pemilihan memiliki fungsi yang baik. Scott Mainwaring
mencatat bahwa tingkat institusionalisasi sistem kepartaian
adalah kunci apa yang telah dibagun dan sedang atau akan
dibangun politik suatu negara. Kelembagaan partai tidak
selalu k uat di setiap wilayah.

Dalam kompetisi antar partai, tidak ada partai politik
yang memiliki jaminan untuk tetap kuat dalam sistem politik.
Kekuatan partai pun tidak berasal dari tempat yang sama.
Mainwarning dan Torcal dalam tulisannya mengatakan
bahwa " Hubungan ideologis antara pemilih dan partai atau
kandidat merupakan salah satu sarana yang penting karena
hal tersebut akan menentukan kuat tidaknya pengakaran
sebuah partai. Walaupun program atau hubungan ideologis
bukan satu -satunya cara untuk menciptak an stabilitas sistem
partai, tetapi keduanya adalah cara utama agar stabi litas
tersebut dapat tercapai".

Faktor historis juga menjadi salah satu penentu kuat
tidaknya pelembagaan suatu partai. Pelembagaan sistem
partai dapat memperkuat akar dan stabilitas dalam
masyarakat. Pelembagaan sistem partai adalah penentu kuat
tidaknya hubungan personal partai dalam masyarakat, dan

31
hal tersebut berhubungan dengan suara kandidat dari
partai tersebut dalam pemilihan.

Sedangkan untuk keperluan analisis, Randall dan
Lars menyarankan dua tahapan yang perlu diperhatikan
terkait institusionalisasi partai, yang pertama
membedakan dua dimensi utama pelembagaan partai,
internal dan eksternal. Kedua, dalam dua dimensi ini,
akan ada pembagian lebih lanjut kepada aspek struktur al
dan tindakan. Dimensi internal mengacu pada seberapa
baik partai tersebut terlembagakan dan seberapa kuat
emosional pendukung partai terkait dengan partai.
Setidaknya partai tersebut memiliki jaringan organisasi
hingga ke masyarakat bawah dan terlembaga karena
mengikuti prosedur yang telah ditetapkan undang –
undang secara formal. Sikap pada dimensi internal
mengacu pada hubungan efektif partai untuk kelompok
masyarakat tidak hanya melalui program -program partai
saja tetapi masyarakat juga terikat secara i deologis
dengan nilai -nilai perjuangan partai. Semakin tinggi
loyalitas pendukung, maka kelembagaan partai tersebut
semakin kuat. Sedangkan dimensi eksternal mengacu
pada hubunga n partai dengan lingkungannya.

Menurut Huntington, sebuah negara demokrasi ya ng
pelembagaan politiknya lemah, maka akan berdampak
buruk pada stabilitas. Oleh karena itu partai -partai harus
terinstitusionalisasi dengan baik. Institusionalisasi
politik, menurut Huntington, adalah suatu proses yang
terorganisasikan melalui nilai -nilai dan stabilitas
prosedural. Huntington memaparkan empat unsur di
dalamnya: adaptabilitas, komple ksitas, otonomi dan
kohenrensi.

Sementara Panebianco (1988), memperkenalkan dua
kriteria untuk mengukur sebuah sebuah partai yang

32
terinstitusionalisasikan: ti ngkat otonomi dan systemness
(kesisteman). Randall dan Svasand (1999), melengkapi
konteks party institutionalization , mencakup adaptabilitas ,
kesisteman (koherensi atau kompleksitas), value infusion,
institusionalisasi eksternal, dan otonomi. Artinya
institusionalisasi tidak bermakna “pembangunan
kelembagaan” secara sempit, tapi luas dan komprehensif.

Fenomena yang terjadi dalam perpolitikan di Indonesia
sebelum orde baru dan sesudah orde baru mengalami
perubahan yang dapat diamati. Sebelum orde baru, fak tor
ideologis memiliki kekuatan yang mengikat antara partai dan
pemilih. Sehingga ketika program partai hanya dijalankan
saat pemilihan, simpatisan setia dengan basis ideologi akan
tetap memberikan suaranya. Sedangkan setelah reformasi,
simpatisan dengan b asis ideologi mulai berkurang dan
institusionalisasi melalui program parta i lebih memiliki
peran penting.

Yang banyak terjadi saat ini sebagai dampak lunturnya
basis ideologis dan kurangnya partai berbasis program,
pemilih mudah untuk beralih partai. Kemu dian pemilih
menentukan pilihan karena melihat faktor personal saja dan
mengabaikan keberadaan partai, ataupun memilih karena
ikatan personal kerabat atau keuntungan yang dirasakan
sesaat. Hal – hal tersebutlah yang pada akhirnya
mengaburkan makna de mokras i dalam suatu pemilihan.
Ketika party system istitusionalization bekerja dengan baik
melalui ideologi, program maupun pengakaran yang kuat
maka secara otomatis proses demokrasi pun akan berjalan
dengan baik.

Beberapa orang beranggapan bahwa partai dan pol itik
formal dianggap telah gagal menjadi saluran bagi dinamika
politik masyarakat. Kekecewaan dan harapan masyarakat
gagal direpresentasikan dalam pertarungan politik kepertaian

33
dan politik formal. Oleh karenanya demokratisasi dan
pelembagaan institusi -institusi kemasyarakatan menjadi
penting karena diharapkan dapat memainkan peran
strategis, baik sebagai ‘intermediate structure’ untuk
pelembagaan dan perwujudan ide -ide pembaruan
maupun dalam rangka memperkuat keberdayaan civil
society . Demikian pula dengan partai politik, yang pada
umumnya pada masa pasca orde baru ini terbentuk
secara instan, dan b elum terlembagakan secara baik.

Karena itu, di masa -masa yang akan datang,
kalangan pemimpin politik lebih baik memberikan
perhatian yang sungguh -sungguh untuk melakukan
‘institutional building’ terhadap partainya. Dengan
demikian, partai tidak saja dipandang sebagai mesin
politik penghimpun dukungan rakyat, tetapi dapat
difungsikan sebagai sarana melalui para anggota dan
simpatisannya dapat menyalurkan aspirasi politik dan
sekaligus dengan mana mereka dapat bersama -sama
memperkuat keberdayaan mereka sendiri secara mandiri.
Karena itu, setiap partai sebisa mungkin dapat
mengembangkan agenda politik dan sekaligus agenda
keberdayaan ekonomi, sosial dan kebudayaan r akyat
artinya tidak hanya peran ketokohan saja yang dapat
menjalankan kelembagaan partai. Karena ketika sosok
ketokohan saja yang membuat partai tersebut eksis
dalam masyarakat, maka dapat dikatakan kelembagaan
partai tersebut rapuh.

34
BAB V
POLITIK DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Kebijakan publik adalah bagian tak terpisahkan dari
kajian ilmu politik. Hanya pemerintah saja yang d apat
membuat kebijakan publik. Sebuah ketetapan yang kemudian
dianggap sebagai kebijakan publik harus melalui sebuah
prose s politik. Seperti definisi kebijakan publik yang
dikemukakan secara umum bahwa kebijakan publik adalah
kebijakan -kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai
pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan -tujuan tertentu di
masyarakat di mana dalam penyusunanny a melalui berbagai
tahapan. Selain itu Thomas Dye mendeskripsikan kebijakan
publik sebagai segala sesuatu yang dipilih oleh pemerintah
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
(Howlett & Ramesh, 1995: 4) . Hal terpenting selain definisi
yang sud ah disebutkan diatas adalah mengenai proses
pembuatan kebijakan publik.

5.1. Proses Pembuatan Kebijakan

Menurut William Dunn , tahapan -tahapan kebijakan
publik adalah sebagai berikut :
1. Tahap penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menemp atkan
masalah pada agenda politik. Sebelum masalah -masalah ini
berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam
agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk
ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini
suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali,
sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fo kus
pembahasan atau ada pula masalah karena alasan -alasan
tertentu ditunda untuk waktu yang lama.
2. Tahap Formulasi Kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan
kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah –

35
masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah
tersebut b erasal dari berbagai alternatif atau pilihan
kebijakan (policy alternative/policy options) yang ada.
Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk
masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap
perumusan kebijakan masing -masing alternatif bersaing
untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil
untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing –
masing ak tor akan “bermain” untuk mengusulkan
pemecahan masalah terbaik.

3. Tahap adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang
ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya
salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi
dengan dukunga n dari mayoritas legislatif, konsensus
antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

4. Tahap Implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi
catatan -catatan elit, jika program tersebut tidak
diimplementasikan. Oleh karena itu keputusa n program
kebijakan yang telah diambil sebagai alternative
pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni
dilaksanakan oleh badan -badan administrasi maupun
agenda -agenda pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan
yang telah diambil dilaksanakan oleh unit -unit
administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial
dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai
kepentingan akan saling bersaing. Beberapa
implementasi kebijakan mendapat dukungan para
pelaksana ( implementors) , namun beberapa yang lain
mungkin a kan ditentang oleh para pelaksana.

36
5. Tahap evaluasi kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan
dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauhmana kebijakan
yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan
publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang
diinginkan. Dalam hal ini, memecahkan masalah yang
dihadapi masyarakat (Dunn, 2000: 12) .

5.2.Faktor -Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan

a. Faktor Politik

Dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan
dari berbagai faktor keb ijakan ( policy aktor), baik aktor –
aktor dari kalangan pemerintah (Presiden, menteri, panglima
TNI dan lain -lain), maupun dari kalangan bukan pemerintah
(pengusaha, media massa, LSM dan lain -lain).

b. Faktor Ekonomi / Finansial

Faktor ini perlu dipertimban gkan, terutama apabila
kebijakan tersebut akan menggunakan dana yang cukup
besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam
negara/daerah.

c. Faktor Administrasi / Organisatoris

Apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar -benar
akan didukung oleh kem ampuan administrati f yang
memadai, atau apakah sudah ada organisasi yang akan
melaksanakan kebijakan itu. Dalam kemampuan
administrative termasuk kemampuan sumber daya aparatur
yang melaksanakan kebijakan pemerintahan.

37
d. Faktor Teknologi

Apakah teknologi y ang ada dapat mendukung
penyelenggaraan pemerintahan, apabila kebijakan
terse but kemudian diimplementasikan.

e. Faktor Sosial, budaya dan Agama

Apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan
benturan sosial, budaya dan agama atau yang sering
disebut masalah SAR A.

f. Faktor Pertahanan dan K eaman an

Apakah kebijakan -kebijakan yang dibuat oleh
Pemerintah tidak akan mengganggu stabilitas keamanan
negara/daerah (Tarno, 2013).

Dalam beberapa proses pembuatan kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah, akan susah untuk me libatkan
masyarakat dalam merumuskan kebijakan. Namun ketika
kebijakan sifatnya untuk kepentingan publik jika
pemerintah tidak melibatkan masyarakat dalam proses
perumusan kebijakan maka serin g kali terjadi gejolak
sosial.

Banyak contoh kebijakan yang di terapkan di
masyarakat sebagai akibat pemerintah tidak melibatkan
masyarakat dalam membuat kebijakan. Pemberdayaan
partisipasi masyarakat merupakan sebuah jalan keluar
untuk mempermudah pemerintah dalam menentukan
arah dan kebijakan pembangunan pada masa -masa
mendatang, keterlibatan ini akan memberikan dampak
yang positif terhadap keputusan yang akan di
implementasikan, karena dapat membangun sinergi
antara pemerintah dan masyarakat.

38

Tony Bovaird dan Elke Loffler (2004), memposisikan
rakyat sebagai anak ta ngga terbawah yang senantiasa
mengetahui masalah sosial yang sesungguhnya. Tanpa
memberdayakan dan konsultasi di anak tangga terbawah,
maka pemerintah tidak akan pernah tahu apa yang
sesungguhnya dibutuhkan oleh rakyat. Apabila komunikasi
di tingkat bawah telah diperkuat maka akan terjadi dialog
antara pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian,
pemerintah akan lebih efektif dan efisien dalam membuat
kebijakan (Erma, tt) .

Manfaat partisipasi masyarakat dalam pembuatan
kebijakan publik, adalah :

1. Member ikan landasan yang lebih baik untuk
pembuatan kebijakan publik.
2. Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif
karena warga mengetahui dan terlibat dalam pembuatan
kebijakan publik.
3. Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif
dan legislatif.
4. Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan
masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan
mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang
digunakan dalam sosialisasi kebijakan public dapat dihemat.
(Utomo 2003: 267 -272).

39
BAB VI
GOOD GOVERNANCE

6.1. Definisi Good Governanace

Good governance , dapat diartikan sebagai tata
laksana pemerintahan yang baik, dimana masyarakatnya
merupakan self regulatory society (issu u.com, tt). Kata
governance memiliki unsur kata kerja yaitu governing
yang bera rti bahwa fungsi oleh pemerintah bersama
instansi lain (LSM, swasta dan warga negara) perlu
seimbang atau setara dan multi arah (partisipatif)
(Pratama, tt) . Governance menunjukkan tata
pemerintahan, penyelenggaraan negara, atau pengelolaan
(management ) yang mengisyarat kan bahwa kekuasaan
tidak lagi semata -mata dimiliki atau menjadi urusan
pemerintah.

Adapun secara terminologis, dalam bahasa dan
pemahaman masyarakat termasuk di sebagian elit politik,
istilah Good governance seringkali dipahami secara
rancu. Untuk meluru skan pemahaman tersebut,
setidaknya ada tiga terminologi yang harus kita pahami
dengan baik, yaitu Good governance (tata pemerintahan
yang baik), Good Government (pemerintahan yang baik),
dan Clean Government (pemerintahan yang bersih)
(Rahmadoni, tt) .

Good Governance , menurut Bank Dunia (World
Bank) adalah cara kekuasaan digunakan dalam
mengelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi
untuk pengembangan masyarakat ( The way state power
is used in managing economic and social resources for
development of society ). Sedangk an menurut UNDP,
Good Governance dimaknai sebagai praktik penerapan
kewenangan pengelolaan berbagai urusan

40
penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi, dan
administratif di semua tingkatan (Pratama, tt).

Dengan demikian, pemerintah sudah dapat mereduksi
perannya sebagai pembina dan pengawas implementasi visi
dan misi bangsa dalam seluruh sendi -sendi kenegaraan
melalui pemantauan terhadap masalah -masalah hukum yang
timbul dan menindaklanjuti keluhan -keluhan masyar akat dan
sebagai fasilitator yang baik. Dengan pengembangan sistem
informasi yang baik, kegiatan pemerintahan menjadi lebih
transparan dan akuntabel karena pemerintah mampu
menangkap feedback dan meningkatkan peran serta
masyarakat .

Karena itu, Good governance adalah seperangkat proses
yang diberlakukan dalam organisasi, baik swasta maupun
negeri, untuk menentukan keputusan. Tata laksana
pemerintahan yang baik ini walaupun tidak dapat menjamin
sepenuhnya segala sesuatu akan menjadi sempurna, namun
apabila dipatuhi jelas dapat mengurangi penyala h-gunaan
kekuasaan dan korupsi. Banyak badan -badan donor
internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, menetapkan
syarat diberlakukannya unsur -unsur tata laksana
pemer intahan yang baik sebagai dasar bantuan dan pinjaman
yang akan mereka berikan.

6.2. Tiga Pilar Good Governance

Good governance saat ini telah menjadi isu yang sangat
penting seperti halnya demokrasi dan hak asasi manusia
(Wiratraman, 2007 dalam azys, tt) ). Sehingga begitu banyak
konsep da n definisi good governance yang ditulis dalam
berbagai literatur dengan beragam sudut pandang dan
pendekatan. Namun semuanya tetap akan bermuara pada
penjelasan tentang bagaimana pemerintah mampu
memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakatnya.

41
Berbica ra tentang good governance biasanya lebih dekat
dengan masalah pengelolaan manajemen pemerintahan
dalam membangun kemitraan dengan stakeholder
(pemangku kepentingan). Oleh karena itu, good
governance menjadi sebuah kerangka konseptual tentang
bagaimana mem perkuat hubungan antara pemerintah,
sektor swasta, dan masyarakat dalam nuansa kesetaraan.

Hubungan yang harmonis dalam nuansa kesetaraan
merupakan prasyarat yang harus ada. Sebab hubungan
yang tidak harmonis antara ketiga pilar tersebut dapat
menghambat kelancaran proses pembangunan. Sebagai
contoh, pemerintah merumuskan kebijakan umum
menaikkan tarif dasar air minum menjadi 500% lebih
mahal. Keputusan tersebut dibuat tanpa melibatkan
aspirasi masyarakat padahal itu menyangkut hajat hidup
banyak orang. Ma syarakat tidak menerimanya dan
merasa dirugikan, lalu terjadi gelombang protes,
demonstrasi, bahkan kerusuhan untuk menentangnya. Di
sini terdapat hubungan yang tidak harmonis antara
pemerintah dan masyarakat sehingga menimbulkan
ketidakselarasan yang pada akhirnya menghambat
pelaksanaan kebijakan pemerintah. Pelajaran yang dapat
diambil dari contoh ini adalah; untuk menjamin
hubungan yang setara sesuai kerangka good governance ,
maka harus dibuka ruang partisipasi dalam setiap
perumusan kebijakan publik, te rutama yang menyangkut
hajat hidup banyak orang. Pemerintah harus menjamin
dan melindungi hak -hak masyarakat untuk
menyampaikan aspirasi dan partisipasinya disetiap
tahapan proses pembangunan.

Dalam contoh yang lain, misalnya, sebuah
perusahaan swasta mem bangun pabrik di tengah
permukiman. Masyarakat marah karena limbah pabrik
mencemari lingkungannya. Pemerintah keberatan karena

42
perusahaan membuka pabrik secara diam -diam. Sementara
itu perusahaan tetap bersikukuh bahwa apa yang
dilakukannya sudah benar. Ke tika tiga pilar good governance
ini “berkelahi”, maka timbullah situasi dan suasana chaos di
tengah -tengah masyarakat. Pabrik yang sebenarnya mampu
menyerap lapangan kerja dan menggerakkan roda ekonomi
tidak dapat dijalankan secara efektif. Untuk mengatasi nya
pemerintah bertindak tegas agar perusahaan memperbaiki
perijinan, pencemaran lingkungan diantisipasi, atau lokasi
pabrik dipindahkan ke tempat yang jauh dari pemukiman.

Perusahaan melaksanakan keputusan tersebut dan
pemerintah mengumumkan secara terbu ka hasil penyelesaian
masalah ini sehingga masyarakat mengetahuinya. Pabrik -pun
dapat beroperasi kembali, lingkungan tidak lagi tercemar,
lapangan kerja tersedia bagi masyarakat, dan pemerintah
memperoleh tambahan masukan pendapatan (PAD).
Pelajaran yang d apat diambil dari contoh ini, untuk
menjamin agar pemerintah, perusahaan dan masyarakat
memiliki hubungan yang setara sesuai kerangka good
governance , maka aturan harus ditegakkan ( law
enforcement ), keputusan harus dibuat tidak sembunyi –
sembunyi (transpara nsi) dan alokasi sumber daya
alam/keuangan daerah harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik (akuntabilitas).

6.3. Prinsip -Prinsip Good Governance

Tata laksana pemerintahan yang baik ini dapat dipahami
dengan memberlakukan delapan karakteristik dasa rnya
(Komite Nasional Kebijakan Governance ,tt) yaitu:
1. Partisipasi Aktif
2. Tegaknya Hukum
3. Transparansi
4. Responsif

43
5. Berorientasi akan musyawarah untuk mendapatkan
mufakat.
6. Keadilan dan perlakuan yang sama untuk semua
organg
7. Efektif dan ekonomis
8. Dapat dipertanggungjawabkan

Berlakunya karakteristik -karak teristik di atas
biasanya menjadi jaminan untuk hal -hal di bawah ini.
 Meminimalkan terjadinya korupsi
 Pandangan minoritas terwakili dan dipertimbangkan
 Pandangan dan pendapat kaum yang paling lemah
didengarkan dalam pengambilan keputusan.

Di sisi lain, ko nsepsi good governance secara
komprehensif terdiri dari 10 prinsip yang ditetapkan
secara kontinyu dan konsisten dalam penata -laksanaan
sebuah pemerintahan (Komite Nasional Kebijakan
Governance , tt) . Kesepuluh prinsip tersebut adalah
sebagai berikut.

1. Partisipasi

Dalam hal ini, warga memiliki hak dan
mempergunakannya untuk menyampaikan pendapat dan
bersuara dalam proses perumusan kebijakan publik, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata
lain, pemerintah selalu mendorong setiap warga untuk
mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapa t
dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun
tidak langsung.

Artinya, partisipasi warga senantiasa mendukung
tumbuhnya aspirasi dari masyarakat dan keterbukaan
pemerintah untuk menerima aspirasi tersebut.

44
Keterbukaan pemerintah, menurut Rauf, ditujukan oleh
kesediaannya untuk mendengarkan dengan sungguh -sungguh
suara -suara yang berkembang di dalam masyarakat dan
berusaha dengan sungguh -sungguh agar aspirasi rakyat
tersebut dapat dipenuhi oleh kebi jakan -kebijakan yang dib uat
oleh pemerintah. (Kahmi Jaya , 1998: 78) .

2. Penegakkan Hukum

Keberadaan rules of law mewujudkan adanya penegakan
hukum yang adil bagi semua pohak tanpa pengecualian,
menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai -nilai yang
hidup dalam masyarakat.

3. Transparansi

Demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan
bersandar pada partisipasi populis, konstitusionalisme
bersandar pada disclosure dan keterbukaan tentang berbagai
persoalan politik. Dalam pengertian ini, konstitusionalisme
meru pakan prasyarat bagi berhasilnya demokrasi, karena
masyarakat tidak dapat berpartisipasi secara rasional dalam
pemerintahan kecuali mereka diinformasikan dengan cukup
tentang bagaimana cara kerjanya, kecuali jika mereka cukup
tahu tentang cara kerjanya. (A l Chaidar, 1419 : 266) .

Ini berarti pemerintah mesti berada pada level full
transparence ; dengan indikator penyediaan informasi
tentang pemerintahan bagi publik dan dijaminnya
kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan
memadai. Dengan ini, peme rintah harus menciptakan
kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat
melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan
dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

45
4. Kesetaraan

Pemerintah memberi peluang yang sama bagi setiap
anggota masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraannya. Salah satu perkara yang dapat
mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat,
menurut Basri (1998: 225 ), adalah pengembangan
kelembagaan yang menopang peningkatan dinamika
perekonomian yang semakin sehat s ehingga bisa
menekan biaya transaksi. Keberhasilan menekan biaya
transaksi akan memperkukuh keunggulan komparatif
bangsa.

5. Daya Tanggap (Responsibilitas)

Responsibilitas suatu pemerintahan menuntut adanya
upaya untuk meningkatkan kepekaan para penyelengga ra
pemerintah terhadap aspirasi masyarakat tanpa
terkecuali.

6. Wawasan Ked epan

Pengelolaan masyarakat hendaknya dimulai dengan
visi, misi, dan strategi yang jelas. Dengan ini,
pembangunan dan pengembangan kualitas daerah akan
berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikut –
sertakan warga dalam seluruh proses pembangunan,
sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggung
jawab terhadap kemajuan daerahnya.

7. Akuntabilitas (Pertanggung -jawaban)

Good governance akan senantiasa meningkatkan
akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala
bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
Dalam catatan Al Chaidar (1419 H: 265), di bawah

46
pemerintahan konstitusional, mereka yang memerintah
secara tetap mempertamggungjawabkannya secara berkala
kepada rakyat.

8. Pengawasan

Good governance dari sisi pengawasan ( controlling )
selalu berusaha untuk meningkatkan daya pengawasan
terhadap penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan
dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat
luas. Artinya, hal ini harus mendo rong terlibatnya warga
dalam mengontrol kegiatan pemerintah, termasuk parlemen.

9. Efisiensi dan Efektivitas

Efisiensi dan efektivitas menjamin terselenggaranya
pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber
daya yang tersedia secara optimal dan bert anggung jawab.
Indikatornya anatara lain pelayanan mudah, cepat, tepat, dan
murah.

10. Profesionalisme

Profesionalisme menunjukkan adanya upaya
peningkatan dalam eksistensi kemampuan dan moral
penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi
pelayanan yang muda h, cepat, dan tepat dengan biaya yang
terjangkau.

Selain itu, salah satu ukuran tercapainya derajat good
governance adalah tercapainya suatu pengaturan yang dapat
diterima oleh sektor publik, sektor swasta dan masyarakat
madani dengan indikator sebagai be rikut. a. Pengaturan
dalam sektor publik antara lain menyangkut keseimbangan
kekuasaan antara badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pembagian kekuasaan ini juga berlaku antara pemerintah

47
pusat dan daerah. b. Sektor swasta mengelola pasar
berdasarkan kesepakatan bersama, termasuk mengatur
perusahaan dalam negeri besar maupun kecil, perusahaan
multinasional, koperasi dan sebagainya. c. Masyarakat
madani mencapai kesepakatan bersama guna mengatur
kelompok -kelompok yang berbeda seperti kelompok
agama, kel ompok olahraga, kelompok kesenian, dan
sebagainya.

Dalam berbagai aspek, negara dan pemerintahan
senantiasa terkait secara politis -sosiologis dengan
kedudukan masyarakat secara luas dan kesejahteraannya.
Dalam lingkup inilah, historical development dari s uatu
bentuk negara dan sistem pemerintahan senantiasa
mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan
budaya dan perluasan pemikiran dari masyarakat yang
menempatinya. Dengan ini, kita mengenal sistem
kenegaraan dan pemerintahan yang terus berevolusi; da ri
mulai sistem patriarchal -matriarkhal, monarkhi sampai
demokrasi.

Di sisi lain, sistem pemerintahan dan penata –
laksanaannya selalu mendapat sorotan tajam dari
berbagai komponen suatu bangsa sehingga dapat dilihat
dan dirasakan sejauhmana pemerintahan te rsebut
menjalankan fungsinya. Dari sini lahirlah apa yang
disebut dengan good governance, yakni suatu proses
pemerintahan yang selalu menggulirkan usahanya
menuju pada derajat pola pemerintahan yang baik dan
terjauh dari kondisi pemerintahan yang buruk (ba d
governance).

Bahkan IMF sebagai bagian dari konstalasi
perpolitikan internasional, dalam upaya memberikan
bantuan dana (pinjaman) ke negara -negara berkembang,
senantiasa mempersyaratkan good governance sebagai

48
sebuah jaminan penerima dana tersebut. Seca ra umum, good
governance dapat diperoleh melalui perhatian dan
konsistensi pemerintah dalam melaksanakan 10 prinsip dari
penata -laksanaan pemerintahan sebagaimana telah
disebutkan di atas, yakni: partisipasi warga, penegakkan
hukum, transparansi, kesetaraa n, daya tanggap, wawasan ke
depan, akuntabilitas, pengawasan, efisiensi dan efek tivitas,
serta profesionalisme. Kesepuluh prinsip tersebut pada
intinya merupakan usaha bersama dalam menggapai
keharmonisan antara pemerintah, sektor swasta dan
masyarakat sec ara keseluruhan.

49
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Al Chaidar. 1419 . Pemilu 1999: Pertarungan Ideologis
Partai -Partai Islam Versus Partai -Partai Sekuler .
Jakarta: Darul Falah. Hlm 265-266.
Almond, Gabriel A . 1989. The Civic Culture . SAGE .
Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial .
Yogyakarta: Tiara Wacana. H lm. 130, 132.
Anif. 2012. TinjauanTentang Masyarakat . Universitas
Negeri Yogyakarta. Hlm. 19 .
Basri, Faisal H. 19 98. Tinjauan Ekonomi -Politik Krisis
Ekonomi dalam Indonesia di Simpang Jalan .
Bandung: Mizan . Hlm 225.
Belger, Peter L . 1996. To Empower People: From State to
Civil Society . American Enterprise Institute. Hlm.
43.
Bierstedt, Robert. tt. An Analysis of Social Power dalam
American Sociological Review ,Vol. 15. H lm. 732.
Budiardjo, Miriam. 1984. Konsep Kekuasaan: Tinjauan
Pustaka dalam Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan
Wibawa . Jakarta: Gramedia. Hlm. 13.
Budiardjo, Miriam. 2003. Dasar -Dasar Ilmu Politik . Jakarta:
Gramedia Pustaka. Hlm. 2,3, 8,38,163 -164,209-210.
Carnivez, Patrice . 2004. Jean Jacques Rousseau’s Concept
of People dalam Philosophy and Social Criticism
Journal . Vol. 30. Hlm. 5.

50
Conn, Paul . Conflict and Decision Making: An Introduction
to Political Science . New York: Harper and Row
Publisher. Hlm. 15 .
Dahl, Robert. 1977. Modern Political Analysis. New Delhi:
Prentice -Hall of India Private. Hlm 29.
Dunn, William N . 2000. Analisis Kebijakan Publik .
Gajahmada University Press. Hlm 12 .
Friedrich. 1950. Constitutional Goverment and Democracy .
Boston:Ginn. H lm. 419 .
Goodin, Robert E. & Hans -Dieter Klingeman . 1998. A New
Handbook of Political Science . Oxford University
Press.
Hess, Harmut . 2006. Pekerjaan Partai Dalam Partai -Partai
Sosial Demokrat: Sebuah Panduan P raktis .
Friedrich -Ebert -Stiftung . Hlm.15 .
Howlett, Michael & Ramesh. 1995. Studying Public Policy:
Policy Cycles and Policy Subsystem . Toronto: Oxford
University Press. Hlm. 4.
Huntington, S.P. & J.M. Nelson . 1976. No Easy Choice:
Political Participation in Developing Countries .
Cambridge, Mass : Harvard University Press . Hlm 3.
Irawan, Chandra Purna. 2010. Koreksi Atas Argumentasi
Kaum Pluralis . –
Johnson, Doyle P. 1994 . Teori Sosiologi Klasik dan Modern
Jilid 1 . Jakarta: Gramedia. Hlm . 232.
Prasetyo, Eko et. al. 2013. Sistem Sosiologi Politik . IKIP
PGRI Semarang .

51
Naning, Ramdlon. 1982. Pendidikan Politik dan Regenerasi.
Yogyakarta: Liberty.
Roberto , Burger M. 2007. Posisi Hukum Politik dalam
Masyarakat . Bandung: Nusa Media.

Saefulloh. 1988. Posisi Agama Islam dan Negara . Jakarta:
Ghalia Indonesia. Hlm. 43 .
Sanit, Arbi . 1985. Perwakilan Politik Indonesia . Jakarta: CV
Rajawali. Hlm. 131.
Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar .
Jakarta: . Hlm 228.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilm u Politik . Jakarta:
Gramedia Widia Sarana. Hlm. 14, 58, 85, 92, 97,
144, 164.
Utomo, Sad Dian. 2003. Partisipasi Masyarakat dalam
Pembuatan Kebijakan , dalam Indra J. Piliang, et al.
tt. Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi . Jakarta :
Penerbit Divisi Kajian Demokrasi Lokal Yayasan
Harkat Bangsa. Hlm. 267 -272.
––. tt. Pluralist Democracy . Universitas Gajah Mada. Hlm
3.
–-. 2004. Chapter Summary : Structural Functionalism,
Neofunctionalism, and Conflict Theory . McGraw –
Hill.
Tim KAHMI JAYA. 1998. Indonesia di Simpang Jalan .
Bandung: Mizan. Hlm. 78.

52
Bovaird, Tony & Elke Loffler. 2004 . Public Management
and Governance, Second Edition . Governa nce
International UK.
Artikel On -Line
Attamimi, Hamid S. 1990. Peranan Keputusan Presiden
Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara dalam Disertasi Fakultas Pasca Sarjana UI .
[online] dalam [diakses pada 24 Juni 2014 ].
Azys, Abdoel. Tt. Neo Liberalisme, Good Governance dan
Hak Asasi Manusia . [online] dalam
https://www.academia.edu/3254638/Good_Governan
ce [diakses 1 Juli 2014].
Dahlan, Nasoeka Adiyana. tt . Kekuasaan Dan Pembangunan
Di Desa Diwek (Studi Kasus Kecamatan Diwek
Kabupaten Jombang) . [online] dalam www.
journal.unair.ac.id. [diakses pada 15 Juni 2014 ]. Hlm
4.
DPR Indonesia. tt. Tugas dan Wewenang . [online] dalam
www.dpr.go.id. [diakses pada 2 April 2014 ].
Issuu. com. tt. Majalah Edisi No3. Sewaka . [online] dalam
http://issuu.com/humasdenpasar/docs/majalah_sewak
a_dharma_edisi_no_3_th [diakses 1 Juli 2014].
Komite Nasional Kebijakan Governance . tt. 10 Prinsip Good
Governance . [online] dalam http://knkg –
indonesia.com/home/news/93 -10-prinsip -good –
governance.html [diakses pada 1 Juli 2014].
Mandagie, Revli. tt. Pemisahan Kekuasaan Eksekutif,
Legislatif, Yudikatif . [online] dalam
www.seputarsulut.com [ diakses pada 3 April 2014].

53
Nurjaya, Dr. I Nyoman . 2004. Perkembangan Pemikiran
Konsep Pluralisme Huku m. [online] dalam
www.huma.or.id [diakses pada 24 Juni 2014 ]. Hlm.
8.
Politikos S ociologija. 2010. What Types of Participants?:
Patterns of Political Participation in Lithuania .
dalam Vytautas Magnus University Journal. [online]
dalam [diakses pada 28 Juni 2014 ].
Pratama, Shendy. Pengetahuan Good Governance. [online]
dalam http://id.scribd.com/doc/4606676/Good –
Governance [diakses 1 Juli 2014].
Rahmadoni, Firman. Tt. Reformasi Birokrasi dan Good
Governance Studi Kasus Best Practices dari
Sejumlah D aerah di Indonesia . [online] dalam
https://www.academia.edu/2463830/Reformasi_Biro
krasi_dan_Good_governance_Kasus_Bes t_Practices_
dari_Sejumlah_Daerah_di_Indonesia [diakses 1 Juli
2014].
Sjafei, M. Saleh. tt. Beberapa Hal Tentang I ndividualisme .
[online] dalam www.fisip -aceh. com [diakses pada 20
September 2011].
Smith, Weldan Firnando. tt. Sifat dan Arti Ilmu Politik .
[online] dalam www.sumsel.kemenag.go.id. [diakses
pada 2 April 2013 ]. Hlm 1 .
Tarno. 2013. Model dan Faktor Yang Mempengaruhi
Perumusan Kebijakan . [online] dalam
www.sumbarprov.go.id [diakses 2 April 2013] .

Similar Posts